Vote sebelum membaca😘 Jangan lupa tambah fav dan kasih bintang.
.
.
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.
Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
"Selamat pagi," sapa Edmund sambil membenarkan letak jam tangan yang ia pakai.
"Pagi," balas Sophia memberikan senyuman hangat.
Edmund duduk di kursi yang ada di hadapan Sophia. Dia mulai memakan sarapannya dengan mata Shopia yang tak lepas menatapnya. Perempuan itu masih mengagumi wajahnya yang tampan. Bukan hanya wajah, tetapi sikap Edmund yang hangat.
"Kenapa kau tidak memakan sarapanmu, Sophie?"
"Apa?" Sophia yang tersadar dari lamunan itu mengalihkan pandangan dari Edmund. "Aku sedang makan," ucap Sophia mulai memotong telur mata sapi.
"Apa tidurmu nyenak semalam?"
Pertanyaan Edmund membuat Sophia berhenti mengunyah beberapa detik. Dia menatap pria itu kemudian mengangguk. "Ya, tidurku nyenyak."
"Baguslah, kau tidak boleh kurang tidur. Mommy bilang itu tidak baik untuk bayinya," ucap Edmund menciptakan senyuman samar pada bibir Sophia.
"Bagaimana denganmu?"
"Denganku?" Edmund menunjuk dirinya dengan garpu.
Sophia mengangguk. "Ya, kau bilang pekerjaan membuatmu stres dan lelah. Mungkin sebaiknya kau ambil cuti."
Tangan Edmund kembali menyuapkan sosis pada mulut, dia menggeleng samar. "Tidak bisa, masih banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan."
"Kau kan, bosnya. Kau bisa memerintahkan bawahanmu menyelesaikannya."
Mendengar itu, Edmund terkekeh pelan. "Menjadi bos bukan berarti harus seenaknya, 'kan? Ada pekerjaan yang harus aku lakukan seorang diri."
Sophia menganggukkan kepala dengan tatapan sedih dan kembali memakan sarapannya. Hal yang membuat Sophia sedih adalah diam sendirian di apartemen. Bukan karena takut, tetapi karena bosan. Sophia merasa dirinya terisolasi dari dunia luar.
Tiba-tiba saja sebuah ide muncul dalam pikiran Sophia. Dia ingin meminta izin pada Edmund untuk kembali bekerja. Jika pekerjaannya ringan, Sophia yakin Edmund akan memberinya izin. Dia tahu Aurin punya banyak teman yang membuka toko bunga atau toko pernak-pernik.
"Ed?"
"Ya?" Edmund yang sedang mengunyah itu menatap istrinya. "Ada apa, Sophie?"
"Bolehkah aku kembali bekerja?"
"Apa?"
"Bukan pekerjaan yang berat, hanya diam dan melayani pelanggan di toko bunga atau toko pernak-pernik."
Edmund mengakhiri sarapan. Dia meminum jus yang dibuatkan Sophia. "Kenapa kau ingin bekerja? Apa uang yang aku berikan padamu tidak cukup?"
Kepala Sophia menggeleng seketika. "Tidak, itu cukup. Hanya saja, aku merasa bosan jika terus berdiam diri di apartemen."
Edmund menghela napas. "Kalau kau bosan, kau bisa mengikuti kelas memasak atau yang lainnya. Tapi tidak untuk bekerja." Ucapannya terdengar begitu lembut.
"Baiklah," ucap Sophia dengan lemah.
Melihat raut wajah sedih itu membuat Edmund tidak tega. Dia berdiri mendekati Sophia, menggeser kursi yang diduduki perempuan itu hingga berhadapan dengannya. Edmund berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan perut Sophia.
"Aku hanya tidak ingin kau kelelahan."
Perempuan itu mengangguk mengerti. "Aku tahu."
Napas Sophia tercekat saat Edmund melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Sophia. Tatapan pria itu beralih pada perutnya yang datar dan jantung Sophia hampir saja berhenti ketika suaminya itu mendaratkan ciuman pada perutnya.
"Daddy pergi bekerja dulu, ya." Ucapan Edmund membuat hati Sophia menghangat.
Setelah itu, Edmund berdiri, merapikan jasnya kemudian mengusap kepala Sophia. "Diam di apartemen."
"Kau bilang aku bisa melakukan apa saja."
"Iya, tapi tidak hari ini. Kita harus memeriksa bayi yang ada dalam kandunganmu. Aku tidak ingin melewatkan perkembangan bayi kita."
Tangan Sophia mengepal. Dia berusaha menahan jeritan bahagia. Sungguh, ketika Edmund mengatakan bayi kita—bukan banyinya ataupun bayiku—itu membuat Sophia sangat bahagia.
"Aku akan menjemputmu sebelum makan siang." Edmund mengusap kepala istrinya. "Jika kau bosan dan merindukanku, telepon saja aku. Jangan sungkan," lanjutnya yang dihadiahi cubitan pada perutnya oleh Sophia.
Pria itu terkekeh. Dia kembali mengusap rambut Sophia sebelum benar-benar pergi dari apartemen.
Senyuman masih tercetak pada wajah Sophia. Rasa bahagianya sulit digambarkan. Dia senang dengan sikap Edmund yang seperti sekarang. Hanya saja, senyuman Sophia luntur ketika dia mengingat Edmund tidak pernah mengakuinya sebagai istri. Pesta pernikahan yang diadakan beberapa hari lalu mengingatkan Sophia tentang hal itu. Tiba-tiba saja perut Sophia bergejolak. Dia menutup mulut ketika sesuatu akan keluar dari sana. Sophia berlari kecil menuju kamar mandi, dia memuntahkan kembali semua sarapan yang dia makan.
****
Edmund benar-benar datang sebelum makan siang sesuai dengan desakan Shopia yang tidak sabar ingin memeriksakan kandungan. Mata Sophia berbinar ketika melihat foto USG bayinya. Dia tersenyum bahagia ketika mengingat ucapan dokter bahwa bayi yang ada dalam kandungannya baik-baik saja dan menanyakan begitu banyak pertanyaan seputar kehamilan.
Sophia muntah beberapa kali setelah keluar dari dokter kandungan dan hal itu membuat Edmund sangat khawatir. Wajah Sophia yang awalnya lemas tergantikan dengan senyum ceria saat melihat kembali foto USG bayinya. Bahkan sampai saat ini, dia masih memandanginya.
"Apa masih mual?" Edmund menyentuh tangan Sophia, mengalihkan pandangan perempuan itu.
"Tidak, sudah lebih baik," jawab Sophia tersenyum manis.
Kini keduanya berada dalam mobil yang berhenti di depan sebuah restoran Spanyol. Dia menggandeng tangan Sophia saat memasuki restoran dan memilih duduk yang ada di dekat jendela.
Seorang pelayan berjalan ke arah keduanya sambil memegangi buku menu. "Ini menunya, Tuan."
"Terima kasih," ucap Edmund mengambil buku berwarna hitam itu. Pelayan itu menangguk sebelum meninggalkan mereka yang sedang memilih.
"Kau mau pesan apa, Sophie?"
"Apa saja," ucap Sophia menutup hidung saat aroma menyengat membuatnya mual.
"Ada apa?Apa kau merasa mual lagi?"
Sophia mengangguk. "Hanya sedikit."
"Kau melewatkan makan siang, itu sebabnya kau mual."
Kepala Sophia menggeleng tidak setuju. "Saat pagi pun aku sudah mual."
"Lalu kenapa kau tidak meneleponku?" Nada suara Edmund terdengar khawatir.
"Untuk apa?" Sophia mendengus saat aroma kentang kembali memasuki hidungnya. "Aku ingin kita pergi dari sini."
"Kita akan pergi setelah makan siang," ucap Edmund mengangkat tangannya ke udara. Pelayan yang mengerti dengan isyarat itu segera mendekat.
"Anda ingin memesan apa, Tuan?"
"Fabada asturiana dengan porsi kecil, pisto tanpa kuah, estofado de carne con patatas, dan Empanada gallega," ucap Edmund sambil mengembalikan buku menu itu pada pelayan.
"Kenapa kau memesan banyak sekali, Ed?"
"Aku tidak tahu mana yang kau suka."
Tidak lama kemudian pelayan membawakan apa yang Edmund pesan. Pilihan Sophia jatuh pada sebuah makanan yang terbuat dari daging cincang dan gandum, dia memakannya dengan sangat lahap.
Awalnya Sophia tidak merasa mual hingga tiba-tiba saja dia berhenti menyuapkan makanan dan menutup mulutnya. Edmund yang mengerti dengan tingkah itu menunjuk kamar mandi di belakang. Sophia berdiri dengan cepat dan berlari menuju kamar mandi.
Edmund mengakhiri makan siangnya dengan cepat. Dia ikut berdiri dan menyusul Sophia ke kamar mandi.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya Edmund ketika mendapati Shopia keluar dari toilet perempuan.
Sophia mengangguk dan memeluk Edmund secara tiba-tiba. "Aku ingin keluar dari sini, perutku kembali mual."
"Baiklah, kita pergi."
Edmund mengantarkan Sophia ke dalam mobil kemudian kembali ke restoran untuk membereskan pembayaran. Dia masuk ke dalam mobil dan melihat Sophia sedang duduk lemas, membuat Edmund tidak kuat untuk mengelus kepalanya.
"Apa kita harus ke rumah sakit?"
Sophia menggeleng. "Tidak perlu, aku hanya perlu udara segar."
"Baiklah," ucap Edmund menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya.
"Aku ngantuk, Ed."
"Tidurlah, akan aku bangunkan jika sudah sampai."
Sophia melakukan apa yang Edmumd ucapkan. Dia memejamkam mata dan mulai tertidur dengan nyenyak. Tanpa diketahui Sophia, suaminya itu tidak membawanya kembali ke apartemen, melainkan menuju suatu tempat yang Edmund yakini pasti akan disukai istrinya.
Perjalanan menuju pantai memerlukan waktu kurang lebih dua jam. Dalam waktu itu, Sophia tertidur dengan sangat nyenyak bahkan dia tidak menyadari ketika Edmund memindahkannya ke atas ranjang hotel yang sudah dipesan. Senyuman tercipta pada wajah pria itu saat Sophia bergerak memunggunginya kemudian tertidur lagi.
Kedatangan Edmund ke pantai tidak direncanakan. Dia keluar dari hotel untuk membeli beberapa pakaian dan camilan sebelum Sophia terbangun. Tidak ada seseorang yang bisa Edmund perintah jadi terpaksa dia harus melakukannya sendiri.
Hotel yang ditempati Edmund sangat dekat dengan pantai hingga memudahkannya mencari pakaian dan makanan ringan. Saat Edmund kembali ke kamar hotel, Sophia sudah terbangun. Istrinya itu berdiri di balkon hotel yang menghadap langsung ke pantai. Perempuan itu merasa senang hingga tidak menyadari kedatangan Edmund.
"Kau menyukainya?"
"Edmund!" Sophia berjalan mendekat lalu memeluk suaminya sesaat.
"Kau dari mana?"
"Membeli pakaian ganti," ucapnya menyimpan papper bag itu di atas meja.
"Kenapa kau tidak bilang kita akan ke pantai?"
"Aku tidak berniat ke mari, ide itu datang begitu saja."
Telinga Sophia yang mendengar suara ombak itu tersenyum, dia mengalihkan pandangan ke luar.
"Kau ingin ke sana?"
"Bolehkah?" Senyuman Sophia semakin lebar.
"Tentu saja. Mandilah agar kau segar, aku sudah membeli pakaian ganti untukmu."
"Terima kasih, Ed," ucap Sophia memeluk Edmund sesaat sebelum mengambil papper bag yang berisi pakaian ganti.
Sophia berjalan ke arah kamar mandi sambil bersenandung kecil, membuat Edmund tersenyum samar. Dia mengingat perkataan dr. Merry kalau Sophia tidak boleh banyak pikiran, istrinya itu harus sering diajak berlibur. Edmund tidak ingin sesuatu terjadi pada calon anaknya, dia melakukan saran dr. Merry.
Setelah Sophia selesai, kini giliran Edmund yang membersihkan badan.
Setelah menunggu beberapa menit, Edmund akhirnya selesai. Keduanya keluar dari hotel dan berjalan menuju pantai.
"Ini indah sekali." Sophia hendak berlari menuju ombak, tetapi Edmund menahan tangannya dan menautkan jari-jari mereka.
"Jangan berlari," ucapnya dengan lembut.
Keduanya berjalan-jalan di sekitar pantai yang tidak terlalu ramai itu; membeli beberapa cemilan dan memakannya sambil berjalan di tepi pantai.
Saat matahari mulai tenggelam, Edmund mengajak Sophia untuk duduk di bawah pohon besar. Dari sana Sophia bisa melihat dengan jelas matahari yang seakan memasuki lautan.
"Terima kasih, Ed."
Edmund menatap Sophia. "Untuk apa?"
"Membawaku kemari, aku sangat menyukainya." Sophia tersenyum. "Mungkin kau tidak seburuk yang aku pikirkan."
Edmund terkekeh. "Aku memang tidak buruk."
Mata Sophia membalas tatapan Edmund dan ikut terkekeh. Tangan Edmund terangkat membelai pipi Sophia, perempuan itu terdiam dan tidak berontak sama sekali. Bahkan ketika Edmund menangkup satu pipinya, Sophia tetap diam.
"Kau cantik, Sophie," ucap Edmund membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang.
Perlahan Edmund mendekatkan wajahnya pada Sophia. Perempuan itu mengikuti naluri alaminya, dia memejamkan mata seolah tahu apa yang akan Edmund lakukan. Dan akhirnya hal itu terjadi, bibir keduanya saling bersentuhan.
Untuk pertama kalinya, mereka berciuman ditemani sinar matahari senja. Deburan ombak seakan menjadi lagu yang indah bagi mereka. Melupakan ego masing-masing dan membiarkan hati mereka yang membimbing.
--
Ig : @alzena2108