Vote sebelum membaca😘😘
.
.
"Aku sungguh minta maaf, Sophie," ucap Clara teman satu pekerjaan Sophia.
"Tidak apa-apa. Aku akan menontonnya sendiri." Sophia tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer.
"Bagaimana kalau kita menontonnya besok saja?" Tangan Clara menghentikan Sophia yang sedang mengetik. Dengan malas, Sophia menatap Clara yang ada di sampingnya.
"Kita sudah membeli tiketnya, sayang kalau dilewatkan, Clara."
Tadinya mereka berdua akan menonton film bersama. Namun, rencana itu harus gagal karena Clara akan berkencan dengan pacarnya.
"Baiklah." Clara kembali ke mejanya yang ada di belakang Sophia. "Apa kau sudah selesai, Sophie?"
"Tentu saja." Sophia memasukan desain yang dia buat ke dalam flashdisc. "Aku ke atas dulu, ya," lanjutnya meninggalkan Clara.
Setiap desain kemasan kue yang selesai dibuat harus diperlihatkan kepada atasan. Sophia harus mempresentasikan desain itu di hadapan bos dan klien. Jika mereka menyukainya, maka desain yang dibuat Sophia akan digunakan klien.
Butuh waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan semua ini. Beruntungnya Sophia, dia memiliki Clara yang membantu pekerjaannya.
Sophia menekan angka 6 dalam lift, dia merapikan baju sambil menghela napas. Ini pertama kalinya Sophia membuat desain, beberapa hari yang lalu Clara masih mengajarinya.
Ketika lift berhenti, Sophia memasang senyuman manis. Dia berjalan menuju ruangan atasannya.
"Permisi, Mrs. Chevrin. Apakah Tuan Franco ada di dalam?" Sophia bertanya pada sekretaris atasannya yang sedang duduk.
"Ya, dia sudah menunggumu. Masuklah."
"Terima kasih."
Dia langsung berjalan mendekati pintu kemudian mengetuknya sebelum membuka pintu itu. Mata Sophia membulat seketika saat melihat sosok pria yang dia hindari di saat seperti ini. Pria itu sedang duduk dan berbicara dengan Tuan Franco. Jantung Sophia berdetak lebih kencang ketika Edmund menatapnya.
"Kemarilah, Sophia," ucap Tuan Franco berdiri.
Dengan ragu, Sophia berjalan mendekat. Matanya menunduk karena tidak sanggup mendapat tatapan tajam dari Edmund.
"Perkenalkan, ini Tuan Edmund D'allesandro, pemilik perusahaan ini."
"Pemilik?" Sophia mengulangi perkataan Tuan Franco.
Pria tua itu mengangguk. "Dan Tuan Edmund, dia adalah pegawai baru saya, Sophia."
Edmund mengangkat tangan, hendak memberi salam pada Sophia. Dengan tangan yang bergetar, perempuan itu membalas jabatan tangan suaminya.
"Sophia," ucapnya dengan suara tersendat.
"Edmund."
Dengan cepat, Sophia melepaskan jabatan tangan. Dia ikut duduk di sofa yang ada di samping Tuan Franco. Sophia menghela napas, jantungnya seakan berhenti ketika dia mendapati Edmund sedang menatapnya tajam.
"Saya kemari untuk memperlihatkan desain kemasan. Tapi sepertinya klien kita belum datang, jadi saya akan kembali lagi nanti," ucap Sophia dengan pelan.
"Tidak perlu, Mrs .Larry sudah menyerahkan semuanya pada saya." Ucapan Tuan Franco membuat Sophia mendesah pelan, dia ingin pergi dari tempat ini. "Kita bisa mu—" Perkataannya terhenti ketika ponselnya berbunyi. Dia merogoh saku celana dan mengambil ponsel. "Saya permisi sebentar, Tuan," ucapnya sebelum melangkah menjauh untuk mengangkat telpon.
Sophia meremas roknya saat melirik Edmund. Pria itu masih menatapnya dengan tajam. Ketika Sophia hendak membuka mulut untuk bicara, Tuan Franco sudah kembali, membuat Sophia mengurungkan niatnya.
"Maaf, Tuan Edmund. Saya harus pergi, istri saya berada di rumah sakit."
Kening Edmund berkerut. "Apa yang terjadi?"
"Dia mengalami kecelakaan."
"Kalau begitu pergilah, saya yang akan menilai desain Nona Sophia."
"Terima kasih, Tuan."
Pria itu itu keluar dari ruangan, meninggalkan Edmund dan Sophia. Tangan perempuan itu semakin dingin dan bergetar ketika meletakkan map di atas meja.
"Ini desain yang—" Sophia berdeham untuk menghilangkan kegugupannya.
"Desain apa?"
Tubuh Sophia tersentak kaget begitu Edmund bertanya dengan nada membentak. Perlahan, dia mengangkat pandangan menatap mata Edmund. Dia semakin ketakutan saat pria itu berpindah duduk ke sampingnya.
"Edmund." Shopia merasa bersalah karena tidak mematuhi suaminya. Bukan hanya itu, wajah Edmund memperlihatkan bahwa dirinya sedang menahan amarah.
"Apa? Kau ingin memberiku penjelasan apa? Telingaku sudah siap mendengarkannya."
Seketika Sophia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dia menangis keras. Ucapan Edmund membuatnya merasa kesal, dan rasa kesal itu berubah menjadi kesedihan yang amat mendalam. Membuat air matanya tumpah dengan begitu mudah.
Edmund bingung melihat istrinya menangis. Dia menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Sophia. Saat Edmund mengusap punggung istrinya, tangisan Sophia semakin keras.
"Hei, hei … kenapa kau menangis?"
Edmund menarik tangan Sophia supaya tidak menutupi wajahnya. Tangisan Sophia mulai mereda ketika merasakan elusan pada kepalanya. Dia kembali mendongakkan kepala supaya bisa menatap Edmund. Namun, melihat mata biru suaminya membuat Sophia kembali menangis.
"Sudah jangan menangis lagi, aku tidak akan memakanmu, Sophie," ucap Edmund sambil mendudukkan istrinya di atas pangkuan. Dia mengelus punggungnya, menenangkan, hingga akhirnya isak tangis Sophia mulai reda.
Beberapa menit kemudian, Edmund melepaskan pelukan dan menangkup kedua pipi Sophia. Perempuan itu sudah tidak menangis lagi, tetapi sisa air mata masih tertinggal di wajahnya. Tangan Edmund terangkat untuk menghapus sisa-sisa air mata istrinya.
"Jangan menangis lagi, matamu bisa bengkak."
"Maafkan aku, Ed."
Usapan pada pipi Sophia terhenti. "Berikan aku penjelasan, Sophie."
"A ... aku bosan diam di apartemen."
Edmund menghela napas. "Kita sudah membahas ini, Sophie. Kau bisa mengambil kelas memasak atau sejenisnya."
Kepala Sophia menggeleng. "Itu berbeda. Aku hanya akan menghabiskan uangmu saja."
"Aku tidak peduli kau menghabiskan uangku, tapi kau tidak boleh kelelahan." Nada suara Edmund terdengar begitu memohon. Dia menyelipkan rambut Sophia ke belakang telinga, berharap perempuan itu mengerti dan menuruti perkataannya tanpa ada perdebatan panjang.
Sophia mencoba mencari cara agar Edmund mengizinkan. Otaknya berputar mencari alasan ketika mengingat lagi perkataan Aurin hingga akhirnya Sophia mengingat sesuatu yang sempat dia lupakan.
"Aku mencari pekerjaan untuk melunasi utang keluargaku," ucap Sophia kembali menunduk.
"Utang?"
Sophia mengangguk. Dia memang masih memiliki utang pada Gunner, mafia yang selalu mengganggunya.
"Berapa utang keluargamu? Aku akan melunasinya."
"Aku tidak butuh uangmu, Ed. Aku bisa membayarnya sendiri." Sophia kembali menahan tangisan.
"Aku yang akan melakukannya, Sophie."
"Kenapa kau peduli padaku?"
"Tentu saja karena kau adalah istriku, sedang mengandung anakku," ucap Edmund dengan suara meninggi.
Tangisan Sophia yang ditahan itu akhirnya pecah, dia kembali menangis. Tangisnya lebih memilukan dari sebelumnya. Dia menepis pelan tangan Edmund yang berusaha menyentuh wajahnya.
Bukan karena jijik, melainkan karena Sophia takut semua bayangan buruknya akan terjadi. Dia tidak akan menjadi istri Edmund selamanya. Sophia hanya bisa menikmati hidup dengan banyak uang saat dirinya masih mengandung.
"Jangan menangis lagi, Sophie."
Edmund berusaha menenangkan Sophia, tetapi usahanya sia-sia. Tangisan Sophia tidak kunjung reda, dia menunduk dengan air mata yang terus berjatuhan pada jas suaminya.
Sebelumnya Edmund pernah mendengar cerita dari teman-temannya yang sudah memiliki anak. Tidak sedikit dari mereka mengatakan kalau menghadapi ego ibu hamil adalah hal yang paling sulit. Jika saja keinginannya tidak terkabul, biasanya ibu hamil akan menangis dan hal itu dapat mempengaruhi perkembangan bayi. Edmund tidak ingin hal itu terjadi, dia menarik paksa Sophia untuk kembali ke dalam pelukannya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kau boleh bekerja jika itu yang kau mau."
Tangisan Sophia berhenti seketika. Perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap Edmund. "Benarkah?"
Edmund mengangguk. "Kau boleh bekerja, tapi tidak di sini. Melainkan di perusahaan tempatku bekerja, itu akan memudahkan aku untuk mengawasimu."
"Maksudmu, kita berada bekerja di dalam gedung yang sama?"
"Iya, seperti itu." Tangan Edmund kembali membersihkan sisa air mata pada pipi Sophia. "Bagaimana? Hanya itu tawaran yang bisa aku berikan."
Tidak ada ekspresi pada wajah Sophia, dia hanya diam kemudian memeluk Edmund erat, menenggelamkan wajahnya pada leher pria itu. Edmund dapat merasakan Sophia tersenyum dalam pelukannya.
"Apa aku akan mendapatkan gaji?"
"Astaga, tentu saja."
"Terima kasih," ucapnya tepat di telinga Edmund. "Tapi pekerjaan apa yang aku dapatkan?" Sophia menjauhkan wajahnya dari tubuh Edmund.
"Aku masih memikirkannya."
"Kau tidak akan menyuruhmu menjadi asistenmu, 'kan?"
Tanpa diduga, Edmund tertawa keras. "Asisten?" Dia menegakkan tubuhnya. "Kalau kau ingin posisi itu, otakmu harus di atas rata-rata, Sophie."
"Jadi maksudmu aku itu bodoh?"
Melihat mata Sophia yang kembali berair membuat senyuman Edmund luntur seketika. Dia menggelengkan kepala. "Tidak, tidak, bukan seperti itu. Sudahlah lupakan ucapanku." Dia mencoba menarik kembali Sophia ke dalam pelukan, tetapi perempuan itu menolak.
"Kapan kau kembali ke LA?"
"Sebenarnya aku sudah kembali sejak malam tadi."
"Sejak malam tadi?" Suara Sophia meninggi. "Lalu kenapa kau tidak bilang?"
"Aku memang berniat memberimu kejutan."
Sophia mengerucutkan bibir kesal. Hal itu membuat Edmund gemas. Dia mencubit bibir Sophia dan diakhiri dengan suara tawa.
****
Love,
ig : @Alzena2108