Chereads / Oh Baby (Romance) / Chapter 18 - Bab 18

Chapter 18 - Bab 18

Vote sebelum membacašŸ˜˜ Jangan lupa tambah fav dan kasih bintang.

.

.

Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.

Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.

Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.

Wajah Edmund jatuh pada ceruk leher Sophia membuat pemiliknya kembali ketakutan. Namun, Sophia mengurungkan niat mendorong Edmund begitu telinganya menangkap kata maaf. Sophia terdiam. Dia mendengarkan kata maaf terus terulang dari mulut suaminya.

Perlahan tangan Sophia terangkat mengusap kepala Edmund saat pria itu mengeratkan pelukan, seolah memberitahu bahwa dia menyesali perbuatannya. Wajah Edmund terangkat, menatap wajah Sophia yang masih menyisakan air mata.

"Maafkan aku," ucap Edmund dengan suara pelan.

Kepala Sophia mengangguk. Dia mengalihkan pandangan dari mata safir itu. Tidak ada rontaan dari Sophia ketika Edmund kembali menariknya ke dalam pelukan, membiarkan pria itu merengkuh tubuh kecilnya.

Ketika Edmund duduk di single sofa, dia tidak melepaskan pelukan. Edmund menempatkan Sophia untuk duduk di pangkuannya. Keduanya tetap berpelukan selama beberapa saat dengan tangan Edmund yang tidak berhenti mengusap punggung istrinya.

"Maaf membuatmu takut, Sophie."

Kepala Sophia kembali mengangguk. "Aku baik-baik saja." Dia melepaskan pelukan dan menatap mata Edmund untuk meyakinkan pria itu.

"Akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan yang membuatku cukup lelah dan stres. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu," ucap Edmund sambil memainkan rambut panjang Sophia.

"Mandi busa bisa membantu menghilangkan stres."

Edmund tersenyum kecil. "Mandi busa?"

"Ya, kalau kau mau aku akan membuatkannya untukmu." Suasana sedikit mencair sehingga Shopia merasa nyaman.

"Aku rasa ada yang lebih baik dari mandi busa."

Kepala Sophia menggeleng tidak setuju. "Tidak ada yang lebih baik dari mandi busa aroma therapy."

"Tidak, Sophie. Pelukan adalah obat penghilang stres yang terbaik," ucap Edmund kembali menarik Sophia ke dalam pelukan.

Tidak ada lagi rontaan yang dilakukan perempuan itu. Rasa takutnya hilang dan digantikan dengan rasa nyaman.

"Kau adalah istriku, aku tidak pernah menyangkalnya." Edmund mengusap kepala Sophia dengan pelan.

Tidak ada jawaban dari bibir Sophia, dia hanya diam sambil bersandar di dada Edmund. Rasanya nyaman sekali, wanita itu merasa menemukan kembali sosok seorang ayah. Dia begitu menyukai jika seseorang mengusap rambutnya seperti yang dilakukan Edmund sekarang ini.

Tanpa mereka sadari, seseorang sedang memasukan kode apartemen. Saat Rose membuka pintu, dia tidak sengaja menjatuhkan barang yang dibawanya hingga dua orang yang sedang berpelukan itu mengalihkan pandangan pada Rose.

"Maaf, Ed. Mommy lupa kalau kalian masih pengantin baru," ucap Rose dengan nada menggoda.

Sophia yang menyadari posisinya ada dalam pangkuan Edmund segera berdiri. Dia berjalan ke arah Rose dan membantu membereskan barang yang dijatuhkannya.

"Apa kedatanganku benar-benar mengganggu?"

"Apa yang Mommy bicarakan," ucap Sophia sambil membantu Rose membawakan papper bag yang penuh ke meja pantry .

"Jujur saja, Mommy lupa untuk mengetuk pintu." Rose tersenyum jahil, dia kembali menggoda Sophia.

"Sudahlah, Mom," ucap Sophia dengan pipinya yang bersemu merah.

"Jangan menggodanya terus-menerus, Mom." Edmund mendekati Sophia dan merangkulnya dari samping.

"Astaga, kalian sangat cocok!" Rose memandang anak dan menantunya dengan mata berbinar.

"Kami tahu itu," balas Edmund sambil mendaratkan ciuman di pucuk kepala istrinya, membuat pipi Sophia semakin memerah.

"Dia malu, Ed." Rose berbisik dengan suara keras, melemparkan kembali tatapan jahil pada Sophia.

"Dia memang seperti ini."

Sophia tersentak kaget begitu Edmund mendaratkan ciuman pada pipinya yang terasa panas. Dia menoleh menatap Edmund yang tersenyum manis.

"Aku ke atas dulu," pamit Edmund.

Tatapan Sophia masih terkunci pada Edmund yang sedang menaiki tangga. Sikap manis suaminya yang datang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan dia mulai merasakan sesuatu yang salah terjadi padanya.

"Kau bisa menyusulnya saat Mommy sudah pulang."

Sophia mengalihkan pandangan saat ingat Rose masih berada di depannya. Dia tersenyum kecil saat mertuanya kembali melemparkan tatapan jahil.

"Mommy membawakan makanan yang baik untuk kehamilan. Jangan sampai lupa memakannya, Sophie." Rose menyusun makanan yang dia bawa ke dalam kulkas.

"Apa kau baru saja belanja?"

"Iya, Mom. Apa tidak cukup?" Sophia berjinjit untuk melihat kulkas bagian bawah. Dia dan Rose terhalang oleh meja pantry panjang dengan bentuk U.

"Cukup, hanya saja sedikit padat," jawab Rose sambil berdiri.

"Kau memasak, Sophie?"

"Iya, apa Mommy sudah makan?" Sophia berjalan ke arah meja makan mengikuti Rose.

"Kau tidak keberatan bukan jika Mommy mencoba masakanmu?"

"Tentu saja tidak, Mommy. Duduklah."

Sophia berucap dengan senang. Dia mengambilkan minuman untuk Rose dan menemani wanita itu makan malam. Karena Sophia sudah makan malam, dia hanya duduk sambil berbagi cerita dengan Rose. Ibu mertuanya menceritakan kejadian yang dialaminya hari ini.

Suara tawa Rose dan Sophia menggema di malam itu. Keduanya tertawa bersama hingga lupa waktu. Sophia begitu senang, Rose sudah dianggap ibu kedua baginya. Wanita itu begitu baik hingga Sophia juga ikut larut dalam cerita-cerita dari Rose. Telinga Sophia masih betah mendengarkan lebih banyak cerita.

"Astaga, ini sudah malam, Sophie. Mommy harus pulang," ucap Rose ketika dia melihat jam tangan.

"Mommy menginap saja di sini," pinta Sophia saat Rose berdiri dari duduknya.

Wanita itu tersenyum, dia mengusap pipi Sophia dengan lembut. "Kalau Mommy menginap di sini, Edmund akan kalah saing."

"Mommy ...."

Ibu mertuanya itu terus saja menggodanya tanpa lelah. "Ayah mertuamu akan kesepian jika Mommy menginap."

Sophia mengembuskan napas, membuat Rose gemas dan mencubit pipi menantunya itu. "Ayolah, kau harus menemani Edmund malam ini." Rose meminum air putih sambil melihat sekeliling. "Kenapa dia tidak turun lagi?" gumam Rose yang masih dapat didengar.

"Edmund bilang dia banyak pekerjaan yang membuatnya lelah, jadi dia mungkin sudah tertidur sekarang."

"Ya, memang banyak masalah di perusahaan akhir-akhir ini."

"Masalah tentang apa?"

Rose berdeham mendengar pertanyaan Sophia kemudian menggelengkan kepala. "Bukan masalah serius. Mommy pulang dulu, ya." Dia memeluk Sophia sesaat sebelum berjalan keluar.

"Hati-hati di jalan, Mommy!" Teriak Sophia saat Rose membuka pintu.

"Pasti." Rose mengangkat jempol. Dia tersenyum sebelum menutup pintu kembali.

Sophia menghela napas, apartemen terasa begitu sepi saat malam hari. Dia membereskan terlebih dahulu piring yang kotor sebelum naik ke atas untuk menyusul Edmund. Ketika Sophia membuka pintu kamar, hal yang pertama dilihatnya adalah Edmund yang sedang tidur tanpa baju.

Tanpa sadar, Sophia tersenyum. Dia bergabung bersama suaminya setelah mematikan lampu. Posisi Edmund yang menghadap ke arahnya membuat Sophia mendapatkan kesempatan mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Hidung yang mancung, rahang yang kokoh, dan alis yang tebal. Sophia tidak pernah menyangka akan menikah dengan pria yang begitu tampan dan memiliki banyak uang.

Namun, dia teringat dengan kata-kata Aurin. Perempuan itu mengatakan kalau Edmund akan membawa anaknya pergi setelah mereka bercerai. Membayangkannya saja membuat Sophia sedih, hatinya sakit seakan dicubit oleh sesuatu.

Sophia membalikkan badan, membelakangi Edmund agar tidak melihat wajah pria itu. Dia menaikkan selimut dan perlahan air mata mulai menetes saat membayangkan kata-kata yang diucapkan Aurin menjadi kenyataan. Sophia harus menjauh dari anaknya setelah dia dan Edmund berpisah.

Tubuh Sophia menegang begitu Edmund tiba-tiba memeluknya dari belakang. Pria itu semakin merapatkan tubuhnya pada punggung Sophia saat mendengar suara isak tangis. Edmund mengecup kepala Sophia sebelum membalikkan tubuh istrinya agar mereka berhadapan. Mata Edmund dipaksa terbuka untuk melihat Sophia padahal dia masih mengantuk.

"Ada apa? Mengapa kau menangis?" Tangan Edmund mengusap pipi Sophia yang sudah basah oleh air mata.

Istrinya itu menggeleng. "Tidak. Maaf sudah membangunkanmu." Dia hendak membalikkan badan lagi, tetapi Edmund menahannya.

"Apa kau menangis karena tingā€”"

"Bukan, bukan karenamu." Sophia memotong ucapan Edmund. "Aku hanya kesulitan tidur," lanjutnya dengan suara merendah.

"Sulit tidur?"

Sophia mengangguk tanpa menatap pria itu.

"Kemarilah, aku tahu cara agar kau bisa cepat tidur." Edmund menarik Sophia ke dalam pelukan, membiarkan istrinya berbaring di dada bidangnya dengan kedua tangan membelit tubuh kecil itu.

"Ini tidak akan berhasil." Sophia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil karena Edmund semakin memeluknya erat.

"Ini selalu berhasil. Cobalah pejamkan matamu."

Sophia berhenti bergerak, dia mengikuti apa yang Edmund katakan.

Saat mata Sophia terpejam, dia dapat mendengar suara detak jantung Edmund dengan jelas. Detak itu seperti sebuah drum yang dipukul dengan sangat cepat. Entah mengapa suara detak jantung itu seakan menjadi lagu pengantar tidur yang membuat Sophia mulai mengantuk. Dia menggerakan kepala untuk mencari posisi nyaman di dada Edmund.

Sebelum Sophia benar-benar terlelap dalam tidur, dia dapat merasakan kecupan hangat di kening. Tubuh Sophia merespons dengan memeluk Edmund.

***

Love,

ig : @Alzena2108