Syifa membuang napas pendek. Dia segera membuka pintu apartemen dan bisa mendengar suara Hali yang sekali lagi meracau. "Akhirnya terbuka juga." Begitu pintu terbuka Hali ingin masuk tapi langsung di tahan oleh Syifa dengan menempelkan tangan ke wajah tampan milik Hali.
Dia mendorong tubuh pria itu hingga mundur beberapa langkah. "Apa-apaan ini?!" hardik Hali dikarenakan masih mabuk.
"Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu, Apa-apaan kau?!" Hali memandang Syifa dengan mata menyipit. Dia mendekat pada wanita itu dan mendorong Syifa untuk masuk.
"Hali, ini bukan apartemenmu. Apartemenmu itu ada di samping apartemen ini."
"Tch, berisik. Aku pusing sekarang jangan tambah sakit, biarkan aku menginap di sini barang semalam ya." pinta Hali. Dia lalu membaringkan diri di salah satu sofa panjang dan meletakkan lengannya di sekitar wajah untuk menutupi sinar lampu yang membuat matanya tak nyaman.
"Di mana Rey?"
"Dia sudah tidur."
"Oh baguslah." Untuk waktu yang cukup lama keduanya diam. Tidak ada pembicaraan karena larut dalam pikiran masing-masing.
"Mmm ... Syifa ambilkan ember." ucap Hali tiba-tiba. Kedua pipinya mengembung sepertinya menahan sesuatu di dalam mulut.
Syifa yang menyadari Hali sedang muntah segera pergi mengambil ember yang sudah diisi air. Segera diberikan pria itu dan Hali langsung muntah.
Wajah Syifa tampak tak nyaman. Rasa mual menyerang melihat Hali muntah yang membuat dia otomatis menutup mulut. "Aduh kau ini kenapa minum banyak sekali? Kau jadi muntah begini." omel Syifa.
Dia berjalan mendekat lalu dia usap punggung Hali hanya memberikan dorongan sedikit. "Maaf ... kalau aku minum. Aku selalu kepikiran Marisa."
"Marisa?" Hali mengangguk lemah.
"Siapa Marisa?"
"Pacar ... oh bukan maksudku mantan pacarku." Pancaran mata sedih dari pria itu membungkam Syifa. Wanita itu memilih untuk melanjutkan kegiatannya dengan mengelus kembali punggung dari Hali.
"Ukh ... kenapa sih aku harus ingat dia? Marisa yang jahat karena minta putus denganku, padahal aku ke sana untuk bisa berbicara dengannya lagi tapi ....." Air mata perlahan keluar matanya namun segera diseka kasar.
Kenapa setiap selalu mengingat mantan kekasih, Hali jadi lemah terlebih di depan Syifa sekarang. Dia, kan malu. Nanti tercoreng harga dirinya di depan sekretarisnya itu.
"Kalau mau tertawa silakan." ucap Hali seraya menghapus lagi air matanya yang kembali turun dan kali ini lebih deras membuat mata pria itu sembab sekaligus merah.
Syifa membuang napas tak seperti ekspektasi Hali yang menciptakan rasa bingung. "Tidak apa-apa, kalau mau menangis silakan saja. Semua orang berhak menumpahkan kesedihannya termasuk kau Hali."
Hali mengerjapkan matanya barang sesaat sampai matanya berkaca-kaca lalu pecah tangisnya tapi tangisnya itu disertai dengan dirinya muntah.
"Dasar merepotkan." ejek Syifa entah pada siapa.
❤❤❤❤
Hali terbangun dari tidurnya saat mencium bau wangi masakan. Dia langsung cepat memosisikan dirinya sambil mengucek matanya dan pria itu sadar, dia masih berada di apartemen yang ditempati Syifa dan Rey.
"Ayah!" Sosok anak kecil yang berada di depannya kini mengumbar senyuman manis.
"Bunda, Ayah sudah bangun!" Hali memberikan senyuman kemudian menepuk kepala milik Rey membalas senyuman manis yang tidak menghilang di bibir pria itu.
"Selamat pagi Rey."
"Pagi Ayah." Datanglah Syifa dengan nampan yang berisi sarapan berupa bubur Ayam.
"Pagi Syifa." Sejenak Syifa agak tertegun kemudian membalas pelan.
"Apa kau merasa pusing?"
"Ya, sedikit."
"Cuci mukamu dulu, sarapan baru kau bisa minum obat pengar."
"Terima kasih Syifa."
"Sama-sama." Syifa sekali lagi berjalan menuju dapur sedang Hali bergerak ke kamar mandi apartemen itu.
Rey terus mengekori Hali bahkan dia rela menunggu beberapa menit di luar kamar mandi.
"Rey, kenapa di situ ayo makan sarapan."
"Tapi Ayah, Ley takut Ayah sakit!"
"Rey Ayah baik-baik saja kok nanti juga kalau sudah minum obat, Ayah akan sembuh." Rey mengerucutkan bibir. Dia kemudian bergerak mendekat pada Syifa dan duduk di samping wanita yang telah membesarkannya penuh kasih sayang.
Hali keluar lalu bergabung bersama mereka. Memakan bubur Ayam dengan lahap dan meminum obat, semua itu dia lakukan agar rasa pusingnya berkurang.
"Ayah, kenapa mata Ayah bengkak? Melah lagi, Ayah sakit mata?" Sebagai respons Hali mengangguk.
"Jadi Rey jangan lihat terus mata Ayah nanti tertular lagi." Rey buru-buru menutup matanya membuat Hali tertawa geli.
"Jangan menggodanya kau nakal sekali."
"Hehehe ... sorry tapi tak mungkin bukan aku bilang kalau melihatku seperti ini. Gengsi aku. Kau punya tidak kacamata hitam supaya aku pakai lebih dulu."
"Ada tapi nanti ya aku kasih. Lebih baik kau bersiap-siaplah menuju kantor." Sekali lagi Hali menuruti perintah Syifa dengan menuju apartemen agar bersiap-siap sementara Syifa dan Rey yang sudah selesai hanya tinggal menunggu pria itu.
"Maaf membuat kalian menunggu lama. Syifa mana kacamatanya." Syifa mendengus. Dia segera mengeluarkan sebuah kacama hitam yang kemudian dikenakan oleh Hali.
"Bagaimana penampilanku?"
"Bagus Ayah!" Dia kembali menatap Syifa dan wanita itu berisyarat bahwa penampilan dari Hali sangatlah baik.
"Ayo kita pergi." Ketiganya pun berjalan menuju lift dan masuk.
"Syifa hari ini penerimaan karyawan baru."
"Iya ada penerimaan. Kau mau melihatnya."
"Kalau ada kesempatan. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu."
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!