Hali dan Syifa masuk bersama-sama di lift. Wanita itu memandang Hali dengan diam sampai lama sekali. Tentunya Hali menyadari itu dan berdeham. "Jangan menatapku seperti itu, aku risi tahu. Bagaimana pun juga aku adalah bosmu."
Syifa membulatkan mata. Dia lantas mengalihkan pandangan secara cepat sementara kedua pipinya tampak memerah. "Maaf pak Hali, saya sudah kurang ajar. Sebenarnya saya mau berterima kasih sebab sekali lagi anda membantu saya."
"Hei tak apa-apa, aku memang berniat menegur mereka karena kerja mereka tak becus. Seenaknya saja mengobrol ketika aku ada." Hali pun diam begitu pintu lift terbuka dan keluar menuju mobil diparkiran.
"Pak, apa saya akan ikut juga meeting bersama Pak Hali?"
"Tentu saja. Kau ini sekretarisku."
"Tapi pak saya sudah janji sama Rey jam makan siang datang untuk melihatnya."
"Baiklah."
"Maksud anda?"
"Ya kita akan menyelesaikan meetingnya sebelum jam makan siang." Syifa menghentikan langkahnya dengan pandangan tak percaya.
"Apa anda serius?" tanya Syifa pada Hali. Pria itu berhenti lalu menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri.
"Tentu saja." Wanita itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Senyuman manis ditorehkan dan sebelum Hali naik, Syifa setengah berlari menghampirinya.
Hali agak terkejut dengan tindakan Syifa dan mematung saat Syifa menggenggam hangat kedua tangan besar milik Hali. "Terima kasih ya pak. Pak Hali sangat baik, saya tak tahu harus berkata apa lagi semoga Pak Hali rejekinya lancar."
Terang saja jantung Hali berdebar tak karuan melihat tatapan binar Syifa. Dia langsung menyingkirkan kedua tangan milik Syifa yang kecil nan hangat menciptakan rasa kaget pada sekretarisnya itu. "Iya, iya sekarang kita harus bergerak cepat jika mau tepat waktu."
Syifa tak memiliki waktu untuk bengong jadi dia langsung menepis perasaan aneh saat genggamannya dilepas dan terpusat pada pekerjaan. Tak berapa lama setelah Syifa masuk, mesin mobil mulai menyala dan akhirnya pergi dari parkiran.
Selama perjalanan, suasana canggung terasa di antara mereka berdua. Mereka sekali lagi menepis pikiran masing-masing dalam diam juga berusaha fokus untuk pekerjaan. Hali sibuk dengan menyetir sedang Syifa memilah beberapa file untuk memastikan bahwa tidak ada yang ketinggalan.
Tibalah mereka di sebuah perusahaan yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan milik keluarga Hali. Mereka langsung disambut baik oleh sekretaris dari CEO perusahaan dan membawa mereka menuju ruang CEO di mana mereka telah ditunggu.
Dimulailah pembicaraan bisnis yang membosankan. Beberapa kali Syifa menutup mulutnya karena sering kali menguap. Kadang-kadang dia melirik beberapa kali jam di ponsel.
Tak dia sadari jika sosok pria berumur 30 tahun bernama Paul yang adalah lawan bicara dari Hali terus saja memandang Syifa. Senyuman simpul menghiasi bibir dari pria itu tatkala melihat Syifa berusaha menahan kantuknya.
Malah Hali menyadari hal itu dan terlihat tak suka. "Permisi Pak Paul!" suara dari Hali terkesan besar membuat kedua orang yang berada di satu ruangan terkejut.
"Apa anda sudah membuat keputusan?" Pertanyaan itu membuat Paul sedikit linglung ditambah dengan tatapan intimidasi dari Hali. Entah sengaja atau tidak, Paul merasa Hali menghalangi pandangannya dari Syifa.
"Sudah dan saya setuju dengan kerja samanya. Semoga saja dengan begini perusahaan kita berdua bisa maju." Tangan Hali dan tangan Paul saling berjabat tangan.
Akan tetapi, begitu Paul ingin memberikan jabat tangan pada Syifa. Hali sekali lagi menolak dengan menarik tangan Paul agar kembali menjabat tangannya.
"Maaf aku permisi dulu, ayo Syifa." Syifa mengangguk pelan dan mengikuti langkah dari sang bos.
"Tunggu sebentar Pak Hali," otomatis langkah pria itu berhenti dan memandang kembali pada Paul.
"Bisa kita bicara sebentar?" Hali mengalihkan pandangan pada Syifa. Dia mengisyaratkan agar Syifa keluar terlebih dahulu. Sekretarisnya itu menurut tanpa berpikir sama sekali.
"Ada apa Pak Paul?" tanya Hali selagi dirinya menghampiri Paul dan duduk di tempatnya semula.
"Ekhem ... ini mengenai sekretarismu itu. Aku dengar namanya Syifa ya?" tanya Paul berbasa-basi.
"Ya, ada apa?"
"Begini, bisakah kau mengenalkanku padanya. Aku merasa tertarik. Belum pernah aku lihat ada seorang wanita seperti dia." Dalam hati Hali tersenyum meledek.
Apa dia pikir Hali sebodoh itu hingga dia mau mengenalkan Syifa padanya? Hali tahu watak Paul yang sebenarnya. Jangan berharap dia itu pria baik-baik.
Meski Paul adalah orang sopan tapi itu hanyalah kedok sebagai orang mesum. Sudah banyak sekali wanita yang terjerat akan ketampanan dan kesopanannya namun sekali lagi sifatnya hanya topeng belaka.
Dari beberapa temannya yang pernah bekerja sama atau pun teman dekat dari Paul, Hali mengetahui jika Paul menyukai wanita. Setiap sekretaris yang dibawa oleh para pemimpin adalah seorang wanita cantik maka dia dengan ramah tamah meminta untuk dikenalkan.
"Jadi anda ingin mengenalnya? Wah kalau begitu saya tak bisa. Sekretaris saya adalah wanita yang tak mau berhubungan dengan pria asing."
"Kalau begitu bagaimana dengan meminta dia untuk--" Sepasang mata Hali menjadi tajam. Selain menyebalkan dia itu keras kepala menciptakan rasa tak suka pada Paul semakin bertumbuh.
"Asal kau tahu saja, Syifa adalah Ibu dari anakku." Perkataan Hali yang menyela membuat Paul terdiam.
"Kalau begitu aku permisi dulu. Aku memiliki beberapa pekerjaan penting." ucap Hali seraya mengalihkan pandangan ke depan. Dia tersenyum puas bisa membuat mulut Paul terbungkam seribu bahasa.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!