Chereads / An Ice Cube Man / Chapter 14 - BAB 14

Chapter 14 - BAB 14

"Hi Banyu! Nama Mami, Elina Lituhayu. Kamu suka coklat?" Suaranya lembut tapi aku masih membencinya.

"Boleh aku panggil tante aja? Karena aku sudah punya Mama." Jika saja aku bisa kembali ke masa itu, mungkin Elina sudah aku siram dengan air.

"Banyu. Papa sudah bilang, panggil Mami Elina." Aku ingat sekali pria brengsek itu petnah berteriak kearahku untuk memaksaku memanggil wanita ular itu Mami.

"Sudahlah Mas biarkan saja! Dia memegang lengan pria keparat itu untuk merayu. "Kamu bisa panggil aku apa pun asalkan kamu nyaman." Ucapnya sambil mengusap kepalaku.

"Iya tante."

"Ya udah, ayo kita makan dulu. Kamu mau makan yang mana Banyu?" Tanyanya sok baik terhadapku.

"Aku ambil sendiri tante. Aku mau tunggu Mama dulu." Aku berusaha mengelak.

"Banyu. Mama kamu itu nanti juga bisa makan sendiri. Udah sekarang kita makan dulu." Dengan santainya pria tak tahu diri ini makan di depanku.

Ya baru kali ini aku harus melewati makan malam tanpa Mama. Malahan aku harus makan malam bersama orang asing yang sepertinya akan merusak hari hariku kelak.

***

Saat itu aku hanyalah anak anak yang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi Mama. Bahkan aku terbilang takut jika Papa sampai memarahiku atau menghukumku.

Aku tahu setiap hari Mama menangis dan hancur karena perbuatan pria brengsek itu. Dia bahkan rela hidup bertahun tahun dengan kondisi seperti itu.

Papa memang tidak bisa menceraikan Mama karena ada sesuatu yang harus di langgar jika mereka berpisah. Ada ketakutan tersendiri dari Papa jika berpisah dari Mama. Dari dulu Papa memang cuek dengan kami. Bahkan sering tidak menganggap kami. Dia seperti memiliki dunianya sendiri. Tak jarang dia sering menikmati waktunya di luar rumah.

Dengan datangnya Elina dan Evano membuat Papa sering pulang ke rumah. hal itu juga membuat hari hariku dan Mama tidak tenang. Apa lagi tingkah angkuhnya akan keluar jika tidak ada Papa di rumah.

Elina memang tidak pernah menyentuhku dalam kekerasan fisik, tapi dia begitu licik. Dia berusaha menyingkirkan aku dari rumah sejak aku masih sekolah.

Saat aku sudah kelas satu menengah pertama, dia meminta keparat itu untuk mengirimku sekolah ke luar negeri. Aku dengan tegas menolaknya. Jangan lupa kalau aku masih punya eyang yang akan berpihak padaku dan Mama.

Kedatangan Elina merubah semuanya, dia bahkan menghancurkan masa masa menyenangkanku. Aku tahu dia bukan orang yang tepat untuk menggantikan posisi Mama. Dia penghancur keluarga kami yang sebenarnya. Dialah lintah yang selalu menghisap kebahagiaan kami.

Dia memang penguasa di rumah bahkan terkadang merasa lebih penguasa di bandingkan Mama. Aku sendiri kadang juga bingung bagaimana bisa Mama menghadapi semua ini. Posisinya sering disudutkan tapi Mama masih saja sabar. Mama tidak pernah membalasnya. Mama bahkan masih bisa tersenyum ke arahku.

Saat aku mulai menginjak kelas dua menengah pertama, aku memberontak. Bahkan jika tidak di kontrol oleh Eyang dan Mama bisa saja aku menjadi anak yang salah jalan. Hidupku sudah tidak penting. Bagaimana tidak, setiap di rumah aku harus baik kepada Evano atau pun Elina si wanita ular itu.

Aku pernah terlibat pertengkaran dengan Evano karena permainan video game. Dia pernah dengan sengaja mengambil stikku dengan paksa. Aku berusaha mengingatkannya baik baik. Dia malah balik mengancamku. Lalu aku dan dia terlibat adu mulut yang berakhir dengan aku di hukum oleh keparat itu untuk tidak menyentuh video game.

Aku juga pernah dapat hukuman dari pria tak tahu diri itu, naik turun tangga sampai lima belas kali hanya karena Evano memfitanahku merobek bukunya.

Evano memang mulai menjengkelkan kala itu. Dia bahkan sering memfitnahku agar dia bisa menguasai semua mainan canggih yang aku miliki. Padahal tidak semua mainan itu di beli oleh Papa.

Aku sudah begitu muak dengan keadaan ini. Aku mulai membantah apa yang selama ini di minta oleh pria keparat itu. Jangan di tanya lagi seberapa banyak aku menerima pukulan dari keparat itu.

Aku sering sekali pergi ke rumah Eyang agar bisa mendapat kasih sayang yang sebenarnya sebagai anak. Eyang bukanlah tipe orang yang memanjakan aku, tapi mereka akan memberiku kata kata yang masuk akal jika aku mulai hilang kendali.

Dari kejadian itu Eyang sering sekali datang ke rumah. Membuat Elina dan Evano harus sering pergi dari rumah untuk menghindari Eyang. Aku sangat senang dan puas jika mereka perlahan lahan merasa tidak nyaman karena Eyang sering datang.

"Lu, ini ibu bawakan bahan bahan buat masak. Kamu suka masak, jangan di pendam. Kalau kamu sering melakukan apa yang kamu suka, ibu yakin kamu lebih mudah menghadapi beban saat ini." Aku ingat itu adalah kata kata Eyang untuk Mama saat itu.

"Iya bu. Aku juga udah mulai biasa mengahadapi ini. Ibu tenang saja."

"Kalau sampai ibu dan bapak tahu langsung perempuan itu dan Agung di rumah, akan ibu usir semua." Tegas Eyang yang menahan emosi karena tingkah anaknya sendiri.

"Eyang! Mending Eyang menginap malam ini. Biar mereka tidak pulang." Rayuku pada Eyang putri yang asik memilah milah sayur bersama Mama.

"Eyang maunya begitu. Kamu rayu Eyang kakung dulu sana!" Perintah Eyang putri ke padaku.

Saat aku sedang asik mengobrol dengam Eyang kakung, tiba tiba saja telepon rumah berbunyi. Aku hanya menebak saja, kalau bukan pria keparat itu ya si wanita ular.

Benar saja. Asisten rumah tangga segera memanggil Mama. Tapi sayangnya Eyang yang malah mengambil alih telepon itu.

"Memangnya kenapa kalau aku belum pulang hah?" Eyang segera mengeluarkan jurus seribu omelannya yang berhasil membuatku merasa puas.

Entah apa yang dijawab oleh pria tak tahu diri itu.

"Aku ini ibumu. Aku yang melahirkan kamu. Kamu berani mengusirku?" Aku bisa tertawa puas di dalam hati.

Mata Eyang sampai melotot karena sudah tidak bisa menahan emosinya.

"Jika kau tidak pulang sekarang, akan aku bawa menantu dan cucuku. Lalu aku bakar rumah ini." Ancamnya keras.

Aku bukannya merasa takut atau bagaimana, tapi lebih merasa puas dengan ucapan Eyang.

Eyang selama ini tidak pernah menganggap Evano sebagai cucunya. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa dan tidak pernah berani bertanya karena aku masih sayang telinga dan jantungku. Tak bisa aku bayangkan jika harus menerima teriakan Eyang yang nyaring.

Begitu Papa sudah di rumah, jangan di tanya apa terjadi. Tak segan segan Eyang membuang semua barang milik Elina. Bahkan baju baju mahal milik Elina hancur di buat Eyang.

Hal itu masih juga belum membuat mereka jera. Eyang memang sudah memperingatkan anaknya itu, jika dia berani membelikan properti untuk Elina, maka semua akan di hancurkan oleh Eyang. Jika Elina di berikan fasilitas bagus, maka Eyang yang akan mengambilnya.

Berbeda saat dengan Mama. Eyang malah sayang dan selalu menghibur Mama. Eyang sering mengajak Mama keluar untuk makan bersama. Eyang bahkan memberikan modal untuk Mama memulai usaha cateringnya.

Dari situlah, aku tidak pernah bisa membantah apa yang Eyang dan Mama perintahkan. Aku ingin selalu membuat mereka tersenyum bahagia. Aku ingin membuat mereka selalu bangga kepadaku. Dan mulai saat itu juga api kebencianku berkobar untuk pria keparat itu.