"Garin, suamimu belum bangun?" Suara Mama mertuaku memecah konsentrasiku yang sedang bergelut di dapur.
"Sepertinya belum ma, sebentar, nanti aku cek lagi. Aku selesaikan masak dulu." Pintaku.
Mungkin yang terbayang pada semua orang adalah hidupku sangat bahagia karena memiliki mertua yang sangat perhatian terhadapku. Memiliki suami yang kaya dan menawan. Pemilik "O Cafe" yang cukup terkenal di kalangan pebisnis kuliner.
Dari segi fisik tidak perlu di ragukan lagi. Rambutnya hitam pekat. Kulitnya yang eksotik dengan bentuk tubuh yang atletis bisa membuat wanita yang melihatnya terbuai. Dia juga memiliki kumis dan jenggot yang tipis.
Banyu Aron Wicaksono itulah suamiku. Namanya tak bisa dianggap enteng di dunia kafe dan kopi. Dia juga terkenal sebagai seorang pewaris tahta "Samudera pictures".
"Saya terima nikahnya Garin Lituhayu binti Surya Maulana dengan mas kawin tersebut tunai" Suara lantangnya yang berada di sebelahku kala dia melakukan prosesi akad nikah terus menggema di telinga dan otakku.
Lima bulan yang lalu, kita seperti sepasang yang paling berbahagia. Bagaimana tidak. Pesta yang mewah, makanan yang aku dan mama mertuaku rancang dan tamu tamu yang begitu banyak sepertinya adalah hal yang sempurna.
"Aku belum bisa melakukannya. Aku juga tidak mengenalmu." Itu lah dua kalimat yang selalu aku ingat saat pertama kali masuk ke kamarnya.
Badanku mematung saat dia mengambil bantal dan meletakkannya di atas sofa yang ada di sudut ruangan. Sofa berwarna abu itulah singgasananya saat sang rembulan menguasai hari yang gelap.
"Aku menikahi kamu karena titah Mama." Dia kembali duduk dan membungkukkan badannya.
Aku masih terdiam menahan air mata yang sudah berada diujung pelupuk mataku. Aku pandang kamar yang begitu indah karena dihiasi berbagai macam jenis pernak pernik kamar pengantin. Bunga bunga yang ditabur begitu indah di atas kasur pengantin itu.
"Aku sadar ini bukan kesalahan kamu. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku sebenarnya tidak ingin menikah dengan siapapun. Karena aku besar di tengah pernikahan yang fiktif." Ucapnya kembali berdiri dan masuk ke kamar mandi.
Air mataku sudah tidak bisa di tahan lagi. Semua buliran kristal itu berhasil lolos dari pelupuk mataku.
Aku memang menantu tunggal mertuaku. Menantu yang begitu dibanggakan dan selalu diharapkan Mama.
Sejak satu tahun yang lalu Mama selalu merayuku untuk menjadi menantunya. Selama ini aku bekerja menjadi asisten mama dalam mengelola bisnis catering yang sangat besar dan terpandang.
Mama yang selalu meminta agar aku bisa meneruskan usahanya kelak. Mama yang selalu bisa membakar semangatku saat aku mulai gelimpungan memenuhi kebutuhan klien yang terlalu cerewet.
"Maaf, tapi mulai malam ini sampai kapan aku juga belum tahu, akan tidur di sofa ini." Kata kata itu semakin menyayat hatiku.
Aku kembali mendengar semua peraturan serta ucapan yang kurang enak begitu dia sudah keluar dari kamar mandi. Begitu mudahnya dia menyayatkan sembilu di hatiku.
Kenapa dia begitu tega mengatakan hal itu? Aku tahu ini bukanlah hal yang dia inginkan. Pernikahan adalah hal yang paling dia hindari. Itu tertangkap saat dia mengatakan tidak bisa menikah dengan siapapun. Tapi tak bisakah dia bertutur kata dengan lembut kepadaku. Jika susah menganggap ku sebagai istri, apakah tidak bisa menganggap ku sebagai seorang perempuan yang juga perlu dihormati?
Aku mulai meyakinkan diriku sendiri. Larut dalam tangis dan kesedihan tidak akan menyelesaikan apa pun. Namaku Garin Lituhayu. Ibuku memberiku nama itu karena ingin aku menjadi istri yang hangat dan berparas cantik saat bertemu jodohku. Agar tidak seperti dirinya yang harus ditinggalkan oleh Ayah karena dianggap remeh.
"I Iya Mas. Saya paham dan saya sangat mengerti. Saya juga menghormati keputusan Mas Banyu." Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku saat aku yakin sudah tidak ada lagi air mata yang menetes.
Kami memang tinggal di satu kamar yang sama. Tapi kami seperti selayaknya ice cube di dalam freezer yang begitu dingin. Kita hidup sendiri sendiri. Tanpa sapaan atau berbagi cerita satu sama lain.
Jika sudah keluar kamar maka akan beda lagi ceritanya. Aku harus bisa menunjukkan betapa mesra dan hangatnya kami. Bahkan jika ada undangan atau acar di luar rumah maka kami memulai memainkan peran masing masing.
"Rin, Garin! Itu loh, ayamnya hampir gosong. Kamu ini ngelamunin apa?" Suara hangat Mama membuyarkan lamunanku.
"Ga ma, aku ga melamun. Ini tadi aku pengennya biar keliatan bagus. Tapi malah agak gosong jadinya. Maaf ya ma!" Alasanku berhasil membuat mama mertuaku percaya.
"Oh ya, besok agak siangan kamu temani Mama ketemu sama temen Mama yang udah janjian dari satu tahun yang lalu."
"Siapa Ma?"
"Bu Lina, dia mau pake catering kita buat acara nikahan anak perempuannya. Mama juga bilang kalau bakalan ajak kamu untuk menjelaskan semua menu yang paling diandalkan."
"Iya Ma." Jawabku semangat. Dunia masak, makanan, perabotan dapur adalah hal hal yang paling aku gemari.
"Maksud Mama juga sekalian kita cari cari bahan dan bumbu bumbu yang bagus di pasar tradisional, sebelum ketemu dengan dia. Sekalian kita borong sayur yang segar segar untuk tester para klien besok siang." Rayunya yang sangat sulit dihindari.
"Siap Ma." Jawabku mantap.
"Enaknya kalau punya anak perempuan yang cantik dan punya beberapa kesamaan seperti kita sekarang."
Dialah Mamaku. Mama mertuaku yang selama ini aku hormati. Mama yang bisa menggantikan posisi ibu saat aku berada jauh dari ibuku sendiri.
Beliau pula yang menyemangati kala aku sudah jenuh dengan kuliahku. Aku memang di tuntut untuk kuliah di bidang administrasi. Tapi aku tidak begitu menikmatinya. Aku menjadi asisten Mama juga sudah sangat lama. Kalau dihitung mungkin sudah tiga tahun.
Di tahun tahun terakhir kuliahku, aku baru bertemu Mama. Entah sudah berapa tahun aku kuliah. Begitu jemu dan malasnya diriku. Sepertinya saat itu usiaku sudah hampir dua puluh tiga tahun. Aku melamar bekerja di catering milik Mama.
"Katanya mau bangunin Banyu." Tangannya mengusap pundakku yang ketahuan melamun lagi.
"Iya Ma, ini mau bangunin kok." Aku segera bergegas menuju kamar.
Setiap bangun tidur aku selalu menyiapkan handuk, air di bathtub, dan peralatan mandinya. Aku juga selalu menyiapkan pakaiannya. Tidak hanya pakaian untuknya bekerja. Saat malam juga selalu aku siapkan pakaian untuknya tidur.
Hanya itu yang aku tahu untuk mengambil hatinya. Aku yakin keteguhanku ini akan membuahkan hasil.
Saat aku sudah berada di kamar yang kudapati adalah sofa yang kosong. Mungkin dia sedang mandi. Segera aku bereskan selimut dan bantalnya. Bantalnya selalu aku kembalikan lagi ke tempat tidur. Takutnya kalau sewaktu waktu ada orang yang masuk.
Aku melihat sepertinya ponselnya masih menyala. Mungkin dia lupa mematikannya. Terlihat chat terakhirnya dengan seorang perempuan. Laras namanya tertera sangat jelas.
06.13
Selamat Pagi!
Itu adalah pesan yang terakhir dikirim oleh Mas Banyu. Sepertinya pagi ini baru dikirim. Aku memang tidak berani menyentuh ponselnya. Namun itu terlihat jelas karena ponselnya dalam keadaan menyala.
Aku mulai menarik napas panjang. Siapakah perempuan ini? Apa hubungannya dengan Mas Banyu?