06.13
Selamat Pagi!
Itu adalah pesan yang terakhir dikirim oleh Mas Banyu. Sepertinya pagi ini baru dikirim. Aku memang tidak berani menyentuh ponselnya. Namun itu terlihat jelas karena ponselnya dalam keadaan menyala.
Aku mulai menarik napas panjang. Siapakah perempuan ini? Apa hubungannya dengan Mas Banyu?
Seperti tersambar petir disiang bolong rasanya. Tubuhku lemas seperti tak bertulang. Angan angan dan pikiranku sepertinya melayang. Pandangan mataku mulai tidak jelas karena tertutup oleh butiran air mata yang siap jatuh kapan saja.
Aku kembali menarik napas panjang. Aku harus bisa berpikir positif. Mungkin itu hanya rekan bisnisnya. Aku memang istrinya tapi aku juga tidak pernah mengetahui atau kenal dengan teman teman suamiku.
Tapi tunggu dulu, Mas Banyu memang pernah mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah dengan siapapun tapi bukan berarti dia tidak mencintai siapapun. Sakit. Kecewa rasanya. Sepertinya apa yang aku lakukan akan sia sia.
Suara pintu kamar mandi mulai terbuka. Aku lihat tubuh sempurnanya keluar hanya berbalut handuk. Dia memang biasanya tidak mengenakan pakaiannya di kamar mandi.
Aku segera menghapus air mata yang akan meluncur bebas. Tanganku segera bergerak merapikan selimut serta bantalnya. Aku berusaha mengabaikannya. Aku memang tidak pernah tahu apa yang dia pikirkan dan apa yang dia mau.
"Apa Mama sudah siap di ruang makan?"
"Sudah Mas. Tadi mama bantuin aku masak."
"Bilang sama Mama aku kesiangan, jadi ga makan di rumah."
"Apa perlu aku siapin bekal untuk Mas Banyu?"
"Ga perlu. Nanti aku beli aja di warung dekat cafe." Ucapnya sambil merapikan kaus serta meraih jaketnya.
Apa lagi salahku? Apa dia tahu kalau aku tadi sempat melihat ponselnya. Kenapa dia tidak mau makan masakan yang aku buat? Padahal Mama dan Papa selalu lahap jika aku buatkan makanan.
Sepertinya dia selalu menghindariku. Dia juga hampir tidak pernah makan masakanku. Jangankan makanan, kopi yang aku buat saja juga tidak pernah disentuh.
Selama menikah aku hanya sekali membuatkan kopi untuknya. Itu juga pas pertama aku pindah ke rumah ini.
Dia sendiri yang bilang tidak perlu bersusah payah membuatkan kopi karena dia tidak biasa dengan racikan orang lain.
Aku mulai keluar kamar dan melihat Mama yang baru duduk di ruang makan.
"Banyu mana?" Tanya Mama penasaran.
"Mas Banyu ada urusan Ma, tadi Garin lupa kalau harus bangunin lebih pagi." Maafkan aku karena terus berbohong Ma.
"Ya udah ayo kita sarapan dulu. Nanti kamu coba hubungi Seno stok dagingnya udah ada apa belum."
"Iya Ma. Aku ketemu Seno pagi ini saja. Nanti siang ada jadwal buat mengawasi pengiriman ke Star Jaya." Aku harus kembali bersemangat.
Melakukan semua yang berhubungan dengan catering akan membuatku senang. Aku tidak ingin menjatuhkan martabat suamiku sendiri di depan orang tuanya.
Aku lebih memilih "wani ngalah, luhur wekasane" (Berani mengalah demi kepentingan bersama adalah sikap luhur.) Pesan dari pepatah Jawa yang mungkin bisa mendapatkan anggota keluarga di rumah ini.
Mas Banyu memang belum bisa menerima aku tapi kedua orang tuanya begitu menyayangi aku. Busuk sekali hatiku jika mengadu domba mereka.
"Ya sudah, ayo berangkat. Papa juga udah nunggu di mobil." Aku dan Mama segera pergi meninggalkan istana keluarga Wicaksono.
Jarak anatra kantor dan rumah lumayan jauh. Karena Mama bilang waktu itu Papa membeli ruko untuk kantor serta dapur kami. Jadi Papa membelikan tempat untuk Mama mengembangkan bisnis serta bakatnya. Kita memang memerlukan dapur yang luas untuk menjalani catering ini.
Begitulah romantisme mereka. Saling mendukung satu sama lain walaupun ada kisah pilu dibalik keromantisan mereka.
Suatu saat aku juga ingin seperti mereka. Bisa merajut benang benang cinta kami sampai menjadi sesuatu yang bisa selalu menghangatkan cinta kita nanti.
Aku sudah menempati kursi kebesaranku. Tempat yang selalu membuatku damai dan jengkel. Tempat peraduanku di luar rumah.
Aku teringat lagi dengan pesan Mama untuk segera menghubungi Seno. Tapi sepertinya pagi ini Seno belum bisa di hubungi. Entah sejak aku menikah sepertinya dia mulai menjaga jarak dengan aku.
Aku dan Seno adalah teman baik. Aku mengenalnya saat cooking class yang diadakan oleh Mama.
Ya, Mama dulu pernah membuka kelas untuk belajar memasak. Dan itu hanya terbatas untuk beberapa orang saja. Kita diajari juga secara gratis. Tapi tidak mudah untuk masuk ke kelas Mama saat itu.
Ada berbagai seleksi. Walaupun bukan seleksi memasak seperti yang dilakukan oleh program kompetisi masak.
"Seno, stok daging yang kita pesan sudah ada?" Tanyaku dari sebrang telepon yang baru tersambung.
"Iya Rin, Tapi aku baru bisa kirim nanti sore. Aku masih di luar kota. Masih cari sapi yang bagus." Ucapnya begitu semangat jika membicarakan soal daging yang segar dan bagus.
"Ya udah nanti sore kamu ke sini ya. Nanti aku cek sekalian."
"Siap Rin. Pokoknya aku ke sana sore nanti."
Aku segera mengakhiri sambungan teleponnya dan mulai menyiapkan serta melakukan pengecekan untuk pengiriman ke Star Jaya.
Hari sudah semakin terik, rasanya aku ingin sekali kembali ke ruangan ber AC. Tetapi aku masih harus menunggu semua makanan masuk ke mobil box kami.
Setiap hari aku yang harus mengontrol hasil produksi kita, tapi aku juga yang harus mengecek semua bahan yang akan masuk.
Aku selalu tidak tega jika Mama harus ikut mengecek. Kebanyakan semua masalah pengecekan aku yang mengerjakannya. Mama tinggal menghitung dan mengoreksi semuanya.
Tak terasa hari sudah semakin sore. Aku segera kembali ke ruangan untuk beristirahat sejenak. Sepertinya tadi aku belum makan siang. Perutku rasanya mulai berdemo.
"Ma, aku makan dulu ya. Tadi aku lupa kalau belum makan siang." Ucapku ragu.
"Ya ampun Garin. Kenapa bisa sampe lupa begitu. Ya udah buruan makan, nanti kamu sakit kalau ga makan." Mama sepertinya sangat mengkhawatirkan aku.
Begitulah pekerjaan kami. Kami harus menyiapkan makanan yang biasa di pesan untuk jam makan siang. Kami yang harus bisa tepat waktu untuk memikirkan perut klien kami. Tapi perut sendiri suka lupa tidak diperhatikan.
Aku sengaja membeli gado gado depan ruko saja. Tempatnya tidak kau dan juga harganya terjangkau. Pemiliknya juga ramah. Sebenarnya di dapur banyak stok makanan untuk makan. Tapi sore ini aku masih ingin menikmati gado gado ini.
Saat kembali ke kantor aku sudah melihat mobil box milik Seno. Sepertinya dia sudah menungguku. Pintu mobilnya juga belum dibuka.
"Garin!!" Sapanya dari belakangku.
"Loh, kamu dari mana?" Tanyaku heran.
"Beli kuota internet. Tadi aku mau hubungi kamu kalau mau kesini. Tapi ternyata kuotaku habis."
"Ya udah ayo langsung cek aja." Ucapku tidak sabar.
Waktu sudah semakin sore, semua pekerjaan sudah selesai hari ini. Seno juga sudah meninggalkan tempat ini. Mama tadi juga sudah pulang sebelum Seno berpamitan pulang.
Aku mulai meregangkan otot otot yang mulai terasah kaku.
Aku terperanga, rasa lelahku terbayar saat sebuah mobil putih bertuliskan Range Rover masuk ke pelataran ruko.
Hatiku begitu berbunga bunga saat mengetahui mobil milik Mas Banyu berada di sini. Sepertinya rasa lelahku terbayar dengan datangnya kekasih hatiku.
Ada apakah gerangan? Siapa yang sudah menuntunnya untuk menjemputmu kesini? Mau itu Mama atau siapa pun yang pasti aku sangat berterima kasih.
Ingin sekali aku menghamburkan pelukanku kepadanya. Tapi itu semua tidak mungkin terjadi. Dia adalah manusia berhati dingin yang selalu menghancurkan aku dalam diamnya.
"Bu Garin, suaminya udah jemput." Salah seorang pegawai memanggilku yang pura pura tidak melihatnya.
Seperti biasa ketika kita sudah berdua tidak ada percakapan atau apa pun yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang baru menikah.