"Se.. setelah ia menjelaskan padaku banyak hal. Yah, intinya adalah ia tidak pernah bermaksud jahat atau apa pun padaku. Jadi, yang dari kemarin itu hanya kesalah pahamanku saja." Jelas Tasia cepat-cepat. Ia mendadak gugup saat ditanyakan hal yang menyangkut kejadian semalam.
"Aku sudah pernah mengatakannya padamu, 'kan? Itu semua hanya ketakutanmu yang tidak beralasan." Ujar Tata.
"Itu benar, Tasia. Kasihan Hadyan selama ini, 'kan? Untung saja ia tegar. Tapi kalau dilihat-lihat dari tingkah laku dan cara bicaranya, ia memang sedikit jadul dan kaku yah.. Seolah-olah ia seperti tidak berasal dari jaman ini. Mungkin itu yang membuat Tasia takut." Marya mengingat-ingat.
"Itu karna ia berasal dari daerah lain dan tinggal di desa kecil. Kau kan tidak tahu bagaimana adat dan budaya di sana. Sudahlah, jangan membuat Tasia takut lagi!" Timpal Tata sebal.
"Tidak apa-apa, Teman-teman. Aku tidak akan takut lagi. Hadyan sudah menjelaskan segala sesuatunya dengan sangat jelas." Potong Tasia penuh senyuman.
'Ia sudah menjelaskannya dengan jelas. Dan itu telah mengubah cara pandanganku tentang dirinya.' Imbuh Tasia di dalam hati.
Hari itu, seluruh jam pelajaran penuh dari pagi sampai jam istirahat yang dikarenakan dua minggu lagi ujian semester akan segera dilaksanakan.
Tasia dan teman-temannya, seperti biasa, makan bersama di kantin sekolah.
"Mark, belajarlah yang benar. Jordi, ajarkan dia! Jangan sampai anak ini menyusahkan kita lagi karna remedial sendirian." Omel Marya.
"Kenapa harus aku? Tasia, ajari temanmu ini! Dia tidak bisa diajari, bisa-bisa aku stres duluan sebelum ujian karna mengajari bocah bodoh sepertinya." Jordi mendecak sebal.
"Kenapa harus aku?" Tanya Tasia, juga tidak terima.
"Iya, benar! Kenapa harus Tasia? Tasia sudah bertugas mengajariku!" Timpal Patra dengan merangkul gadis itu.
Tasia menatapnya jengkel. "Enak saja kau bicara. Memangnya sejak kapan aku jadi guru private-mu?"
"Sejak.. sejak.. sejak kau mulai mengajariku?" Sahut Patra pura-pura berpikir.
"Dasar kau! Jangan seenaknya!" Tata mengomeli Patra.
"Maafkan aku, Ibu!" Patra meraih tangan Tata dan mencoba menciumnya sebelum mendapat pukulan telak pada kepalanya dengan botol air mineral yang hampir kosong.
"Jangan coba-coba menyentuhku!" Geram Tata.
Hadyan ikut tertawa selama yang lain tertawa. Namun di dalam, ia bagai menjerit marah karena ada laki-laki lain yang mencoba mengklaim calon permaisurinya. Rasanya ia ingin mematok tengkorak Patra dengan taringnya yang panjang dan bercun.
'Aku tidak berdaya. Berapa lama lagi aku harus bersabar?' Pikir Hadyan.
***
Ini bukan pertama kalinya Tasia mendapat omelan keras dari neneknya.
Ketika pulang, tanpa alasan yang jelas, neneknya langsung menghujani dirinya dengan kata-kata kasar.
Tasia tidak melawan, hanya duduk di sofa tuang tamu dengan kepala menunduk dan tetap mendengarkan dengan sabar.
Bagi Tasia, tidak ada lagi tempat yang pantas ia sebut sebagai rumah. Tempat di mana ia merasa nyaman dan dapat menjadi dirinya sendiri secara utuh.
Mungkin bagi teman-temannya, Tasia adalah gadis yang ceria meski telah kehilangan seluruh keluarganya. Namun dibalik tawa gadis itu, terdapat tangisan yang selalu mengiringi tidurnya.
Tasia memutuskan untuk pergi ke mini market di sekitar rumah tantenya untuk membeli beberapa makanan ringan untuk menemaninya bermain game rumah-rumahan nanti.
Ia berjalan kaki sendirian. Saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Meski sepi, perumahannya bukanlah daerah yang meresahkan dan tidak aman.
Perumahan Tasia bisa dibilang sebagai salah satu perumahan elit yang beberapa jam sekali selalu ada satpam berkeliling dengan sepeda.
Sampai di mini market, ia membeli apa yang ia butuhkan dan menambah minuman kaleng di luar rencana. Setelah membayar, ia melangkah keluar dengan satu kantung pelastik belanjaan di tangan kirinya.
Suara pintu kaca mini market berbunyi ketika ia membuka pintunya. Namun langkahnya terhenti di sana.
Sebuah tersenyum ramah menyapa Tasia. "Hai!"
"Hadyan? Kenapa kau ada di sini?" Tanya Tasia terkejut.
"Aku ingin membeli sesuatu, aku haus,"
Tasia berpikir sejenak lalu merogoh kantung pelastik belanjaanya dan mengeluarkan sebotol kaleng minuman soda. "Mau ini?"
Hadyan tersenyum. "Bolehkah?"
Tasia mengangguk. Lalu mereka memutuskan untuk duduk sebentar di bangku besi panjang yang tersedia di luar mini market.
"Kau.. apa benar kebetulan ingin ke mini market?" Tanya Tasia curiga.
Hadyan meneguk minuman pemberian Tasia itu dengan susah payah. "Sebenarnya aku mengikutimu." Jujurnya tidak enak.
Tasia tertawa kecil. "Ternyata dugaanku tidak salah."
"Maaf. Aku tidak seharusnya melakukan ini." Hadyan tertunduk malu.
Tasia tersenyum dan menggeleng lunak. "Mungkin aku akan marah. Tapi jujur, rasanya aku tidak bisa melakukannya karena saat ini aku juga sedang membutuhkan seorang teman."
Hadyan mengangkat kedua alisnya, mengetahui ada yang tidak beres. "Apa yang terjadi?" Kemudian ia tersadar. "Maksudnya, aku mau mendengarkan jika kau ingin menceritakan masalahmu," Ia mengoreksi kalimatnya.
Tasia tertawa melihat sikap Hadyan yang sudah berbeda daripada ketika ia pertama kali bertemu dengannya.
Saat itu Hadyan sangat pemaksa dan menyeramkan. Kini, ia menjadi sosok yang sopan dan penuh penghargaan pada orang lain.
"Kau tau? Entah ini kebetulan atau memang rencanamu. Tapi, hanya kau satu-satunya temanku yang pernah melihat kondisi terburukku." Tutur Tasia.
Hadyan menatapnya penuh tanya.
"Hanya kau yang tau bagaimana keadaanku di luar sekolah. Bagaimana nenek memperlakukanku dengan kasar. Bahkan saat yang terparah, ketika ia menamparku, kau ada di sana." Tasia mengukir senyum miris.
Hadyan mengela napas berat. "Benar aku sering mengikutimu. Tapi soal itu, aku sama sekali tidak merencanakannya. Bahkan hal itu pula yang mengubah cara pandanganku terhadapmu. Kalau aku mampu, aku akan membuat nenekmu tidak bersikap seperti itu kepadamu."
Tasia menatapnya geli. "Memang bagaimana cara pandanganmu terhadapku sebelumnya?"
"Aku kira kau gadis baik biasa. Kau cantik dan ramah. Karena itu, aku tertarik untuk menjadikanmu permaisuriku. Aku pikir awalnya ini semua hanyalah sebuah tantangan untukku, tapi semakin aku mengenalmu malah rasanya aku benar-benar jatuh cinta padamu." Ucap Hadyan.
Tasia tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap Hadyan yang tidak berani menatapnya dan hanya menunduk. Sebuah hawa panas perlahan menjalari tulang pipinya.
"Kau tau? Aku bahkan tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Bahkan tidak tau cinta itu seperti apa," Hadyan tertawa kecil.
"Aku.. rasanya sudah lupa seperti apa cinta itu. Semenjak kematian keluargaku, rasanya hatiku membeku. Kau pasti heran karena aku selalu ramah dan tersenyum pada semua orang. Aku memerankan sosok gadis baik dengan baik, bukan? Kenyataannya semua ini hanyalah sebuah topeng."
Hadyan langsung menatap Tasia. Ia melihat kedua mata cantik yang melemah dengan senyuman kesedihan di bibir gadis itu.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Itu bukanlah topeng, kau hanya berusaha untuk menjadi kuat." Jawab Hadyan.
Tasia tersenyum menahan air matanya. "Tapi aku membohongi orang-orang."
"Aku selalu berbohong padamu. Bahkan sejak awal aku menipumu. Anggap saja itu impas. Bagaimana?" Tawar Hadyan serius. Terkadang pangeran yang sudah hidup beratus tahun ini memiliki pola pikir seperti seorang anak kecil
Tasia tertawa. "Hah.. Pangeran Hadyan, benar kata Marya, kau memang baik. Tapi ternyata kau juga sangat polos."
Hadyan ikut tertawa. "Meski begitu, aku sudah memenangkan banyak peperangan dan menguasai banyak wilayah."
"Benarkah? Aku jadi penasaran bagaimana bentuk wilayah-wilayah yang telah kau kuasai itu." Tasia meletakkan kedua tangan di samping kedua telinganya dan mengangkat kedua jarinya membentuk tanda kutip dan menggoyangkannya.
"Aku akan menunjukkannya padamu lain kali. Bagaimana?" Tawar Hadyan.
Tasia berpikir sejenak. "Kau menguasai lautan, 'kan? Aku tidak bisa menahan napas terlalu lama di dalam air. Aku juga tidak mahir berenang."
"Aku akan membuatmu bisa bernapas di dalam air, seperti yang dulu pernah aku lakukan waktu menculikmu." Jelas Hadyan.
"Apa? Kau pernah melakukannya? Sungguh? Aku tidak ingat." Tasia sangat terkejut.
"Ya, aku pernah melakukannya. Tapi saat itu kau langsung pingsan." Jawab Hadyan.
"Ah.. banyak sekali hal yang aku lupakan. Rasanya aku ingin cepat-cepat mengingat semuanya." Ujar Tasia.
"Aku harap hal itu tidak terjadi." Sahut Hadyan.
Tasia langsung menatapnya penuh tanya. "Kenapa begitu?"
"Aku takut jika ingatanmu terlalu cepat kembali dan kau masih belum mencintaiku, maka aku harus kembali seorang diri dan tidak akan pernah bisa melihat wajahmu lagi." Jelas Hadyan.