Hari itu, ujian dilaksanakan dengan kepekatan aura frustasi yang mencekam seluruh atmosfer tiap kelas.
Mark terlihat cemas dengan wajah pucat dan keringat dingin menggenangi jidatnya yang senantiasa berkerut.
"Astaga, Mark! Percuma saja aku mengajarimu setengah mati selama seminggu!" Gumam Jordi kesal dari luar jendela kelas.
"Masih belum ada tanda-tanda si bodoh akan selesai?" Tanya Patra begitu Jordi kembali pada mereka dan mendapat menggeleng kesal.
"Kau sudah berusaha, Jordi." Kekeh Patra sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Jordi langsung menepis tangan pria itu hingga Patra semakin terkekeh.
"Benar. Itu bukan salahmu, tidak perlu sedih." Tambah Hadyan.
"Aku bukan sedih karena ia tidak bisa menjawab soal. Aku kesal sudah bersusah payah mengajarinya setengah mati selama berhari-hari, namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Mengajarinya adalah kegagalan terbesar dalam hidupku!" Ocehnya, memicu tawa yang lain.
"Sudahlah, Jordi. Mark itu memang bodoh. Sudah tidak bisa diobati lagi! Dari dulu dia memang seperti itu, 'kan?" Ujar Marya, merasa bersyukur karena bukan ia yang mengajarkan Mark kemarin.
"Hei! Sudah semua?" Tasia datang menghampiri.
"Kau baru selesai? Apa kau juga kesulitan mengerjakan ujianmu?" Tanya Hadyan cepat.
Diam-diam, Tata meliriknya geli.
"Tidak juga. Tadi aku hanya kurang teliti mengerjakannya sehingga ada beberapa bagian yang salah. Tapi semua sudah aku perbaiki dengan baik." Jelas Tasia. Hadyan mengangguk paham.
"Kalau kau bagaimana? Kau tadi bisa mengerjakan soalnya, 'kan, Hadyan?" Marya memulai aksinya bergelayutan pada Hadyan.
Tasia yang melihat itu dan langsung beranjak pergi. Ia melangkah ke pinggiran koridor, tidak jauh dari teman-temannya.
Sembari menunggu Mark selesai ujian, ia duduk sendirian disana karena merasa energi tubuh dan jiwanya seperti terkuras habis.
"Tadi aku sempat kaget kau belum selesai. Tidak biasanya kau tidak teliti seperti itu. Ada apa? Seharian aku lihat kau sering melamun." Tiba-tiba Tata menghampiri Tasia yang sedang duduk tertegun di lantai. Ia ikut duduk di samping sahabat baiknya itu.
Tasia menggeleng pelan sambil tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Mungkin penyakit nenekku yang semakin parah akhir-akhir ini membuatku terlihat lesu. Beberapa hari ini aku merasa lelah."
Tata memiringkan kepalanya, menatap Tasia dengan seksama dan serius. "Kau tidak bohong, 'kan? Aku tau masalah mengenai nenekmu, tapi reaksimu berbeda dari biasanya. Aku pikir ini tentang masalah lain." Tanyanya curiga.
"Entahlah.. Ingin rasanya aku ceritakan kepadamu, tapi ini masalah yang menyangkut pertemanan dalam kelompok kita." Tas menghela napas panjang dengan memainkan kuku jari tangannya, kebiasaannya ketika sedang gelisah.
"Hm.. Biar ku tebak. Apakah ini antara kau, Hadyan, dan Marya?" Tanya Tata.
Tasia terkejut dan menoleh padanya dengan mata membulat.
"Melihat dari ekspresimu, sepertinya benar apa yang sudah aku curigai selama ini." Lanjut gadis itu.
"Bagaimana kau tau? Apa Marya ada menceritakan sesuatu padamu?" Tanya Tasia tidak sabar.
Tata menggeleng lalu tersenyum. "Apakah kau lupa, siapa aku ini?" Tawanya. "Aku mengetahuinya dalam beberapa minggu ini. Soal Marya menyukai Hadyan, itu sudah menjadi rahasia umum. Tapi ternyata, tanpa di duga, akhir-akhir ini kau menjadi dekat dengan Hadyan yang dari awal memang sudah terlihat mengincarmu."
Tanpa sadar, mulut Tasia menganga lebar mendengar penjelasan sahabatnya itu. "Kau memang hebat, Ta. Kau seperti paranormal." Pujinya kagum.
Tata kembali tertawa pelan. "Jadi kau menyukai Hadyan?" Tanyanya tanpa basa basi.
Tasia tersontak sedikit, lalu menggeleng lemah. "Entahlah. Kalau aku pikir, aku tidak menyukainya. Aku hanya menanggapnya sebagai teman baik karena ia ternyata adalah orang yang menyenangkan. Kemarin, kami pergi ke mini market komplek bersama, lalu tanpa sengaja bertemu dengan Marya. Sepulangnya, Marya bilang ingin bermain ke rumahku. Dan di dalam perjalanan pulang, ia mengatakan padaku bahwa ia serius menyukai Hadyan dan memintaku untuk membantunya.."
"Dan kau keberatan? Itu mengganggumu?" Tebak Tata.
Sekali lagi Tasia menghela napas panjang dan mengangguk pelan. "Entah mengapa rasa keberatan itu muncul. Lagipula, rasa cinta itu akan muncul sendiri, 'kan? Kita tidak bisa meminta bantuan orang lain untuk menumbuhkannya. Mana bisa aku membantu Marya untuk membuatnya dekat dengan Hadyan."
Tata tertawa melihat wajah galau sahabatnya itu. "Kau menyukai Hadyan! Sudah lama sekali tidak aku lihat wajahmu seperti itu!"
"Ya, aku menyukainya, tapi hanya sebagai teman. Ia hanya membuatku merasa nyaman. Bukan berarti aku menginginkannya menjadi milikku, seperti Marya." Tasia mengelak dengan wajah memerah.
Tata mengangguk-angguk. "Baiklah jika memang itu yang kau katakan. Lalu bagaimana dengan Marya? Jika kau tidak mau membantunya, terus terang saja padanya." Ia melihat wajah Tasia yang kembali melemah. "Kau takut Marya akan marah, ya? Apa kau khawatir dia akan cemburu jika kau dan Hadyan menjadi dekat?"
Tasia mengangguk.
"Tasia, kalau kau benar tidak menyukai Hadyan dengan cara yang istimewa, maka kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Karena jika memang Marya dan Hadyan nantinya saling menyukai, harusnya itu tidak akan mengganggumu sama sekali, dan juga tidak akan menganggu hubungan mereka berdua. Soal mau membantunya atau tidak, benar katamu, cinta itu tidak bisa dipaksakan apalagi oleh pihak lain. Biarkan saja Marya berusaha sendiri." Jelas Tata santai. Lalu air mukanya berubah menjadi serius. "Asalkan, kau tidak mencoba menghalanginya."
Tasia tercekat mendengar kalimat terakhir tersebut. Ia langsung menatap Tata dan mengerjap berkali-kali. Tata hanya tersenyum santai dan menaikkan kedua alisnya. "Kau bilang, kau tidak menyukai Hadyan untuk menjadi milikmu, 'kan?"
***
'Apakah mungkin aku menyukai Hadyan? Kalau iya, ini terlalu cepat. Aku saja belum lama ini kenal dan bisa mulai berteman dengannya. Ini tidak masuk akal.
Menurutku, ini semua hanya rasa nyaman karena kebetulan Hadyan terlibat dalam beberapa masalah pribadiku kemarin. Mungkin itu yang membuatku mulai percaya padanya karena aku tidak perlu menutupi apa pun darinya.'
"Surat ini harus ditandatangani oleh orang tua atau wali masing-masing. Jika kalian ingin ikut, isi semua data yang diminta, tanpa terkecuali dan tidak boleh ada yang kosong. Kumpulkan paling lambat pada hari kamis di minggu ini bersama uang pembayarannya juga." Suara ketua ekskul pecinta alam dan lingkungan hidup membangunkan Tasia dari lamunannya.
Ia menyadari sudah ada sebuah amplop surat putih berisikan dua lembar kertas yang berupa undangan mendaki dan formulir pendaftarannya.
"Apakah sudah jelas?" Tanya siswa berpostur tinggi besar itu. Ia masih SMA tapi wajahnya sudah dipenuhi oleh brewok. Tapi di mata para siswi, ia adalah sosok sinterklas yang sexy.
"Ya!" Jawab seluruh murid dengan kompak.
"Tasia! Kau ikut?" Bisik Tata yang sedang duduk dari kursi depan karena mengerjakan tugas matematika bersama Rijal.
Tasia mengangkat bahunya. "Masih belum tau." mulutnya berucap tanpa suara. Tata mengangguk-angguk dan mengembalikan posisi duduknya menghadap ke depan.
Bel berbunyi. Doa pulang dan pemberian salam kepada guru dilakukan sebelum seluruh murid berhamburan keluar bagai burung di dalam sangkar yang haus menghirup udara bebas.
"Kalian dapat undangan ini juga, tidak?" Patra memamerkan sebuah amplop putih sembari menghampiri Tasia, Tata, dan Hadyan yang sedang melangkah keluar dari dalam kelas. Mereka mengangguk serentak.
"Kau ikut, Tra?" Tanya Tasia.
"Aku dan Mark sudah pasti ikut. Kapan lagi kita refreshing setelah ujian menjengkelkan ini? Iya, 'kan?" Jawab Patra.
Tata mengangguk-angguk. "Dia ada benarnya." Lalu mengacungkan ibu jarinya pada Parta. "Dibandingkan kita mengadakan perjalanan sendiri, kegiatan ini mendapat dana dari sekolah, sehingga kita tidak sampai membayar setengah harga. Lumayan."
Tasia dan Hadyan mengangguk setuju pada penjelasan Tata.
"Lalu bagaimana dengan yang lain? Jika ingin ikut, lebih baik semuanya ikut. Akan lebih menyenangkan kalau seperti itu." Ujar Tasia.
"Jordi bilang, ia tidak bisa ikut. Di tanggal yang sama, ia sudah terlanjur merencanakan liburan ke luar negri bersama keluarganya." Jelas Mark sedih.
"Aku akan ikut jika ada teman perempuan. Bagaimana, Tasia? Apa kau bisa ikut?" Mohon Tata.
"Baiklah, aku akan ikut. Sepertinya memang menyenangkan. Aku juga sangat suka pegunungan." Jawab Tasia dengan senyum bersemangat. Tata memeluknya senang.
"Hadyan? Kau ikut saja. Kau belum pernah jalan-jalan bersama kami, 'kan? Apalagi nanti kita camping selama berhari-hari juga. Pasti seru sekali! Nanti aku akan mengajakmu dan anak laki-laki lainnya untuk uji nyali di sana. Ayolah!" Patra merangkul pundaknya keras. Pria itu sangat bersemangat.
Hadyan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku akan pergi juga." Tentu sebenarnya ia langsung yakin akan ikut setelah Tasia bilang dia ikut serta dalam acara itu.
"Nah! Itu Marya!" Tunjuk Mark ketika menangkap sosok gadis dengan rambut dikuncir kuda dan tas ransel kuning berjalan ke arah mereka.
"Marya! Kau juga mendapat surat undangan pecinta alam, kan? Bagaimana? Kau ikut?" Tanya Mark bersemangat.
Marya sedikit mengerutkan dahinya. Semua tau ia kurang menyukai pegunungan ketimbang pantai.
"Eum.. Oh, ya! Hadyan, apa kau ikut?" Marya langsung menatap pria itu tanpa mempedulikan Mark yang berdiri, masih menatapnya dengan tampang masam.
Hadyan mengangguk polos.
"Baiklah! Kalau begitu, aku juga ikut!" Seru Marya semangat.