Chapter 34 - Denyut Perih

"Kau ke mana saja?" Ulang Marya.

Hadyan langsung menyembunyikan tangan kirinya yang terluka ke balik punggung. "Aku sedang jalan-jalan."

"Benar, 'kan?! Aku sudah bilang dia sedang ingin sendiri. Kalian saja yang khawatir tanpa guna!" Ujar Patra dengan tangan dilipat di depan dada.

"Biarin! Kami khawatir pada Hadyan. Karna Hadyan itu orangnya baik, tidak menyebalkan sepertimu!" Jawab Marya.

"Itu kau saja yang kecentilan," Patra memeletkan lidahnya.

"Bukan hanya aku saja, kok. Tasia juga khawatir. Iya kan, Tasia?"

Hadyan langsung menatap tajam gadis yang mendadak merinding dan menjadi kaku itu.

'Kurang ajar anak-anak ini! Kenapa malah bertengkar lalu membawa-bawaku juga?!' Gerutu Tasia dalam hati. Tapi ia merasa ada sesuatu yang janggal pada Hadyan. Pria itu dengan tumbennya tidak mengajaknya bicara. Ia hanya diam saja dari tadi.

"A.. Aku ikut mencari karena ingin membantu Marya." Ia menatap Hadyan dengan bola mata tidak fokus. "Kau jangan tiba-tiba menghilang begitu, Hadyan. Setidaknya bilang dulu pada Marya jika mau pergi sendiri."

Patra menatap gadis di sampingnya itu dengan seksama di dalam diam. Lalu pandangannya kembali ia tunjukan pada Hadyan, ingin tau bagaimana reaksi pria itu.

"Baiklah. Marya, aku minta maaf karena telah membuatmu khawatir. Lain kali, aku akan katakan padamu jika aku ingin pergi sendiri." Hadyan tersenyum tipis pada gadis itu.

Marya menangguk-angguk lembut sambil tertawa ringan. "Aku tidak apa-apa, kok. Hanya khawatir sedikit.. saja. Kau bebas kemana saja Haydan. Aku tidak akan mengekangmu."

Fenomena yang berlangsung di depan matanya itu, lantas membuat Tasia merasa muak. Rasanya ia ingin cepat-cepat angkat kaki dari sana, ketimbang harus menonton adengan yang memanggang hangus hatinya.

"Kalau begitu kami duluan, ya. Ayo, Tra!" Ucap Tasia sembari menyambar tangan Patra dan menyeret pria itu pergi. Patra hanya menurut dengan sebuah senyum tersimpul pada sudut bibirnya. Lucu sekali.

Ternyata Hadyan benar-benar sudah membelokan kapalnya. Ternyata semudah itu ia mengubah tujuan berlabuhnya.

Tasia merasa sedih dan kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ia juga berusaha untuk tau diri. Karena memang sejak awal ia tidak menginginkan Hadyan, bahkan ingin pria itu segera pergi dari hidupnya dan berhenti mengejar-ngejar dirinya lagi.

Mungkin benar bahwa Marya lebih pantas untuk pangeran tampan itu. Karena.. jangankan Hadyan, bahkan Tasia juga bisa melihat, seberapa besar Marya menyukai pria itu.

***

Pagi subuh itu,

Seluruh peserta sudah dibangunkan dan diperintahkan untuk bersiap. Sesuai rencana, mereka akan berangkat menuju lokasi berikutnya dan memulai pendakian.

Wajah Tasia terlihat lesu dan kumal. Semalaman ia tidak bisa tidur karena mimpi yang sama seperti di bus kemarin lusa kembali lagi menggerayangi alam tidurnya.

Sebenarnya hal tersebut tidak harus mengganggu tidurnya sampai separah itu karena semuanya hanya sebuah mimpi yang tidak memberikan rasa sakit pada tubuhnya. Ia juga sudah cukup terbiasa atas mimpi yang kerap datang dalam tidurnya itu. Tapi..

'Bagaimana aku dapat melupakan hubungan kedua orang itu jika Hadyan terus bermunculan di dalam mimpiku?'

Beribu kali Tasia mencoba dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu adalah mimpi dari ingatan yang kembali muncul dan bukan karena ia sebegitunya menyukai Hadyan. Namun ia mulai meragukan pemikiran itu karena jantungnya mulai berdegub aneh tiap ia melihat wajah Hadyan di dalam mimpi-mimpinya. Seakan, momen itu tidak lagi menakutkan, tetapi membawa rasa unik yang bermekaran di dalam dadanya.

"Semalam seperti melihat langit dan bumi. Sangat bertolak belakang. Marya masuk ke kamar dengan wajah sumeringah, bahkan hampir melompat-lompat. Lalu setelah itu, kau datang dengan wajah muram dan langkah lunglai. Sebenarnya apa lagi yang terjadi di antara kalian?" Tanya Tata di tengah persiapan mereka.

Tasia menoleh ke sekeliling untuk memastikan hanya ada mereka berdua di sekitar bus dan dirasanya cukup aman untuk mulai menceritakan kejadian seputar Marya dan Hadyan pada Tata.

Gadis dengan rambut lurus halus tergerai itu mengangguk-angguk saat sahabatnya bercerita dengan begitu seru.

"Bagaimana yah.. Aku juga bingung kalau sudah sampai seperti ini." Tata menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Kau tau, 'kan.. Marya itu orang yang seperti apa jika sudah menyukai seorang laki-laki? Sekarang, semua tergantung pada Hadyan. Meskipun kau tidak menghalangi mereka sama sekali, tapi jika ternyata akhirnya Hadyan tetap memilihmu, maka persahabatan kalian selesai sampai di sana." Jelas Tata.

"Huaa!!" Keluah Tasia. "Kenapa semua menjadi seperti ini hanya karena seorang laki-laki tampan? Apakah persahabatan kita serendah itu?"

"Mau sekuat apa pun kita menyangkal, tapi itulah yang sering terjadi. Persahabatan hancur karena lawan jenis. Tidak ada yang selamat dari cinta segitiga." Sahut Tata.

"Tasia." Panggil Tata serius untuk mendapat perhatian penuh dari sahabatnya. "Meman benar bahwa kalian menyukai Hadyan. Dan memang benar hati tidak bisa dipaksakan. Tapi, aku mengenal kau dan Marya. Aku juga mengenal bagaimana sifat kalian. Karena itu, aku yakin kau pasti bisa menjaga persahabatan kita ini. Karena, dirimu berbeda," Angguknya, meminta persetujuan.

Tasia terdiam, berusaha mencerna kalimat Tata dengan baik. Sebenarnya ia harus bagaimana? Apakah merelakan Hadyan benar jalan terbaik? Toh, Tasia juga tidak akan mengikut pria itu pergi dan ia sebelumnya dengan frontal telah menolak Hadyan mentah-mentah.

"I-iya. Aku harap aku bisa melakukannya." Jawab Tasia setengah sadar.

'Jadi akhirnya sekarang ini aku mengalah? Haruskah aku bangga pada diriku jika melakukan hal itu? Atau apakah justru akan menyakiti diriku sendiri?'

"Baiklah." Tata tersenyum. "Ayo kita kembali sebelum tim panitia mencari kita." Ajaknya dengan menarik lengan Tasia.

Tidak lama, panitia meminta semua peserta untuk berbaris dan mengambil absen. Di base camp mawar, mereka kembali diberikan sosialisasi instruksi dan peraturan singkat selama pendakian.

Sejak awal, Tasia selalu berdampingan dengan Tata. Dan Marya terus saja berusaha menempel pada Hadyan. Sehingga tidak ada lagi celah bagi Tasia untuk berinteraksi dengan Hadyan, bahkan hanya untuk sekedar bertegur sapa. Yang lebih mirisnya lagi, pria itu juga terlihat tidak berminat mendekati Tasia sama sekali.

Tapi dengan noraknya, kedua orang itu malah selalu bermesraan di dekat Tasia. Entah mereka sengaja ingin membuat Tasia kesal atau apa.. Yang pasti, Hadyan dan Marya terlihat seperti tempelan magnet dan pintu kulkas: tidak terpisahkan.

'Sepertinya Hadyan tidak terganggu sama sekali pada Marya yang dari tadi bergelayutan padanya." Tasia tersenyum miris.

Untung saja saat awal Tasia tidak terburu-buru menyukai Hadyan dan terlena atas wajah rupawan dan sikap baiknya itu. Meski begitu, denyut pedih yang sekarang ia rasakan lumayan juga. Jadi ini yang dinamakan sakit hati?

'Pangeran, ya? Sekarang aku ragu apakah ia benar datang ke sini untuk mendekatiku atau hanya sekedar mencari calon permaisuri. Semua laki-laki sama saja! Semoga kau mendapatkan permaisuri yang paling tepat untukmu, Hadyan.' Seru Tasia.