Terlihat bekas tanah dan tanaman belukar yang tampak tergerus oleh tubuh seseorang.
'Astagaa! Astaga! Ya Tuhan! Astaga, Tuhan! Bagaimana ini?!!'
Wajah Tasia seketika menjadi pucat pasi. Ia bertumpu pada kedua lutunya, bertengger di pinggir jurang yang licin itu.
"Hadyan! Hadyan! Kau bisa mendengarku?!!" Serunya panik, berharap mendapat sebuah jawaban meski hanya berupa erangan suara dari bawah sana yang menandakan bahwa pria itu masih hidup.
Namun naas, tidak ada suara apa pun dari bawah sana. Bahkan, sosok Hadyan tidak terlihat sama sekali, sama seperti dasar jurang yang tidak terlihat karena tanaman tumbuh rimbun di sepanjang medan itu.
"Hadyan! Ya, Tuhan! Aku mohon tolonglah! Hadyan!" Air mata Tasia mulai menetes deras. Ia panik, bingung, dan takut.
"Tolong! Tolong! Tolong!" Jeritnya sekuat tenaga, namun tidak ada suara lain kecuali burung-burung yang berterbangan pulang ke sarangnya dan deru angin sore yang cukup kencang.
'Ya Tuhan! Ini di mana?! Bagaimana ini?'
Tasia menyadari bahwa dirinya telah berada sangat jauh keluar dari jalur pendakian yang artinya adalah ia tersesat. Dan entah bagaimana nasib Hadyan dan dirinya saat ini.
Ia tidak tau di mana dirinya sekarang karena tadi terlalu panik hingga berlari jauh tanpa berpikir lagi. Bahkan ia juga tidak menyadari bahwa ia sudah berlari ke arah jalan yang terdapat jurang di sisinya. Dialah yang menyebabkan mereka tersesat dan membuat Hadyan terperosok ke dalam jurang.
Krakk! Srrkk!
Terdengar suara samar dari bawah sana. Hati Tasia berkata bahwa asal suara itu tidak lain berasal dari Hadyan yang kemungkinan masih selamat.
'Hadyan! Bagaimana ini?!' Pikiran Tasia memutar-mutar. Matanya mencari ke sana ke mari, berharap menemukan sesuatu yang dapat ia gunakan untuk menyelamatkan temannya itu.
"Hadyan! Be.. bertahanlah! Aku akan segera turun menolongmu!" Seru Tasia ke bawah sana.
Kemudian, kedua matanya menangkap sesuatu yang sangat panjang tergeletak di tanah di dekat sebuah pohon tua berbatang besar yang tumbuh sangat tinggi. Lalu ia menghampiri benda yang adalah sebuah akar gantung panjang yang terlepas dari pohonnya.
Bulu kuduk Tasia langsung merinding saat menyentuh akar yang sudah berlumut itu. Segala macam serangga sudah bermunculan di otaknya. Bahkan, ia berpikir tentang bakteri pemakan daging yang hidup di hutan, namun ia segera mengusir pikiran itu sambil memanjatkan doa dan menarik dengan sekuat tenaga akar tersebut ke pinggir jurang. Tasia terengah karena akar itu ternyata sangat berat.
"Hadyan! Tenanglah! Aku akan turun!" Serunya sambil mengikat akar licin itu pada salah satu batang pohon yang tumbuh miring di sisi pinggir jurang.
Dengan berbekal wawasan dari film penjelajah yang sering ia tonton, Tasia berhasil mengikat akar itu meski terlihat tidak sekuat harapan.
"Ya Tuhan, lindungilah aku. Aku mohon selamatkan kami." Tasia merapalkan doa.
Tasia membuka mata dan melempar akar panjang tersebut ke bawah. Setelah menarik napas panjang dan mengumpulkan keberanian, Tasia berpegangan pada akar licin itu dan perlahan mulai melangkah turun dengan posisi mundur.
Tanah yang ia pijak ternyata begitu licin meski banyak dedaunan kering yang berserakan. Dengan keringat yang bercucur deras dan setiap sendi yang gemetar, ia menoleh ke belakang untuk mengukur apakah ia akan menabrak pohon atau semak belukar yang tumbuh di sepanjang jalurnya. Sesekali, tangannya tergelincir dan sesering itu pula ia berdoa memohon perlindungan.
'Astaga! Jurang ini tidak berujung. Akarnya hampir habis.' Tasia kembali mulai menitikkan air mata keputusasaan.
Jika ia tidak berhasil turun, ia juga tidak akan bisa naik lagi dengan kondisi tanah dan akar yang licin itu. Tenaganya juga sudah banyak terkuras setelah tadi berlari cukup jauh.
Namun akhirnya senyumnya mencuat saat ia melihat ujung jurang itu, yang beruntungnya, bukan medan bebatuan.
Sambil memanjatkan ucapan syukur dan harap, Tasia berhasil melompat dan mendarat di tanah dengan selamat. Ternyata jurangnya tidak sedalam dan seterjal yang ia pikirkan. Hanya saja, sangat banyak sekali tumbuhan yang menutup jarak pandang dari atas ke bawah sini.
Rasanya ia ingin bersujud atas rasa syukur dan rasa aman karena sudah sampai di medan datar. Namun semua itu baru bisa ia lakukan nanti setelah menemukan Hadyan.
Tasia memeriksa sekeliling, mencari sosok dengan jaket jeans biru dan celana hitam itu . Di sekelilingnya hanya ada pepohonan besar yang mulai menggelap karena sinar matahari kian meredup.
"Ha.. Hadyan!" Serunya takut, berharap mendapat jawaban. Ia sendirian di sana, di tengah hutan, tersesat.
"Hadyan! Kau di mana?" Tasia memberanikan diri untuk melangkah dengan kaki gemetar.
Jika ia tidak menemukan laki-laki itu, tamatlah sudah riwayat mereka. Segala macam hantu dan binatang buas sudah berkeliaran di dalam imajinasinya.
"Hadyan! Kau di mana?.. Hadyan!" Tangis Tasia ketakutan.
"Ukh!"
Tasia langsung menoleh kaget mencari asal suara tersebut. Secercah harapan muncul bagai matahari yang terbit dari balik gunung. Itu pasti suara erangan dari pria yang tengah ia cari-cari.
"Hadyan!" Seru Tasia ketika melihat sepasang sepatu merah yang menyembul dari balik pohon yang tubuh miring di dasar jurang.
Hampir berlari, Tasia menghampirinya. Benar saja, itu adalah sosok Hadyan yang tersangkut di dasar batang pohon besar dalam keadaan setengah sadar.
"Hadyan! Kau tidak apa-apa?!" Tanya Tasia panik, berusaha menurunkan pria bertubuh besar itu dari sana dengan sekuat tenaga.
Tentu saja Tasia tidak mampu mengangkat seorang pria dengan bobot nyaris dua kali lipat dirinya dan tinggi 185 centi meter. Ia menyeret turun tubuh berat itu dengan paksa hingga dapat dibaringkan dengan benar di atas tanah yang datar.
"Hadyan! Hadyan! Bangun!" Tasia menepuk ringan kedua pipi pria itu berkali-kali.
Hadyan mengerang atas sakit yang ia rasakan di punggungnya. Meski sadar atas apa yang sedang terjadi, tubuh manusianya belum bisa diajak bekerjasama karena sempat beberapa kali menghantam batang pohon saat terperosok secara bebas tadi. Tangan kaki dan wajahnya juga luka-luka. Lalu beberapa bagian bajunya ada yang sobek.
"Hadyan! Bangun! Apa yang harus aku lakukan?" Tasia nyaris menangis lagi, namun sebisa mungkin ia tahan. Lalu ia membuka jaketnya untuk ia gunakan sebagai bantal bagi kepala Hadyan.
Matahari mulai tenggelam. Langit berubah warna menjadi jingga gelap kebiruan, namun di sekitar pepohonan, kegelapan mulai membutakan pengelihatan Tasia. Sekitar tiga puluh menit ia menjaga Hadyan, masih dalam posisi yang sama.
"Ugh.." Hadyan mencoba bangun saat merasa tubuhnya sudah membaik.
Luka-lukanya sembuh begitu cepat. Jika ia hanya manusia biasa, tidak mungkin ia bisa melakukan itu. Kemungkinan, setidaknya sudah ada tulang yang patah atau luka organ dalam. Paling buruk, bisa jadi ia sudah mati.
Tasia segera membantu Hadyan duduk. "Hadyan? Kau sudah merasa lebih baik? Apa yang kau rasakan? Di mana yang sakit?" Cecarnya.
Laki-laki itu menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku sudah kuat berdiri. Kita harus segera kembali. Kau tidak apa-apa?" Ia memeriksa kondisi Tasia, mengingat tadi gadis itu sempat terjatuh saat memergoki Marya mencium pipinya.
Tasia menggeleng. "Aku tidak apa-apa."
Tasia menatap Hadyan dengan wajah memelas. "Aku sudah teriak minta tolong. Tapi tidak ada orang sama sekali. Kita tersesat, Hadyan. Maaf.. Ini semua salahku."
"Sst.. Tidak apa-apa. Bukan salahmu. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana cara kita keluar dari tempat ini dan kembali ke perkemahan." Ucap Hadyan pelan.
"Kita harus naik ke atas lagi. Tadi, aku menggunakan akar gantung untuk turun ke sini. Akarnya aku ikat di pohon dan masih tergantung di sana. Kita bisa menggunakannya untuk naik lagi." Jelas Tasia.
Ia segera membopong Hadyan menuju tempat tadi dirinya meninggalkan benda itu dan ternyata benar bahwa akar tersebut masih berada di dalam posisi yang sama.
"Kita bisa memanjat menggunakan akar ini. Tapi agak licin, apa kau bisa?" Tanya Tasia.
Hadyan mengangguk. "Aku sudah pulih lebih baik. Ingatlah, aku bukan manusia."
Hadyan melepas bopohan Tasia. Badannya sudah tegap dan ia tidak lagi terpincang-pincang.
Gadis itu menampakkan wajah lega yang mengatakan, 'Oh iya.. aku baru ingat.'
"Aku naik duluan, lalu nanti aku akan menarikmu dari atas." Ujar Hadyan, meraih akar itu dan mulai memanjat.
Satu meter, dua meter, tiga meter, lima meter dan.. TRAKK! Ikatan akar itu terlepas dari batang pohonnya dan membuat tubuh Hadyan kembali meluncur terperosok ke bawah.