"Hei.. hallo.. hei.." Tasia terkejut menyadari sebuah tangan yang melambai-lambai tidak sabar di depan wajahnya.
"Ah! Iya, maaf kak. Di.. di sini, ya?" Gagapnya sambil mengarahkan pulpen ke sebuah kolom di buku panjang yang tergeletak di atas meja pos satpam yang terbuat dari ubin.
Panitia laki-laki itu tertawa geli. "Iya benar, tanda tangan di sini. Sudah mengantuk, ya? Tapi masih lapar?" godanya.
Tasia melihat bungkus mie instan yang ternyata masih ada di genggamannya. Ia tersenyum memaksa dan mengangguk. "Trimakasih, Kak. Aku permisi dulu." Ucapnya setelah selesai menandatangani daftar.
"Nanti jangan melamun lagi pas masak, yah! Nanti mie-nya terlalu lembek!" Goda laki-laki itu, diikuti tawa temannya. Menggoda gadis cantik memang selalu menyenangkan.
Rasanya seperti melangkah di atas angin. Tasia tidak dapat merasakan lantai yang ia pijak. Hatinya membuat setiap inci tubuhnya terasa aneh. Rasa ngilu itu masih berdenyut di dalam dadanya.
'Apa yang aku pikirkan? Tidak seharusnya aku seperti ini. Tidak seharusnya aku..'
"Anastasia.."
Tasia tersentak mendengar suara yang saat ini sangat teramat tidak ingin ia dengar itu. Ia menghentikan langkahnya, menatap kedua sandal jepit yang membalut kakinya sembari mengatur napas. Namun, deru jantungnya tidak mau berkompromi.
"Anastasia? Kau tidak apa-apa?"
Tasia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya.
Tasia refleks menepis tangan besar tersebut
"Jangan sentuh aku!" Bentaknya seraya membalik badan menghadap laki-laki di belakangnya.
"Tasia? A.. ada apa?" Tanya Hadyan terkejut.
Tasia bergidik kaku. Kedua matanya terbelalak, menatap tangannya dan Hadyan secara begantian.
Jujur, ia juga terkejut atas tindakannya sendiri. Semua itu, kata-kata itu, terjadi di luar kendalinya. Seperti singa liar yang terlepas dari kandang besi, amarah dan amukan yang tidak pernah terlampiaskan itu terbebas begitu saja.
"Tasia? Ada apa? Apa yang terjadi?" Ulang Hadyan. Ia semakin mendekat dengan cemas atas wajah yang nampak terguncang itu.
Tasia mundur selangkah ketika tangan Hadyan hendak menggapainya. "Ma.. maaf. Hadyan.. maaf. A-aku tidak apa-apa.."
Tasia memaksakan senyuman dan mengangkat bungkus mie instan yang sedang dipegangnya. "Aku sedang kelaparan. Jadi, a-aku kesal saat ada yang menahanku, karena aku sudah ingin cepat pergi memasak ini di dapur."
Tentu saja Hadyan tidak mempercayai penjelasan itu. Semua tersirat di wajah Tasia meski mulutnya berkata lain. Dia bukan tipe orang yang bisa mengamuk hanya karena sedang kelaparan. Hadyan tau jelas hal itu.
"Begitu, ya? Aku minta maaf sudah menahanmu. Kalau begitu, cepatlah ke dapur kalau kau memang sudah kelaparan." Jawab Hadyan.
"Ya." Tasia memberikan senyum kikuk, lalu segera melangkah pergi.
"Tasia!" Panggil Hadyan.
Gadis itu berbalik, masih dengan senyuman kaku di wajahnya yang seakan menyiratkan 'apa lagi?'.
Hadyan terdiam sejenak, ingin mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya namun tertahan di tenggorokan. Semua itu hanya bisa tergantikan dengan sebuah senyum hangat. "Maaf, yah. Makan yang banyak, aku tidak mau sampai melihat kau sakit."
Mendengar itu, perasaan Tasia langsung bercampur aduk antara dongkol, kesal, dan luluh.
Ia hanya dapat melemparkan senyuman lagi dan kembali melangkah pergi dengan wajah tertekan. Rasanya ia ingin meneriakkan 'Laki-laki Berengsek!' tepat di wajah Hadyan.
Bisa-bisanya Hadyan mengatakan hal manis pada Tasia setelah tadi asik berpeluk-pelukan mesra dengan Marya. Sepertinya Tasia harus memberikan lebel 'Jin Playboy' pada pria itu.
Dengan Tasia yang melangkah semakin menjauh, di belakangnya, sosok Hadyan masih terpaku berdiri menatap punggung gadis pujaannya itu.
'Apa yang terjadi padamu? Apa yang kau pikirkan? Aku tidak tau. Bahkan detak jantung dan keberadaanmu tidak dapat aku rasakan lagi. Bagaimana caranya aku tau apa yang kau rasakan? Aku ingin tau apa yang membuatmu terganggu.' Seru Hadyan dalam hati.
Hasyan melihat sekeliling, di mana banyak sekali mata penghuni vila itu tengah mengawasinya. Bahkan, dari berkilo-kilo meter jauhnya, mereka semua bisa merasakan kehadiran sosok pangeran dari kerajaan lautan.
Sebenarnya dari awal ia tiba di tempat itu, susana alam gaib tempat tersebut menjadi keruh dan tegang.
Hadyan adalah pangeran yang berkuasa di lautan, namun di tempat ini, 'pangeran' hanya sebuah kata dan sandangan. Ia tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan apa pun. Penyebab terbesarnya adalah perjanjian yang ia buat untuk menyamar dan tinggal alam manusia.
Hadyan hanyalah warga asing yang datang dalam wujud manusia. Wujud sempurna yang selalu diimpi-impikan oleh makhluk halus. Karena itu, mereka menjadi marah melihat Hadyan.
***
Pintu kamar terbuka. Tata membuka matanya ketika menyadari bahwa Tasia sudah kembali. Ia duduk dari tidurnya, masih terbungkus oleh selimut tebal.
Tata menyalakan ponselnya dan menggunakan cahaya layar untuk memperjelas apa yang ingin ia lihat. Kemudian dahinya mengerut heran.
"Kau tidak jadi makan, atau kau beralih makan makanan lain?" Tanyanya setelah melihat bungkus mie instan yang masih utuh dalam genggaman tangan sahabatnya, dengan suara pelan karena yang lain sudah tertidur.
"Tiba-tiba aku tidak lapar." Jawab Tasia malas sambil melempar asal mie instan itu ke atas tas besarnya, lalu merangkak masuk ke dalam selimut untuk tidur di samping Tata.
"Tidak lapar?" Ulang Tata.
"Kalau kau tidak lapar, kenapa lama sekali di luar?" Tanyanya lagi. Tata sangat menyadari ada yang salah dari wajah Tasia. Ia yakin pasti tadi ada sesuatu yang terjadi di luar sana.
Tasia mendesah singkat sementara matanya melirik ke ranjang sebrang di mana Marya sudah tertidur pulas di sana.
"Besok saja aku ceritakan." Ucap Tasia pelan, tidak mau mengambil resiko bahwa ternyata Marya belum tertidur dan malah mendengar pembicaraan mereka.
Tata mengangguk paham. Paham bahwa sahabatnya itu sudah lelah dan paham bahwa kegusaran itu bersangkutan dengan sahabatnya yang lain, Marya.
"Oke. Ayo kita tidur." Tasia kembali berbaring.
***
Karena tidak bisa tidur, Tasia jadi bangun agak terlambat. Ia melangkah tergesa-gesa ke arah ruang makan.
Memang semua anak, termasuk Tasia, belum sempat menjelajahi vila besar itu karena semalam tiba terlalu larut. Ternyata ruang makan vila yang mereka tempati sangat luas. Terdapat tiga buah meja makan kayu besar dan panjang bagai di film kerjaan penyihir.
"Wahh! Mejanya besar sekali!" Gumam Tasia takjub di ambang pintu.
"Kau suka? Di istanaku mejanya lebih besar dari itu."
Tasia lantas menoleh ketika mendengar suara dari seorang pria yang berdiri di belakangnya. Hadyan tersenyum hangat.
"Selamat pagi. Kau bangun kesiangan? Kau tidak sakit, 'kan?" Lanjut pria itu.
Entah mengapa, dengan melihat Hadyan, suasana hati Tasia yang sedang menari di atas awan tiba-tiba anjlok merosot ke dalam sumur.
"Aku baik-baik saja," Jawab Tasia, langsung berlalu menghampiri kelompoknya yang sudah duduk di salah satu meja. Ia duduk di samping Tata.
"Hadyan! Kemari!" Marya melambai-lambai kecil dan menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong. Ia sudah menyiapkan itu untuk calon pacaranya.
Tasia tau hal itu, namun ia hanya menunduk, berpura-pura menikmati makanannya yang sudah disendoki Tata. Ia akan berusaha tidak peduli.
Marya menggeser kursinya agar Hadyan bisa duduk lebih lega. Mereka duduk berhadapan dengan Tasia dan Tata.
Di dalam hati, Tasia menggerutu tidak nyaman. Kursi di sampingnya kosong. Ya, ia seharusnya tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi kenapa kursi itu malah membuatnya gusar?
Jadi, Hadyan benar-benar memilih duduk di samping Marya? Tapi di sisi lain, Tasia juga tidak mengundang Hadyan untuk duduk di sampingnya. Kalau karena itu Tasia menjadi jengkel, seharusnya ia malu pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba Tasia merasakan kegaduhan di sampingnya. Ternyata sosok Patra berusaha menempati kursi kosong di samping Tasia tersebut.
"Kenapa kau pindah ke sini?" Tanya Tasia. Entah mengapa, ia menjadi agak senang dengan kehadiran Patra.
"Tiba-tiba aku ingin duduk di sampingmu karena kau sangat cantik pagi ini," Goda Patra dengan senyuman mautnya..
"Bohong. Dia berencana mengambil jatah ikan asinmu, Tasia." Timpal Mark yang jatah ikan asinnya sudah ludes dimakan Patra. Sekarang, pria itu mengincar milik Tasia.
Gadis itu tertawa. "Dasar kucing kampung. Nih!" Ia memindahkan ikannya ke piring pria itu.
"Asik! Trimakasih, bidadariku." Ucap Patra senang sembari menepuk-nepuk kepala Tasia bagai anak anjing.
Adegan itu berlangsung jelas di depan mata Hadyan. Rasanya ia akan membalikkan meja makan besar itu dan memasukan semua ikan asin di yang ada ruangan makan ke dalam mulut Patra. 'Bidadarimu? Anastasia adalah permaisuriku!'
"Hadyan.. Kenapa kau melamun?" Suara Marya yang tiba-tiba terdenger, membuat Tasia turut menoleh.
'Astaga! Jangan-jangan Hadyan jadi marah karena melihatku dan Patra.' Pikir Tasia karena mengingat kejadian dulu ketika dirinya suap-suapan dengan Patra di kantin sekolah.
Tasia menatap Hadyan dengan ngeri. Namun, tidak seperti dugaan, wajah pria itu nampak biasa saja.
Hadyan tersenyum menanggapi Marya. "Tidak ada apa-apa. Ayo lanjut makan,"
Marya mengangguk riang sembari menuangkan air dari teko ke dalam gelas Hadyan. "Oke!"
Tasia kembali menunduk, kali ini dengan perasaan malu, dan menyantap makanannya yang terasa hambar.