Chapter 29 - Perjalanan

Salah satu keuntungan yang didapatkan Tasia dengan tinggal bersama tante dan omnya adalah ia tidak perlu memohon untuk mendapatkan ijin pergi kemanapun, apalagi yang berhubungan dengan kegiatan sekolah.

Berbeda ketika kedua orangtuanya masih hidup, ia harus memohon beribu kali. Dari bersujud hingga berguling-guling untuk bisa mengikuti acara camping sekolah dan akhirnya tetap tidak diijinkan.

Tasia sudah mendapatkan tanda tangan dari tantenya dan membawa uang sebesar 200.000 rupiah untuk biaya acara empat hari tiga malam di  kabupaten Semarang tersebut.

Akhirnya, setelah melewati hari-hari ujian yang panjang dan memusingkan, hari yang ditunggu-tunggu oleh pemburu liburan pun tiba.

Tasia, Tata, Marya, Patra, Mark, dan Hadyan bercengkrama di dekat gerbang sekolah di pagi yang masih buta itu.

"Ngomong-ngomong, kalian tidak takut mengikuti kegiatan ini? Apalagi klub pecinta alam bukannya lembek seperti acara perpisahan SMP. Biasanya, kita dilatih untuk mandiri dan bisa bertahan hidup di alam bebas." Ujar Patra, lebih ditunjukan kepada gadis-gadis di kelompoknya.

"Sayangnya, hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Karena yang berpartisipasi bukan hanya anggota klub pecinta alam saja. Aku tau klub kalian mengadakan acara alam ini secara terbuka karena kekurangan biaya, sedangkan anggota kalian jumlahnya terlalu sedikit untuk memenuhi akomodasi." Jawab Tata lancar.

"Sial. Dia hebat sekali." Bisik Mark kagum di telinga Patra.

Patra itu langsung mengibas telinganya hingga tangannya hampir menampar wajah Mark yang menjijikan.

"Jangan berani coba-coba membodohi dan menakut-nakuti kami selama ada Tata di sini, Patra. Ia adalah dewi informasi yang mengetahui segalanya." Tawa Tasia.

"Jadi kalian anggota klub pecinta alam?" Tanya Hadyan.

"Ya, betul. Aku dan Mark menyukai petualangan dan gemar menantang maut." Patra merangkul sahabat seperguruannya itu dengan bangga.

"Kenapa kalian harus sangat bangga seperti itu?" Nyinyir Marya sinis.

"Karena laki-laki yang menyukai tantangan adalah laki-laki sejati." Sahut Hadyan.

"Nice, Hadyan!" Mark menepuk punggung pria itu. Dan dirasakannya betapa keras beda yang ia gebuk tersebut hingga telapak tangannya terasa kebas.

Marya tersenyum lembut. "Apakah kau menyukai tantangan juga?"

"Tentu. Aku menyukai tantangan dan sekali menginginkan sesuatu, maka dia tidak akan pernah aku lepaskan sampai aku mendapatkannya." Jawab Hadyan yakin.

Namun, jawaban itu membuat Tasia diam-diam meringis tidak nyaman karena ia tau bahwa sejak awal, Hadyan datang untuk membawa dirinya.

"Wah! Kau keren sekali, Hadyan! Andai semua laki-laki memiliki pandangan sepertimu." Puji Marya dengan memeluk lengan Hadyan.

"Eh? Sepertinya kita harus naik ke bus sekarang," Ujar Tata ketika melihat siswa-siswi lain mulai naik ke dalam bus biru yang terparkir di halaman parkir sekolah.

Mereka duduk di barisan paling belakang atas usul dari Marya, dengan alasan agar tidak perlu berpencar-pencar dan lebih nyaman saat mengobrol.

Rombongan mereka menggunakan dua buah bus berukuran besar. Selama perjalanan, mereka bercanda gurau hingga hari mulai sore. Saat itu, mereka sudah jauh memasuki jalan TOL yang sangat panjang.

"Aku lapar!" Seru Tasia.

"Aku juga!" Lanjut Patra.

"Hei, jangan hanya bisa mengeluh! Keluarkan makanan kalian!" Seperti biasa, Tata mulai mengomel. Apalagi karena diam-diam perutnya juga keroncongan.

"Tapi makananku tertinggal di tas besar. Itu ada di bagasi." Patra memasang tampang sedih.

"Punyaku juga, tasnya ada di bagasi di samping tas Patra." Tambah Tasia.

"Sebentar lagi kita akan sampai di rest area. Kalian bisa beli makanan sepuasnya di sana." Ujar Tata pusing, karena mereka sudah beberapa kali singgah di rest area namun tidak ada satu pun yang bersiap mengenai makanan.

Padahal, tadi mereka juga sudah diberi nasi kotak, namun tubuh mereka sedang dalam masa pertumbuhan sehingga makanan itu tidak bertahan lama di dalam perut mereka.

Setelah sampai, mereka semua berhambur turun dari bus untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.

Tasia dan Mark langsung menuju ke mini market terdekat. Mereka membeli banyak makanan karena perjalanan masih panjang dan hari sudah menjelang malam. Sementara, perut Parta mendadak mulas sehingga ia langsung mencari toilet.

"Aku akan ke toilet, kau duluan saja, ya?"

"Baiklah. Kemari, biar belanjaanmu aku bawa," Tasia mengambil satu kantung belanjaan milik Mark.

"Serius tidak apa? Ini agak berat, loh." Tanya Mark khawatir.

Tasia menggeleng sambil tersenyum. "Tenang saja, tidak terlalu berat. Lagipula, mana mungkin kau ke toilet sambil bawa-bawa banyak kantung begini." Ia terkekeh.

Mark menyengir. "Trimakasih, yah! Aku pergi dulu," Ia segera berlari ke toilet, dan Tasia tau bahwa laki-laki itu ternyata sudah menahan keinginannya buang air kecil dari tadi hanya untuk membeli makanan.

"Banyak sekali belanjaanmu. Kau terlihat seperti ibuku saat baru pulang dari pasar." Sapa Hadyan dari belakang.

"Eh? Hadyan. Di mana Marya?" Tanya Tasia dengan memperhatikan sekitar karena tadi begitu turun dari bus, gadis petakilan itu langsung menarik Hadyan entah ke mana.

"Marya pergi ke toilet. Aku sudah bilang padanya aku kembali ke bus duluan." Hadyan langsung mengambil kantung belanjaan Tasia tanpa permisi dan membawanya.

"Wah.. sepertinya benar kata Marya. Kau laki-laki sejati." Ujar Tasia kagum, namun setengah mengejek. "Lalu, kurang ajar sekali kau menyamakan aku dengan ibumu yang baru pulang dari pasar. Jangan-jangan alasanmu membatuku membawa belanjaain ini adalah karena itu? Apa aku terlihat seperti ibu-ibu?"

Hadyan tertawa. "Kau galak sekali, ya? Aku tidak tau ternyata kau suka mengomel."

"Yah, aku memang suka mengomel," Tantang Tasia dengan membuang muka. "Ngomong-ngomong, kalau kau suka gadis yang ceria, rasanya Marya cocok untukmu. Ia selalu membuat orang tertawa dengan tingkahnya yang lucu, benar, 'kan?"

Hadyan mengangguk. "Ya. Dia memang gadis yang sangat lucu. Setiap ada Marya, pasti banyak orang sering tertawa."

"Hahahaha! Iya, dia memang lucu." Sahut Tasia dengan menyipitkan mata pada Hadyan. Namun pria itu tidak mempedulikan sikap gadis itu. Ia tidak mengerti arti dari sikap Tasia.

Sampai di parkiran, mereka naik ke dalam bus, namun ternyata bus yang mereka tumpangi masih nampak kosong.

"Yang lain belum kembali." Ujar Tasia. "Ayo kita turun lagi."

Hadyan langsung menahan lengannya. "Jangan. Aku malas turun keluar."

Tasia terlihat bingung, namun tetap mengangguk dan mengikuti Hadyan duduk di dalam bus. "Kau terlihat tidak nyaman. Ada apa? Kau sakit?"

Hadyan menoleh ke jendela sekilas. "Aku hanya tidak suka berada di antara kerumunan yang memperhatikanku seperti itu,"

Tasia mengerutkan dahinya lalu berpindah duduk di samping Hadyan untuk melihat ke luar melalui jendela yang sama. Namun ia tidak melihat apa pun selain jajaran pohon-pohon cemara tinggi yang menggelap karena cahaya matahari mulai meredup.

"Kerumunan apa? Sepertinya tidak ada yang memperhatikanmu dari tadi," Tanya Tasia.

"Mereka tau aku bukan manusia. Banyak sekali yang merenggang nyawa di jalan TOL ini. Biasanya aku akan murka pada mereka yang menatapku tanpa hormat seperti itu. Namun sekarang aku tidak bisa melakukannya." Jelas Hadyan, membuat bulu kuduk Tasia mendadak meremang.