'Mimpi itu?! ' Tasia membatin, tersadar akan sesuatu.
Masih menatap cermin, ia menumpukan kedua tangannya pada sisi wastafel dan mengerjap berkali-kali.
'Apakah aku takut? Apakah aku tidak menginginkan ini terjadi? Kenapa secepat ini? Haruskah aku beritahukan kepada Hadyan?'
Sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk, Tasia melangkah keluar dari kamar mandi dengan masih tersisa perasaan gusar dalam dadanya. Sementara, Tata sedang asik bermain ponsel di atas ranjang.
"Di mana Marya?" Mata Tasia menyisir setiap sudut ruangan.
"Pergi keluar. Kau sudah selesai, 'kan? Aku akan mandi sekarang." Tata beranjak sambil menggantung handuk di pundaknya.
"Pergi? Dia belum mandi, 'kan? Tumben sekali." Ujar Tasia dengan menjemur handuknya yang basah pada rak handuk.
Marya adalah orang yang cinta kebersihan. Ia sering mencuci tangan dan selalu langsung mandi sehabis bepergian.
Tata mengangkat bahu. "Ia bilang ada hal yang lebih penting dari mandi. Entah apa yang ia cari di luar sana,"
"Mungkin ia lapar. Aku juga ingin mencari makanan di luar." Ujar Tasia.
Tata mengangguk di ambang pintu kamar mandi. "Yasudah. Aku tidak akan makan lagi. Aku tunggu kalian di kamar saja, ya."
"Baiklah. Aku keluar.." Angguk Tasia sembari mengenakan sandal jepit dan keluar dari sana.
Kamar-kamar terletak terpisah-pisah dan ruang tengah adalah titik utama untuk berkumpul. Kamar Tasia merupakan salah-satu yang terletak paling dekat dengan ruang tengah.
Setelah sampai di sana, ia menemukan Patra, Mark, dan beberapa siswa lainnya sedang bercengkrama santai.
"Eh? Tasia! Sini, sini!" Panggil Mark yang pertama mendapatinya datang.
"Di mana yang lain?" Tanya Tasia, ikut duduk di sofa rotan besar berbentuk setengah lingkaran itu.
"Maksudmu Hadyan? Tadi ia bilang akan menyusul sebentar lagi. Tapi ternyata belum datang juga," Jawab Patra seraya melirik ke kanan-kiri, mencari laki-laki berambut tebal itu.
"Aku juga mencari Marya. Ia keluar terlebih dahulu. Kalian ada yang melihatnya?" Tanya Tasia. Mereka semua menggeleng.
"Mungkin Marya langsung ke dapur mencari makanan. Kalau begitu, aku pergi ke dapur dulu, yah." Ujar Tasia, mendapat anggukan dari kawan-kawannya.
Kemudian Tasia beranjak ke dapur yang ada di belakang ruang tengah, namun tidak menemukan sosok Marya, melainkan para panitia dan siswa lain.
'Di mana anak itu? Sudahlah! Daripada mencarinya, lebih baik aku makan duluan.' Pikir Tasia.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya pelan. "Kau Anastasia, bukan?"
Sontak Tasia langsung menoleh dan membalas senyuman seorang gadis berambut pendek dengan gaya bob itu. "Iya, Kak. Ada apa ya?" Jawabnya, menyadari gadis itu adalah salah satu kakak panitia acara.
"Sepertinya kau belum menandatangani absen?" Ucap sang panitia.
Tasia menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa dan malah langsung pergi ke kamar meski Tata sudah mengingatkannya tadi. "Ohya! Maaf, Kak, aku lupa.."
Panitia itu mengangguk. "Tidak apa-apa."
Lalu ia melirik bungkusan mie instan di tangan Tasia. "Kau boleh makan dahulu jika lapar. Pos panitia masih di jaga sampai jam 1 subuh."
"Tidak apa, Kak. Aku akan ke sana sekarang juga agar tidak terlalu malam." Jawab Tasia.
"Yasudah kalau begitu. Aku duluan, yah." Ucap panitia itu.
"Baik, Kak. Trimakasih." Jawab Tasia.
Tanpa berpikir lagi, Tasia langsung melangkah cepat menuju post panitia yang berada di pintu timur vila.
Meski sudah lapar, ia tidak mau terlalu malam ke sana karena harus melewati taman vila yang pasti akan mejadi sangat sepi dan gelap di tengah malam.
Beruntung, ternyata saat ini taman vila tidak terlalu sepi dan terlihat beberapa anak masih duduk-duduk di bangku taman sana.
Namun, di antara beberapa kelompok itu, ia melihat sosok yang tidak asing bagi kedua matanya. Sosok itu sedang duduk di samping lampu taman dan sedikit terhalang tanaman semak yang tumbuh agak tinggi.
'Marya? Di sana dia rupanya. Sedang apa dia? Sebaiknya aku mengajaknya makan daripada nanti ia mengomel karena aku tinggalkan.' Pikir Tasia.
Perlahan, Tasia menghampiri gadis dengan kaos bergambar kartun kucing itu. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa ternyata Marya tidak duduk sendirian di sana, melainkan sedang bercengkrama berdua dengan seorang pria yang adalah Hadyan. Figur pria itu terhalang di balik tanaman semak di belakang bangku taman.
Tasia berhenti di balik semak besar tersebut, berpikir apakah sebaiknya ia benar-benar menghampiri mereka atau tidak. Namun tanpa sadar, ia lebih terlihat seperti sedang mengintip kedua orang itu.
"Dari dulu, aku kesulitan mendapat pacar. Banyak orang berpikir bahwa diriku ini aneh." Jelas Marya.
Hadyan mengerutkan dahinya. "Aneh? Aku tidak merasa dirimu aneh. Memang apa yang aneh darimu?"
Marya tertawa kecil. "Mereka bilang, kelakuanku seperti anak kecil. Mereka merasa terganggu akan hal itu. Katanya, tidak pantas bagi gadis berwajah pas-pasan sepertiku bersikap seperti itu."
Hadyan nampak terkejut mendengarnya. "Itu tidak benar. Mereka hanya orang-orang kurang ajar yang tidak bisa menghargai orang lain dan hanya suka mencibir."
"Tapi.. mereka ada benarnya. Gadis jelek sepertiku tidak pantas bersikap seenaknya. Dibandingkan dengan Tasia dan Tata, aku bagaikan parasit jika berjalan bersama mereka. Tapi.. Sungguh, aku tidak bisa mengendalikan sikapku ini. Ini adalah diriku yang sesungguhnya dan tidak mau aku tutup-tutupi." Tutur Marya miris.
Hadyan mengelus punggung Marya tanpa mengetahui bahwa tindakannya itu langsung memicu jantung gadis tersebut berdebar keras.
"Jangan sampai kata-kata murahan itu membuatmu merasa rendah. Kau adalah gadis yang paling ceria dan bersemangat yang pernah aku temui. Dan sifatmu itu justru yang membuat dirimu cantik dan istimewa." Hibur Hadyan.
Marya langsung menatap Hadyan dengan mata berkaca-kaca. Jarang sekali.. atau bahkan rasanya tidak pernah ia mendapatkan pujian seperti itu dari seorang laki-laki, bahkan ayahnya sendiri.
"Cantik itu tidak harus sempurna. Setiap wanita memiliki kecantiknya masing-masing. Dan milikmu adalah sifatmu yang ceria dan selalu membuat orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia." Hadyan tersenyum hangat.
Tanpa canggung, Marya langsung mendaratkan pelukannya pada Hadyan yang langsung terkejut atas aksi mendadak itu.
"Trimakasih, Hadyan. Kau memang berbeda dari yang lainnya." Ujar Marya dengan air mata nyaris menetes.
Hadyan bergerak canggung dan menepuk ringan punggung Marya sebentar. Perlahan, ia melepas kedua tangan yang melingkari lehernya itu.
Mungkin gadis itu teramat sedih dan memerlukan sebuah dukungan. Tapi, tetap ia memiliki seseorang di hatinya, yaitu Tasia. Meski teman, tetap saja Marya adalah wanita. Dan pangeran Hadyan tidak akan membiarkan wanita manapun seenak hati menyentuh dirinya.
Hadyan tersenyum tipis untuk menanggapi Marya yang menatapnya hangat dengan kedua mata berkaca-kaca.
Di balik semak di belakang mereka, tanpa sadar sosok Tasia memegangi dadanya yang terasa aneh. Ia merasakan sensasi ngilu berdenyut yang tidak dapat ia jelaskan di dalam sana.
'Apa yang aku lakukan di sini? Bukankah seharusnya aku pergi ke pos? A-aku harus segera ke sana, 'kan?'
Tasia segera berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa-gesa. Denyutan di dadanya tidak kunjung hilang dan malah merambat ke kedua kakinya, seakan perasaan itu mengatakan padanya untuk kabur secepat mungkin dari sana. Karena selagi ia masih berdiri di belakang semak itu, kemungkinan rasa sakit itu akan berdenyut semakin parah.