Bagaimana bisa seseorang membuka hatinya, jika hati itu terlapis oleh batu?
Tasia membangun tembok bundar yang sangat besar dan tinggi setelah kecelakaan yang merenggut seluruh anggota keluarganya.
Kini Tasia berada di dalam tembok itu. Sendirian, kesepian, dan kedinginan. Hadyan dapat menciumnya, mengendus bau penderitaan yang sangat menyedihkan itu. Sekarang ia berpikir untuk mulai menghancurkan tembok raksasa yang Tasia bangun tanpa sadar.
"Bagaimana keadaan kerajaan?" Tanya Hadyan.
"Sangat baik, Yang mulia. Tidak ada tanda-tanda musuh ataupun pemberontak." Jawab pengawal jinnya yang datang jauh dari istana. Ia berwujud tinggi namun tidak memiliki wajah. Hanya seperti siluet hitam dengan tangan dan kaki besar dan panjang.
"Bagus. Aku masih belum bisa kembali ke istana. Kau, katakan pada panglima bahwa aku sangat membutuhkannya untuk menjaga kerajaan saat ini."
"Baik, Yang mulia." Tunduknya, dan segera menghilang dalam bayangannya sendiri.
Hadyan menghela napas panjang. Ia kini rela menelantarkan kerajaannya sendiri demi gadis yang ia cintai.
Ternyata benar apa yang ibunya katakan dulu, bahwa kelemahan terbesar laki-laki adalah perempuan. Kini ia merasakannya sendiri, namun tidak menyesalinya sama sekali.
Baginya, cinta itu sangat indah dan hangat, lebih menarik dan menantang dari perang apa pun. Cinta yang mampu membuat sisi lain dari dirinya muncul. Sisi lain yang bahkan ia pikir tidak pernah ada.
Hadyan melangkah keluar kamar, menuruni tangga, dan melihat ibu palsunya sedang memasak di dapur. "Ibu, aku akan pergi main keluar sebentar." Ijinnya.
"Ibu baru membuat kue. Tolong bagikan pada teman-temanmu yah. Kau main bersama temanmu, 'kan?" Ibunya memasukkan beberapa potong kue bolu pisang ke dalam kotak bekal berwarna jingga.
Hadyan memperhatikan ibu palsunya itu dengan seksama. Semakin ia menjalaninya, samakin ia menyadari bahwa dunia manusia tidak seburuk yang ia bayangkan sebelumnya, bahkan jauh berbeda dari dunianya sendiri.
Di sini penuh dengan kehangatan dan kasih sayang, di mana keluarga saling berbagi perhatian dan mengenal satu sama lain secara intens. Semakin ia pikirkan, ia makin teringat kepada Tasia yang kehilangan keluarga sempurnanya. Pasti lebih menyakitkan dari apa pun.
"Hey, Nak? Kenapa melamun?" Ibunya menjentikkan jadi di depan wajahnya.
"Eh? Maaf, Bu. Tadi aku sedang memikirkan sesuatu. Kalau begitu, aku bawa kuenya. Trimakasih." Ujarnya segera melangkah keluar.
"Jangan pulang terlalu malam, Nak." Seru wanita dengan model rambut bob itu.
"Ya, Bu."
***
Tasia mengintip melalui jendela kamarnya. Ada sosok Hadyan di depan pagar, tersenyum dan melambai padanya. Tasia membalas lambaian kecil itu.
Lalu ia segera mengenakan jaket abu-abu yang tergantung di belakang pintu kamar dan melangkah kecil menuruni tangga. Senyumnya merekah begitu ia keluar dari pintu ketika melihat Hadyan yang duluan menyeringai lebar padanya.
Hati Hadyan seperti sedang berbunga-bunga karena itu adalah pertama kalinya laki-laki tersebut bisa bermain secara normal tanpa harus menyelinap ke kamar gadis pujaannya itu melalui jendela.
"Apa yang kau lakukan di sini? Jika aku tidak kebetulan melihat jendela, maka aku tidak akan pernah tau kau datang," Ujar Tasia sembari membuka pagar dan melangkah keluar.
Sejak pertemuan di mini market kemarin, Tasia seakan memiliki teman baru untuk keluar rumah di sore hari.
"Aku takut jika memanggilmu, nanti nenekmu akan mengamuk lagi.l," Jujur Hadyan diselingi dengan tawa kecil.
Tasia mengangguk mengerti. "Hari ini adalah hari minggu, jadi tante membawa nenek ke rumah sakit untuk check-up. Kau punya ponsel, 'kan?"
Haydan mengangguk. Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celana jeans hitamnya.
Tasia langsung mengambil ponsel itu dan mengetik sesuatu di sana. "Ini adalah nomorku. Sudah aku simpan dengan nama 'Tasia'. Lain kali, kalau ada perlu, kau bisa menghubungiku dulu. Jangan tiba-tiba datang dan menunggu di depan seperti ini. Bagaimana jika aku tidak juga keluar? Bukankah jadinya sia-sia kau datang ke sini?"
Hadyan menerima kembali ponselnya saat Tasia kembalikan, ia tersenyum sangat senang. "Maka aku akan menunggumu sampai kau keluar. Meskipun sampai tengah malam sekalipun atau besok paginya, tetap akan aku lakukan."
Mendengarnya membuat Tasia muak dan memutar kedua bola matanya sebal. Namun tetap ia tertawa pada rayuan pangeran ular itu. Karena ia tau, sekali Hadyan berbicara satu hal, ia pasti akan benar-benar melakukannya. Jadi, bisa dibilang sebenarnya itu bukanlah rayuan semata.
"Kau tidak akan membiarkanku masuk, ya?" Tanya Hadyan tertawa. Tasia-pun turut tertawa tidak enak hati pada pria itu.
"Maaf, Hadyan. Masalahnya, asisten rumahku agak cerewet. Aku takut nanti tanpa sengaja, ia malah keceplosan dan mengadu pada nenek." Jelas Tasia.
Haydan mengangguk mengerti. "Bagaimana kalau kita ke taman?"
"Taman? Boleh juga." Angguk Tasia setuju.
Sebelum ke taman, mereka memutuskan untuk mampir ke mini market langganan mereka dan membeli minuman dan beberapa cemilan.
Hadyan melangkah keluar setelah membayar dan berterimakasih kepada ibu petugas kasir.
Ia memberikan sebotol teh dingin rasa melati pada Tasia yang duduk menunggu di bangku depan mini market yang sama seperti kemarin malam.
"Trimakasih, yah. Hehe.." Ujar Tasia sambil menerima minuman yang diteraktir teman barunya itu. Ia sangat suka teh manis dingin rasa melati. Entah bagaimana Hadyan mengetahui hal itu.
"Sama-sama.l," Jawab Hadyan, duduk di sampingnya.
"Ternyata nenekmu berobat juga, ya?" Tanya Hadyan.
Tasia mengangguk. "Ya, ia rutin meminum obat untuk meringankan sakit pikunnya. Tapi kondisinya malah semakin memburuk. Nenek menanggung banyak pikiran. Ia sangat kecewa karena anak kesayangannya justru pergi lebih dahulu dari pada dirinya sendiri." Ia mengulum senyum sedih.
"Aku yakin kedua orangtuamu pasti merasa tenang di alam sana. Mereka memiliki putri yang sangat baik sepertimu. Kau bahkan sangat menyayangi nenekmu terlepas dari apa yang sering ia lakukan padamu."
"Tapi aku menderita di sini," Gumam Tasia.
Hadyan menatapnya iba. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi terlalu lama. Kau bisa memegang kata-kataku,"
"Ya, kau berhasil membuatku tertawa sekarang." Sindir Tasia sambil terbahak mendengar kalimat mustahil dan berlebihan itu.
Hadyan turut tertawa meskipun sambil menggeleng-geleng sebal karena merasa diremehkan. Ia serius dengan kata-katanya barusan, namun gadis itu tidak dapat melihatnya.
Tiba-tiba Hadyan bangkit berdiri dan melangkah menghampiri motornya untuk mengambil kotak bekal dari dalam jok.
"Apa ini?" Tasia menerima kotak makan itu.
"Kue. Ibuku yang membuatkannya." Tangannya mengambil salah satu potong kue setelah Tasia membuka penutup kotak bekal tersebut.
"Haha.. Seperti piknik yah.." Lagi-lagi gadis itu kembali teringat kenangan masa kecilnya yang sering piknik ke pantai bersama keluarganya saat liburan tiba.
"Wah.. enak sekali. Terimakasih, ya." Ujar Tasia sambil mengunyahnya kue lembut tersebut.
"Oh, ya!" Seru Tasia.
Hadyan mengangkat alisnya dengan tatapan tanya.
Sambil mengunyah, Tasia melanjutkan, "Kau bilang ibumu yang membuat ini. Ibumu itu.. benar-benar ibumu? Ia seorang manusia? Atau ia juga menyamar?"
"Dia ibu angkatku di sini. Sebenarnya mereka hanya pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Jadi, aku membuat mereka berpikir bahwa aku adalah anak mereka." Jelas Hadyan.
Tasia nampak kaget. "Lalu, bagaimana nasib mereka setelah kau pergi nanti?"