"FIGHTING!"
Venus berjalan pergi meninggalkan tribun. Ia berjalan menuju ke ruang OSIS untuk mengembalikan jas dan pin yang ia kenakan untuk bertiga tadi. Ketika tengah merapikan jas nya untuk digantungkan, Venus melihat Titan yang tengah sibuk merapikan jas dan pin yang belum sempat ia letakan tadi.
"Titan," panggil Venus.
"Iya Ven." Titan menoleh ke arah Venus karena Venus memanggil dirinya.
"Selamat ya buat kemenangan tadi." Venus menjabat tangan Titan dan memberi ucapan selamat pada laki-laki itu.
"Makasih ya Ven," balas Titan tersenyum.
"Sama-sama tan," jawab Venus.
"Ih iya tadi sorry banget ya karena gue minta lo gantiin gue dan nggak ngomong sebelumnya," ujar Titan merasa tak enak karena merepotkan Venus.
"Biasa aja kok, nggak apa-apa," jawab Venus singkat.
"Yaudah kalau gitu lo nggak pulang? Kan udah selesai," tanya Titan karena melihat Venus yang masih belum pulang sejak tadi.
"Habi ini juga pulang kok," jawab Venus meletakan jas nya ke gantungan.
"Yaudah kalau gitu duluan ya, mau pulang," pamit Venus pada Titan yang masih sibuk, entah sibuk apa.
"Hati-hati Ven," cetus Titan.
Venus berjalan keluar ruang OSIS setelah mengembalikan jas dan pin nya. Sebelum pulang, Venus mampir ke kelasnya untuk mengambil tas yang tadi ia letakan di bangkunya. Betapa terkejutnya dirinya ketika melihat Aldrich berdiri menunggu dirinya di depan pintu sembari menyilakan kedua tangannya. Venus yang melihat hal itu tak harus bagaimana. Iya saja tak tahu kenapa Aldrich ada di depan kelasnya saat ini.
"Ada apa Al?" Venus bertanya ke Aldrich yang masih tetap berdiri di depan pintu kelasnya.
"Nih kotak makan lo kan? Gue balikin." Aldrich menyodorkan kotak makan Venus pada pemiliknya yang membuat Venus cukup terkejut.
"Kok bisa tahu?" Venus menerima kotak makan itu dengan wajah yang bingung.
"Gue udah bilang sama lo, jangan suka sama gue. Gue nggak mau jadi laki-laki yang seolah-olah bersalah karena nggak bisa balas perasaan lo," ucap Aldrich pada Venus.
"Nggak mau!" Venus tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk memperjuangkan cintanya pada Aldrich.
"Kenapa lo susah banget sih di kasih tahu," ungkap Aldrich frustasi.
"Ya terserah Venus lah. Mau suka, mau cinta, lagian ini hak Venus," jawab gadis itu yang menambah Aldrich tak mengerti.
"Gue tahu lo suka sama gue, tapi nggak gini caranya. Gue nggak mau seolah-olah lo jadi korban gue," jelas Aldrich dengan nada yang frustasi namun orang yang diajak bicara malah diam tak menanggapi.
"Ya terus, gimana?" Venus tetap tak mau jika dirinya harus berhenti menyukai laki-laki itu.
Normal lah seorang gadis di usia Venus menyukai seorang laki-laki. Cinta itu tak memandang fisik, sikap, atau bahkan kasta. Venus mencintai Aldrich apa adanya bukan ada apanya.
"Lupain gue!" Suruh Aldrich tegas.
"Nggak mau dan nggak bisa," jawab Venus singkat.
"Lupain gue," tegas Aldrich sekali lagi.
"Nggak bisa! Sampai kapanpun nggak akan bisa." Tolak Venus tetap bersikukuh.
"Terserah lo kalau gitu, nanti kalau lo sakit hati gara-gara gue tanggung sendiri," ucap Aldrich lalu pergi meninggalkan Venus.
"Yang suka siapa yang marah siapa? Bingung deh," lirih Venus pada dirinya sendiri.
"Ven," panggil Zara dari dalam kelas.
"Hmm." Zara menoleh ke arah Zara yang tengah duduk di bangkunya.
"Lo suka sama Aldrich?" Zara bertanya karena ia tadi tak sengaja mendengar percakapan antara mereka berdua.
"Iya," jawab Venus polos.
"Tapi dia nggak suka sama lo, lo nggak mau berhenti aja gitu?" Zara meyakinkan Venus agar Venus tak terlalu berjuang sendiri.
"Nggak!" Venus tetap pada pendiriannya untuk tidak berhenti.
"Tapi kan dia udah ngomong terus terang kalau dia nggak bisa balas perasaan lo." Zara tetap mencoba meyakinkan Venus untuk berhenti.
"Ya dia punya hak untuk menolak, tapi kan Venus juga punya hak buat berjuang," jelas Venus yang membuat Zara semakin pusing.
"Nih anak lama-lama jadi gila ya. Pinter boleh sih Ven, cuma lo jangan terlalu bodoh gitu lo maksud gue," tegas Zara.
"Tahu lo Ven, udah tahu Aldrich nolak lo terus terang. Itu udah lebih dari segala cukup," sahut Arva berjalan menuju arah mereka.
"Lo boleh berjuang, lo boleh suka sama orang dan lo boleh cinta sama orang. Tapi lo nggak boleh bodoh karena itu semua," timpal Zara tak tega jika Venus berjuang sendiri.
"Nggak masalah kok," jawab Venus yang membuat mereka bertiga kesal dan tak tahu harus berkata apa pada Venus.
"Udahlah nggak usah suruh Venus buat berhenti, dan nggak usah suruh Venus buat nggak suka sama Aldrich. Karena, sampai kapanpun Aldrich tetap nomor satu di hati Venus," jelas gadis itu dengan percaya diri.
"Udah yuk pulang, capek." Venus menarik tangan mereka bertiga agar mereka iku Venus pulang.
"Aduh Ven sakit tahu nggak tangan gue," ujar Zara mengelus tangannya yang ditarik oleh Venus.
"Ah udah lah, Venus mau pulang dulu ya teman-teman Venus yang baik hati. Byeee." Venus melambaikan tangan pada mereka bertiga.
Zara, Arva, dan Nada bingung dibuatnya. Bunglon memanglah julukan yang tepat buat Venus. Sikap dingin, ramah, hangat, ceria, bahkan bodoh sekalipun ada dalam diri Venus. Bodoh? Iya bodoh, bodoh karena berjuang sendirian dan nggak mau disuruh berhenti.
"Udah yuk pulang aja, pusing mikirn tuh anak," ujar Nada pada Arva dan Zara.
Wajah Venus tampak ceria dari awal perjalanan sampai akhir perjalanan. Sekali lagi, julukan bunglon memang sangat cocok untuk Venus yang bisa berubah ekspresi wajah dan sikap dalam waktu yang sangat cepat bak sambaran kilat. Mars hanya menatap Venus tak paham sendari tadi. Bukannya gimana, Mars bingung saja kenaoa bisa mamanya melahirkan gadis unik seperti Venus.
"Mah Venus balik." Venus berteriak cukup keras yang membuat mamanya menutup kedua telinganya.
"Jangan teriak-teriak dong sayang," ucap Hera.
"Hehehehe maaf mah," timoal Venus cengengesan.
"Heh bunglon, kenapa senyum-senyum sendiri? Gila ya," tanya Mars yang melihat ekspresi Venus berubah seketika.
"Nggak," jawab Venus jujur.
"Kak," panggil Venus.
"Apa?" Mars menengok ke kebelakang karena Venus memanggil dirinya.
Venus duduk di kasur Mars saat ini. Venus dan Mars saat ini memang berada di kamar Mars yang penuh dengan pernak-pernik Harry Potter. Mulai dari yang terkecil dan terbesar. Mulai dari yang termurah sampai yang berjuta-juta pun ada di kamar Mars semua.
"Kakak pernah suka sama cewek nggak? Tapi ceweknya nggak suka sama kakak," tanya Venus.
"Pernah," jawab Mars.
"Kenapa kak? Kan kakak udah sempurna," tanya Venus karena apa yang dialami Mars sama dengan yang dialami Venus.
"Ya karena emang dia nggak suka sama kakak aja. Kenapa sih tanya gitu? Suka sama cowok tapi ditolak? Iya?" Tebak Mars yang seketika membuat wajah Venus berubah.
"Nggak! Kan Venus cuma tanya," jawab Venus.
"Tapi kakak bukan orang yang suka berjuang sendiri. Capek tahu nggak! Dulu pas tahu cewek itu nggak suka sama Kakak, yaudah kakak nggak kejar dia lagi," jelas Mars duduk di dekat sang adik.
"Itu namanya kakak emang orang yang mudah menyerah," sahut Venus menanggapi.
"Enak aja! Itu bukan mudah menyerah, itu namanya sadar diri," timpal Mars tak mau direndahkan oleh Venus.
"Yaudah deh, Venus ke kamar dulu. Tanya sama kakak nggak ada manfaatnya," ujar Venus keluar dari kamar Mars.
Masalah Mars dan Venus memang sama, bedanya disini Mars yang sudah tahu bahwa cewek yang ia sukai ternyata tidak suka padanya, Mars berhenti untuk berjuang dan memilih pergi. Sedangkan Venus, ia juga tahu jika Aldrich tak suka padanya. Namun, Venus malah tetap bersikukuh untuk tetap berjuang dan tak pergi seperti Venus.