Chereads / Indescriptible / Chapter 43 - forty three•Because you

Chapter 43 - forty three•Because you

"Yaudah deh, Venus ke kamar dulu. Tanya sama kakak nggak ada manfaatnya," ujar Venus keluar dari kamar Mars.

Masalah Mars dan Venus memang sama, bedanya disini Mars yang sudah tahu bahwa cewek yang ia sukai ternyata tidak suka padanya, Mars berhenti untuk berjuang dan memilih pergi. Sedangkan Venus, ia juga tahu jika Aldrich tak suka padanya. Namun, Venus malah tetap bersikukuh untuk tetap berjuang dan tak pergi seperti Venus.

Venus berjalan keluar dari kamar Mars setelah berkonsultasi padanya. Bukannya mendapatkan solusi, Venus malah mendapatkan curhatan dari sang kakak. Menuju ke kamar dan memikirkannya sendiri itu mungkin kan lebih baik bagi Venus. Sedih? Bukan dirimu Venus banget. Dia tak sedih atau kecewa sama sekali dengan Aldrich. Dengan ditolaknya rasa sukanya dengan Aldrich, itu malah menambah Venus semakin semangat untuk membuktikan kaya Aldrich adalah salah.

"Tak ada usaha yang mengecewakan. Karena dia yang udah buat Venus jatuh cinta, jadi Aldrich yang harus tanggung jawab," ujar Venus pada dirinya.

Entah terbuat dari apa hati perempuan itu. Apakah dari baja? Batu? Atau bahkan dari besi.

"Aldrich punya hak untuk menolak Venus saat ini. Tapi nanti suatu saat, Aldrich nggak akan bisa nolak Venus," pungkas Venus sangat percaya diri.

Disaat-saat seperti inilah diri Venus yang dingin akan hilang. Tak ada hawa dingin dan mengerikan dari dalam dirinya. Venus yang ceria dan penuh ambisi terlihat sangat dominan saat ini. Tak salah jika banyak orang menyebutnya perempuan bunglon atau perempuan unik atau bahkan perempuan seribu ekspresi. Karena memang kenyataannya adalah benar seperti itu adanya.

"Venus pasti bisa buat Aldrich suka sama Venus. Dan Venus akan buktikan kalau omongan Aldrich tadi salah," tutur Venus pada dirinya sendiri seperti berpidato.

"Lagian siapa suruh bilang kayak gitu. Suruh Venus berhenti suka sama dia lagi, ya nggak akan bisa lah. Yang namanya cinta itu satu untuk selamanya, bukan satu untuk sementara." Tambahnya bergumam sendiri sambil berjalan mondar-mandir.

Aldrich? Laki-laki bahkan tak memikirkan Venus sama sekali. Venus yang sibuk dengan dirinya namun dirinya sibuk memikirkan hal lain. Tak ada yang menarik bagi Aldrich dari diri Venus. Aldrich memang mengakui kalau Venus itu cantik, cerdas, memiliki sikap yang baik, bahkan Aldrich juga mengakui kalau Venus itu memang perempuan yang nyaris sempurna. Namun mau dikata apalagi, kalau memang belum cinta yang jangan dipaksa. Itulah prinsip Aldrich. Cinta bukan untuk mainan, tapi cinta adalah perasaan. Perasaan yang muncul untuk seseorang tanpa ada sebuah alasan.

"Lagi ngapain ya kira-kira Aldrich? Jadi penasaran deh," guman Venus jadi heboh sendiri.

"Kalau mikirin Venus sih nggak mungkin, mandi juga nggak mungkin, lagi tidur kali ya," gumannya lagi masih memikirkan Aldrich yang bahkan laki-laki itu saja tidak tersirat nama Venus.

"Ah masa bodoh lah, mau mikirin Venus, mau mikirin pak satpam, atau mikirin mbak Jum tukang cilok aja Venus nggak peduli. Yang penting sekarang Venus berjuang untuk Aldrich." Tambahnya.

Cinta, nama yang akan membuat siapa saja menjadi suka atau bahkan gila dibuatnya. Tak ada manusia yang tak bisa merasakan kehadirannya. Cinta memang selalu mengatakan siapa saja bisa gila, contohnya Venus. Gadis itu yang semula tak mengenal cinta bahkan tak tertarik sama sekalipun kini malah menjadi candu dengan cinta. Cinta memang tak bisa di sangkal oleh siapapun. Tapi cinta bisa ditolak oleh orang yang tak suka atau tertarik padanya.

Venus berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti baju seragamnya dan membersihkan diri karena hari ini jadwal Venus cukup bahkan bisa dibilang sangat padat. Tak lama kemudian, Venus keluar dengan baju tidurnya dan duduk di depan meja rias. Sebelum tidur, biasanya Venus menyisir rambutnya dengan alasan Agar rambutnya tetap bagus.

"Ven," panggil Mars dari balik pintu.

"Astga kak Mars! Kan Venus udah bilang berkali-kali, kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu atau panggil nama Venus," ujar Venus karena terkejut.

"Iya maaf," jawab Mars lalu masuk ke kamar Venus dengan perlahan.

"Ngapain kakak ke kamar Venus?" Venus duduk di samping Mars setelah menyisir rambutnya.

"Kakak mau tanya sama kamu," ucap Mars mulai serius.

"Tanya apa?" Venus merubah posisinya menjadi berhadapan dengan Mars dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat.

"Kamu sama kayak yang kakak alami ya?" Mars mulai bertanya dengan menatap wajah Venus cukup lekat.

"Nggak!" Venus menyangkal perkataan Mars.

"Terus tadi kenapa tanya kayak gitu?" Mars menjauhkan wajahnya karena tak puas dengan jawaban Venus.

"Beda lah Kak. Kalau kakak kan begitu tahu cewek yang kakak suka nggak suka sama kakak kan kakak langsung mundur, kalau Venus tetap berjuang sampai titik darah penghabisan," jelas Venus panjang lebar tak ada koma atau titik.

"Kamu ngomong nggak ada tanda koma nya gimana sih Ven? Sekolah apa enggak sih?" Mars bertanya karena Venus berbicara panjang lebar dengan tempo yang lumayan cepat.

"Kakak yang nggak tahu maksud Venus, bukan Venus yang ngomongnya terlalu cepat," ujar Venus.

"Yang jadi kakak kamu atau kakak sih Ven?" Mars bertanya karena merasa tak ada kharisma sebagai kakak.

"Ya kakak lah, masa Venus. Kakak yang lahir duluan baru Venus, ya otomatis Venus yang jadi adik kakak yang jadi kakak," tutur Venus.

"Iya juga ya. Sebentar, disini yang bodoh itu kakak apa kamu sih Ven?" Mars mulai merasa bodoh karena Venus.

"Menurut kakak?" Venus malah bertanya balik pada sang kakak.

"Nggak ada yang bodoh, yang bodoh boneka sapi kamu tuh." Mars menunjuk boneka sapi Venus yang ia tata sangat rapi di samping ranjangnya.

Venus memukul kaki Mars dengan cepat karena Mars mengatakan kau boneka sapinya itu bodoh." Enak aja kalau ngomong."

"Aduhhh! Sakit tahu," ucap Mars meringis kesakitan.

"Sukurin! Itu salah Kaka sendiri karena kakak bilang sapi Venus bodoh," ujar Venus mengejek.

"Ya tapi kenyataannya bener kan. Coba kamu ngomong sama sapi kamu itu pasti nggak jawab. Berarti kan bodoh, apa-apa nggak tahu," pungkas Mars.

"Ya yang bodoh kakak lah, kenaoa coba kaka nyuruh aku ngomong sama benda mati? Kenapa coba?" Venus malah melayangkan kembali ejekan Mars pada Mars.

"Kok kamu malah bela boneka kamu itu sih? Kan kakak yang kakak kamu, bukan boneka sapi mati itu," ucap Mars tak terima.

"Ya biarin aja, lagian kakak nyebelin banget sih," jawab Venus memalingkan wajahnya.

"Balik lagi ke topik! Kamu emang ditolak sama cowok yang kamu suka?" Mars tiba-tiba saja menjadi sangat serius.

"Bukan ditolak kak, tapi dia emang belum suka sama Venus. Masih belum bukan nggak!" Venus menegaskan kata terakhir.

"Ya sama aja namanya," jawab Mars.

"Bedalah kak!" Venus tetap bersikukuh bahwa itu berbeda.

"Sama Venus!"

"Beda kak Mars!"

"Sama!"

"Beda!"

"Kalian berdua ini kayak anak kecil banget sih! Mamah nggak bisa tenang nih tidurnya," ujar Hera yang terganggu dengan perdebatan nereka berdua.

"Kak Mars tuh mah." Venus menunjuk Mars dengan wajah bak seorang korban.

"Enak aja bunglon nuduh kakak," sahut Mars tak terima di tuduh.

"Udah nggak usah saling salah-salahan," sahut Hera yang tahu jika ini diteruskan nanti bakal panjang kayak ujung dunia.

"Mars! Kamu kembali ke kamar kamu! Dan kamu Venus, cepat tidur!" Hera menyuruh mereka kembali ke kamar mereka masing-masing.

Mars pun dengan terpaksa akhirnya keluar kamar Venus tanpa memperoleh informasi dari sang adik tersebut.