Chereads / Indescriptible / Chapter 47 - forty seven•Double B

Chapter 47 - forty seven•Double B

"Ngirim pesan nggak ya?" Venus bingung harus bagaimana.

"Yes or no," ucap Venus bingung.

Akhirnya setelah memutuskan cukup lama, Venus memilih untuk menghubungi Al karena jika tidak akan usahanya meminta nomor Aldrich pada Titan akan sangat sia-sia.

"Terus mau ngomong apa tapi?" Venus masih berfikir panjang.

"Ah udahlah dipikir nanti aja bisa. Yang penting sekarang telfon Al dulu," ujar Venus lalu mulai memencet nama Aldrich.

"Hallo, siapa ya?"

"Aldrich?"

"Iya Aldrich, siapa sih ini?"

"Venus."

"Dapat nomor gue dari mana?"

"Minta Titan."

"Minta Titan?"

"Hmm."

"Terus lo telfon gue ada kepentingan apa?"

"Nggak ada kepentingan apa-apa sih, cuma hati Venus aja yang nyuruh Venus telfon Al."

"Lo kenapa sih dikasih tahu batu banget! Gue udah bilang berapa kalau sih kalau gue nggak suka sama lo! "

"Bukan nggak suka, tapi masih belum suka."

"Sama aja."

"Bedalah! Kalau nggak suka berarti selamanya nggak bakalan suka, tapi kalau belum suka berarti masih proses menyukai."

"Ah udahlah lo jabarin aja sendiri, dan lo nggak usah ganggu gue lagi. Bisa kan?"

"Nggak bakalan bisa!"

"Lupain gue!"

"Udah coba tapi makin inget!"

"Yaudah lo amnesia aja, biar nggak kepikiran gue terus."

"Sekalipun amnesia tetap nggak bisa Al."

"Urusan lo! Mau amnesia mau sekalipin lo servis otak lo, pokonya lo lupain gue. Titik nggak usah pakai koma."

"Lupain Al! Lupain Al! Lupain Al! Nggak bisa juga ishhhh."

"Udah gitu aja lo sampai besok, pasti lupa sama nama gue."

"Udah gue mau istirahat, lo nggak usah ganggu gue lagi."

Tutttttt.....

"Kok jantung kayak mau terjun ya, rasanya gimana gitu," ucap Venus kegirangan.

"Eh tapi sebentar, bukannya kalau nyebut nama dia terus malah jadi kepikiran ya," ujar Venus padanya.

"Bodo amat lah, tambah inget tambah bagus," jawabnya.

***********

"Ngapain sih Titan pakai acara ngasih nomor gue ke Venus, kan jadinya gini," ujar Aldrich marah-marah tak jelas.

"Mana dia tetap nggak mau lupain nama gue lagi, udah disuruh amnesia tetap aja nggak mau. Emang dasar batu tuh anak," ucap Aldrich mendumel tak karuan.

Aldrich saat ini tengah mondar-mandir seperti sebuah setrika. Ia bingung kenapa Venus bisa mendapatkan nomornya dengan mudah.

"Hallo! Apa Al?"

"Lo kenapa ngasih nomor gue ke Venus?"

"Ya dia minta gue kasih lah."

"Alasan lo ngasih nomor gue ke dia apa?"

"Ya kan dia minta Al, masa iya gue nggak kasih sih."

"Emang kenapa sih Al?"

"Dia tadi telfon gue tiba-tiba, terus dia tetap kukuh nggak mau lupain gue."

"Ya biarin ajalah Al, orang dia suka sama lo kok. Nggak ada hak yang ngomong untuk nggak boleh suka sama lo juga kan? Yaudah."

"Ya tapi bukan gitu Al, ah lo mah nggak asik. Awas aja lo besok."

"Suka-suka lo, gue mau tidur."

Tutttttt.....

"Awas aja lo besok Tan," ucap Aldrich mengancam.

"Ahhh, kenapa sih harus ketemu sama si batu. Padahal gue udah bilang beribu-ribu kali, tapi tetep aja batu," tutur Aldrich dengan nada tinggi.

"Bodo amat lah! Nggak ada guna mikirin si batu." Dumel Aldrich lalu berbaring di atas ranjang.

Hingga larut malam, Aldrich masih belum menutup matanya juga. Entah apa yang membuatnya begadang hingga hampir tengah malam seperti ini. Apakah karena Venus? Atau mungkin memang dia masih belum ngantuk?

"Hallo!"

"Ngapain telfon?"

"Nggak biasanya lo masih bangun jam segini. Mikirin Venus pasti kan lo?"

"Ngapain juga mikirn si batu, nggak ada untungnya. Bukan untung malah buat gue gila."

"Kenapa sih nggak lo terima aja? Dia itu udah udah paket komplit."

"Masih komplit kan? Bukan VVIP kan?"

"Dia itu ibarat bidadari tapi ratunya."

"Masih ibarat kan? Bukan kenyataan juga kan?"

"Lo kenapa sih susah amat tinggal bilang iya! Lagian juga kalau lo pacaran sama Venus kan nggak ada ruginya."

"Lo telfon gue cuma mau puji-puji si batu? Iya? Mending lo tidur aja deh daripada ngomongin si batu."

"Siapa juga yang mau puji-puji Venus sih! Lagian kan itu emang kenyataan. Kenyataan Aldrich bukan kebohongan."

"Terus kalau kenyataan mau diapain? Apakah gue harus guling-guling di jalan raya gitu? Atau gue harus lompat-lompat kayak monyet? Hah?"

"Terserah lo deh Al, capek gue ngasih saran ke lo. Udah tau ada cewek di depan mata tulus suka sama lo, eh malah nggak mau. Udah enak tinggal bilang iya, nggak berjuang lagi. Udah enak lo, gitu lo masih nggak mau. Hih, laki-laki nggak punya hati nurani."

"Kok lo jadi kayak emak-emak sih Tan? Dan kenapa lo pengen banget gue sama si batu?"

"Udah gue ngantuk! Mau tidur, byeee Aldrich."

Tutttttt....

Disisi lain, Venus sudah tertidur lelap terlebih dahulu setelah tadi ia sempat telfon dengan Aldrich. Perempuan yang berjuang sendiri tanpa patang menyerah dan tak mau berhenti akhirnya berdamai dengan sang mimpi saat ini. Bukan berarti dia akan selamanya berjuang dengan cintanya sendiri tanpa orang lain. Dia hanya menuju proses untuk sama-sama berjuang dengan sang pujaan hati.

Venus terbangun seperti biasanya. Pagi ini sepertinya dia lebih ceria daripada pagi-pagi sebelumnya. Wajahnya menjadi berseri walaupun tanpa riasan sedikitpun. Tak ada yang berubah dari wajah gadis itu. Tetap cantik dan selamanya akan cantik.

Venus segera beranjak dan pergi ke kamar mandi. Tak berselang lama, akhirnya dirinya keluar dari kamar mandi dengan seragam lengkap. Tak lupa ia juga memakai jas SMA nya. Venus duduk di depan meja rias sambil mengoleskan bedak tipis ke wajahnya dan tak lupa ia juga menggunakan lipstik pink tipis.

"Siap!" Venus berdiri dari tempat duduk meja riasnya. Ia berjalan mengambil tas yang ada di kursi meja belajarnya. Setelah segala sesuatu sudah siap, Venus turun ke ruang bawah untuk sarapan bersama sang kakak dan Mamanya.

"Pagi mah! Pagi kak!" Venus duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mars.

"Pagi sayang," balas Hera sang Mama.

"Kamu mau bawa bekal lagi Ven?" Mars bertanya pada Venus karena beberapa hari ini Venus membawa bekal.

"Bawa," jawab Venus penuh semangat.

"Kamu mau bawa bekal apa sayang?" Hera menatap mata sang anak sembari bertanya.

"Mau bawa roti aja mah kayak biasanya," jawab Venus.

"Yaudah nanti Mama siapin, kamu sarapan dulu aja," ujar Hera lalu duduk berasa mereka berdua.

"Biar Venus aja mah yang siapin bekal sendiri," tutur Venus menolak Hera.

"Yaudah," jawab Hera.

Sarapan telah dimulai, meja makan dipenuhi dengan berbagai macam makanan. Mulai nasi goreng, mie goreng, roti, selai coklat, air putih, dan susu coklat kesukaan Venus. Susu coklat itu salah satu menu yang tak pernah ketinggalan di meja makan.

"Kak ayo berangkat! Venus udah selesai makan," ujar Venus yang sudah selesai makan.

"Kamu nggak bawa bekal?" Mars melihat Venus yang sudah siap namun lupa menyiapkan bekal.

"Oh iya lupa, hehehehe," jawab Venus tak lupa dengan cengiran kuda.

Venus mengambil beberapa lembar roti dan tak lupa ia olesi dengan selai coklat sama seperti sebelumnya dirinya membawa bekal. Menyiapkan bekal mungkin akan menjadi rutinitas pagi Venus sebelum berangkat sekolah. Entah mengapa hak ini saja bisa membuat Venus merasa bahagia, sangat bahagia bahkan.

"Udah selesai?" Mars beralih menatap Venus yang memasukan kotak makan ke dalam tas.

"Udah," jawab Venus.

"Mah Venus berangkat dulu," ujar Venus berpamitan dengan sang Mama.

"Mah Mars mau nganter Venus dulu ya," ucap Mars juga berpamitan.

"Hati-hati ya sayang! Kamu jangan ngebut Mars!" Pesan Hera pada sang anak laki-lakinya.

"Siap ma!" Tangan Mars membentuk hormat seperti ketika upacara bendera.

"Udah sana pergi! Nanti adik kamu keburu kesiangan," ucap Hera pada Mars.

"Mars pergi dulu mah," ujar Mars lalu berjalan menuju depan untuk menghampiri Venus yang sudah terlebih dahulu berada di luar sebelum dirinya.

"Ayo masuk," ucap Mars pada Venus.

"Ok," jawab Venus lalu masuk ke dalam mobil yang dikendarai sang kakak.

Mobil itu perlahan berjalan menjauh dari karangan rumah mereka. Sudah tak terlihat lagi mobil hitam yang ditumpangi Mars dan Venus. Mobil itu kini ternyata sudah berada di jalan raya yang tak cukup ramai seperti biasanya. Suasana pagi tetap sama. Embun serta rasa dingin dari angin tetap ada setiap hari ketika mereka berdua menuju ke sekolah Venus.

"Kak Venus masuk dulu ya," ucar Venus ketika sudah berada dj tempat biasanya Mars berhenti.

"Hati-hati Ven," ujar Mars berpesan.

Venus berjalan menyeberangi jalan menuju ke area sekolah. Tak lupa seperti biasanya, ketika Venus melewati satpam sekolahnya, dia menyapa pak satpam itu dengan penuh sopan santun. Dia memang selalu diajarkan untuk sopan santun terhadap siapa saja tanpa mengenal derajat dan dari mana mereka berasal.

"Pagi pak!" Sapa Venus pada pak satpam.

"Pagi Venus!" Pak satpam itu menundukkan kepalanya ketika Venus menyapanya.

"Venus masuk dulu ya pak," unar Venus pada pak satpam itu yang sudah seperti keluarga.

"Siap Ven!" Pak satpam itu sangat senang ketika Venus menyapa dirinya.

Seperti hari-hari biasanya, Venus akan menghampiri kelas Aldrich dulu untuk memberikan kotak makan yang sudah ia isi dengan beberapa lembar roti dengan selai coklat diatasnya. Venus sangat bersemangat untuk meletakan kotak makan itu di loker Aldrich. Dirinya memang datang lebih awal daripada laki-laki itu. Namun tak lebih awal dari Zara dan Arva.

"Ok selesai," ucap Venus ketika sudah meletakan kotak makan itu di loker Aldrich.

Setelah itu, Venus langsung keluar kelas dan berjalan menuju ke arah kelasnya berada. Venus berjalan dengan langkah kaki kecil diiringi dengan senyuman manis nan hangat ketika menyapa semua murid. Tak ada wajah-wajah sombong dan arogan dari gadis itu. Walaupun memang sebenarnya dia adalah sosok yang dingin, namun tak ada sifat sombong dan arogan sedikitpun dari gadis itu.

"Ibu Ratu datang guys," ucap Zara pada Arva.

"Dari mana lo Ven? Tadi gue lihat kayaknya lo habis dari arah kelasnya Al," ujar Zara ketika melihat kedatangan Venus.

"Dari kelasnya Al," jawab venus jujur.

"Ngapain?" Zara mengikuti Venus dari belakang.

"Biasa," jawab Venus.

"Ven gue boleh tanya satu hal nggak sama lo?" Zara duduk di samping Venus lali beralih menatap Venus.

"Hmm," jawab Venus.

"Lo kenapa sih berjuang sampai kayak gitu? Secara kan dia udah bilang kalau dia nggak suka sama lo kan. Emang bagi lo dia itu bagaikan apa gitu?" Zara mulai melayangkan beberapa pertanyaan pada Venus.

"Dia itu sesuatu yang sangat luar biasa dan nggak bisa diuraikan dengan kata-kata," jawab Venus begitu singkat dan jelas.

"Besi yang kerasnya kayak gitu aja bisa leleh karena api. Masa manusia yang nggak sekuat baja nggak bisa luluh sama manusia lain," ujar Venus yang membuat Zara semakin pusing.

"VENUSYA GEOVA KYLE! Disini masalah terbesarnya yang sangat besar, dia itu nggak mau lo lelehin dengan api yang habis itu bisa luluh sama lo," tutur Zara mulai bersabar menghadapi Venus.

"Bukan nggak mau Zara, tapi masih belum mau. Semua itu butuh proses, nggak langsung. Baja aja butuh proses untuk bisa leleh karena api, manusia pun juga sama," jawab Venus menatap Zara.

"Venus itu bagikan batu dan Aldrich itu bagikan baja. Venus itu batu yang keras kepala untuk bisa dapetin Aldrich. Sedangkan Aldrich itu bagaikan baja yang susah luluh dengan api sekalipun. Double B jika disatukan bisa double Z," sahut Nada berjalan mendekati ke arah Zara dan Venus.

"Kadang gue itu bingung sama lo Ven. Kadang ko diem aja, kadang lo dingin banget sampai minus nol derajat, kadang lo bisa ceria dan semanvat banget, bahkan terkadang lo bisa sangat ambisius banget kayak sekarang." Tambah Arva menjelaskan sangat detail.

"Dari mana lo tahu kalau double B bisa jadi double Z?" Zara mulai bertanya-tanya.

"Gue sendiri," jawab Arva tersenyum.

"Tapi disisi lain menurut gue, Venus itu unik dengan punya beribu-ribu tingkah laku yang bisa berubah dalam waktu yang cepat," ujar Zara memuji Venus.

"Udah nggak usah terlalu banyak memuji, nggak baik," ujar Venus yang bermaksud tak enak pada mereka.

"Eh si tangga lagu datang," ujar Zara ketika mihat Nada datang.

"Baru sampai aja udah di bully, apalagi nanti kalau tambah siang," sindir Nada berjalan menuju ke tempat duduk di samping Arva.

Tempat duduk mereka memang bersebelahan. Venus dan Zara duduk berdua, sedangkan Arva dan Nada duduk bersebelahan berdua.

"Ngomongin apaan lo semua?" Arva mulai beralih menatap ketiga sahabatnya.

"Udah selesai yuk, ada anak kecil. Kan anak kecil nggak boleh ikut-ikutan," ucap Zara membuyarkan semuanya.

"Zar kok hidup lo dipenuhi dengan kejahatan sama gue sih? Dosa lo gue rasa udah banyak deh sama gue," ucap Nada yang sangat sabar.

"Kan cuma perasaan lo. Tuhan itu kan Maha pemaaf," jawab Zara sederhana.

"Untung gue punya beribu-ribu kesabaran, jadi lo masih aman. Coba kalau udah pembunuhan berantai, pasti lo udah di surga sekarang," ucap Nada mulai berada di titik puncak kemarahan.

"Tapi sayangnya lo itu bukan pembunuh berantai, jadi jangan sok jadi pembunuh yang kayak di TV," ujar Zara yang tambah membuat Nada semakin geram.