Chereads / Indescriptible / Chapter 39 - thirty nine•Answer

Chapter 39 - thirty nine•Answer

"Gue balik dulu," pamit Aldrich setelah mengembalikan buku Venus.

Venus tersenyum gembira ketika Aldrich mengembalikan buku diary nya. Namun, sedetik kemudian senyum Venus perlahan memudar. Kertas putih yang terselip di antar halaman-halaman membuat senyum Venus yang awalnya sangat bahagia menjadi memudar perlahan. Kata yang dituliskan oleh orang itu membuat Venus mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedikit datar.

"Ven lo kenapa?" tanya Zara yang melihatVenus menundukkan kepalanya dan tak ada keceriaan sama sekali.

"Lo sakit Ven? Apa gara-gara tadi lo pas tanding jatuh?" Tambah Arva yang juga ikut khawatir dengan kondisi Venus.

"Nggak ada apa-apa kok, cuma capek aja," jawab Venus berbohong karena tak mau sahabatnya menjadi khawatir dan memikirkan dirinya saat ini.

"Lo beneran nggak sakit? Lo kalau sakit ngomong aja, nanti kita anter lo ke dokter deh," ucap Nada mengelus pundak Venus.

"Nggak usah, Venus beneran nggak apa-apa kok, kalian pulang aja dulu." Venus malah menyuruh mereka pulang terlebih dahulu.

"Terus maksud lo kita ninggalin lo gitu? Nggak mau lah, masa iya kita ninggalin lo di kondisi lo yang kayak gini." Tolak Zara tak mau karena melihat kondisi Venus yang tak memungkinkan.

"Ven selamat ya buat kemenangan lo, gue sebagai partner lo bener-bener bangga banget punya temen kayak lo." Titan memberi selamat pada Venus.

"Makasih ya Tan," balas Venus berusaha menunjukkan senyumannya.

"Oh iya Ven, tadi kayak ada orang yang mau jemput lo deh. Tadi gue pas ke depan lihat ada mobil mirip banget mobil lo." Titan memberitahu Venus bahwa dirinya sudah dijemput.

"Makasih infonya Tan."

"Sama-sama. Gue ke ruang OSIS dulu ya," pamit Titan.

"Oh iya Tan, sampaiin ke anak-anak kalau sekarang Venus nggak bisa dateng ke ruang OSIS," ujar Venus menghentikan langkah Titan.

"Siap bos!" ucap Titan semangat 45.

"Nad, Zar, Va, balik duluan ya. Kak Mars udah jemput soalnya," pamit Venus dengan mengambil tas ransel di bangkunya.

"Hati-hati Ven, nanti kalau lo butuh kita lo hubungi kita aja." Saran Zara pada Venus.

"Makasih."

Venus berjalan seakan-akan tak mempunyai daya untuk berjalan lagi. Kakinya lemas apalagi hatinya. Entah apa yang ditulis Aldrich tadi atau mungkin seseorang lain di kertas yang terselip di antara halaman buku diary Venus. Gadis itu berjalan. Ke arah luar gerbang untuk menghampiri sang kakak yang kata Titan tadi sudah menjemput dirinya.

"Kenapa murung? Kalah?" tanya Mars yang melihat wajah Venus tak seperti biasanya.

"Nggak! Ini buktinya," jawab Venus menyangkal kata-kata dari Mars.

"Terus kenapa wajahnya gitu? Nggak suka menang? Atau tadi pas tanding luka?" tanya Mars panik.

"Nggak ada Kak. Venus nggak luka dan Venus baik-baik aja," bcap Venus .

"Yaudah," balas Mars.

Mars mulai mengendari mobil yang ia bawa untuk menjemput sang adik kesayangannya. Mars sejak tadi melihat wajah Venus yang tak seperti biasanya. Venus yang ceria walaupun dingin, sekarang hanya diam tak ada niat untuk bicara. Mars yang melihat hal itu tak harus berbuat apa sekarang. Mars menatap Venus bingung, kenapa adik perempuannya sejak tadi sampai sekarang tak mengeluarkan satu katapun bahkan satu huruf pun.

"Udah sampai turun!" Suruh Mars membuyarkan lamunan Venus yang menatap arah liar jendela.

"Makasih," ujar Venus lesu tak bersemangat.

Venus berjalan masuk ke rumahnya dengan langkah yang malas.

"Sore mah," sapa Venus berlalu pergi begitu saja ke kamarnya.

"Mars adik kamu kenapa? Kamu jahilin ya tadi?" Tuduh sang mama pada Mars yang padahal Mars sama sekali tak tahu Venus kenapa.

"Mamah ih suka ada pikiran jelek tentang Mars. Orang Mars aja nggak tahu kenapa tuh bunglon gitu," ujar Mars yang membuat sang mama ikut bingung.

"Terus kenapa Venus kok gitu?" tanya sang mama masih belum mengerti.

"Mana Mars tahu. Dia kan bunglon, suka berubah wajah tiba-tiba," ucap Mars berbisik pada sang mama.

Hera bingung dibuatnya. Kedua anaknya ini saling mendukung satu sama lain juga saling jahil satu sama lain. Tapi yang aneh disini, Mars tak menjahili Venus ada menggoda Venus. Tapi kenapa sang anak Venus wajahnya murung bagaikan siang tanpa matahari, gelap.

"Kenapa harus gini sih si nasib," ucap Venus membuka kembali kertas yang terselip di antara halaman buku diary nya.

"Apa kurangnya Venus sih Dimata

Aldrich. Pinter udah, cantik apalagi, kan udah paket komplit." Puji Venus pada dirinya di depan meja riasnya.

Kalau dipikir-pikir, Venus memang sudah paket sangat lengkap. Pinter iya, cantik udah kayak bidadari, kaya nggak usah dibilang lagi, terus baik lagi. Tapi kenapa Aldrich malah tak tertarik sama sekali dengan seorang Venusya Geova Kyle yang terkenal dengan julukan perempuan paling komplit di SMA.

Sorry, gue nggak bisa balas perasaan lo. Selama ini gue nggak ada rasa buat lo sama sekali. Jangan salah artikan rasa peduli gue sebagai rasa suka sama lo.

-Aldrich-

Venus membaca ulang surat yang ditulis Aldrich dan di selipkan di antara halaman buku. Tapi entah kenapa tak ada rasa menyesal atau sakit hati dalam lubuk hati Venus yang paling dalam. Dengan adanya surat yang ditulis Aldrich kepada dirinya, Venus menjadi lebih tertantang untuk lebih berjuang mendapatkan hati Aldrich sepenuhnya. Bukan sosok Venus banget memang, tapi semua bisa berbahan hanya dengan cinta. Cinta itu yang merubah Venus menjadi sosok Venus yang saat ini.

"Kenapa tadi murung?" tanya Mars yang tiba-tiba dari balik pintu.

"Harus Venus kasih tahu berapa kali sih kak. Kalau mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu, kan Venus nggak kaget jadinya," ucap Venus yang terkejut dengan kehadiran Mars di kamarnya.

"Kenapa tadi?" Ulang Mars.

"Kepo," jawab Venus.

"Hih dasar bunglon, pasti gara-gara cowok nih. Cewek tuh paling lemah kalau sama cowok," sindir Mars.

"Udah kalau ngomong," ujar Venus mendekatkan wajahnya dengan wajah Mars yang membuat laki-laki terkejut.

"Hih bisa nggak sih mukanya nggak usah deket-deket kayak gitu." Mars mendorong wajah Venus karena takut jika menatap terlalu lama dirinya malah terhipnotis.

"Kenapa? Takut?" Tebak Venus yang memang benar.

"Nggak!"

"Iya!"

"Nggak!"

"Udah sana pergi! Nggak usah ganggu Venus lagi, Venus mau tidur capek." Usir Venus mendorong tubuh kakaknya dengan keras.

"Dasar bunglon!" Ejek Mars dengan keras dari balik pintu.

Mars mau tidak mau harus kembali ke kamarnya karena diurus oleh sang adik.

"Kenapa? Why? Kenapa Aldrich harus nulis surat kayak gitu?" Venus frustasi karena surat yang dibuat Aldrich.

"Venus bukan anak yang mudah menyerah, jangan menyerah hanya karena sebuah surat. Sebuah surat tidak bisa menghalangi sebuah perjuangan. Semangat Venus!" Ucap Venus menyemangati dirinya sendiri di dalam kamar lalu tertidur lelap dengan posisi kedua kaki dibawah bada di atas kasur dan kedua tangan yang menggantung.

Memang bukanlah hal mudah mendapatkan hati Aldrich. Seorang Venus saja yang awalnya terkenal sosok yang dingin dan tak mengerti bahkan tak terlalu mementingkan cinta, tiba-tiba saja sangat gila akan cinta. Aldrich, sebuah nama yang memang mampu membuat Venus menjadi candu dan berniat memilikinya.