Keesokan pagi harinya, Bagas masih tertidur sebenarnya tadi sudah bangun. Entahlah kenapa mungkin karena sudah terbiasa bangun pagi selama ini, karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya seperti itu. Tapi dia kemudian menyadari sekarang dia sudah bebas dari rutinitas yang seperti itu.
Apalagi tubuhnya cape dan remuk karena semalaman di balik kemudi tanpa berhenti sampai dia di rest area. walau membaringkan tubuh kembali tapi dia tidak tidur lagi. Pikirannya melayang mengenai peristiwa yang tak terduga yang terjadi beberapa hari ini.
Harus diakui perasaannya pada Amira tumbuh begitu saja, dari rasa benci karena sifatnya itu, kemudian merasa kasihan, meningkat menjadi rasa salut atas dedikasi Amira menjadi seorang pemimpin perusahaan besar, dan mulai mengagumi apa yang ada dalam diri bosnya itu. Pada akhirnya tumbuh rasa sayang dan ingin melindungi ketika tahu dibalik semua itu hati Amira sangat rapuh.
Tiba-tiba tercium bau masakan dari luar, Bagas menggeliat dan berusaha bangun padahal udara cukup dingin melirik jam tangannya yang ia simpan diatas meja ternyata pukul 6.30 pagi. Dia duduk di tepi tempat tidur mengusap wajahnya. dan bangun sedikit menggerakan tubuhnya yang kaku.
Amira pun terbangun pagi itu, dalam selimut yang hangat, untuk sesaat dia tidak mengenali dia berada dimana ketika sadar hanya menghela nafas, Amira bangun mengusap mukanya dan melirik jam yang menempel di dinding ternyata puku 6 pagi. Udara cukup dingin dia menggunakan piyama yang biasa dia gunakan ketika mau tidur. Kemudian dia mengambil tas kecil untuk cuci muka saja. kalau mandi masih dingin. ketika keluar kamar Amira melihat bu Dewi sudah sibuk di dapur.
"Pagi bu !" sapanya, bu Dewi agak terkejut.
"Sudah bangun, kamu Amira ?" tanyanya agak heran.
"Iya bu !" Amira tersenyum.
"Bagaimana tidurmu nyenyak ?"
"Iya bu, walau agak dingin !" bu Dewi tersenyum.
"Namanya juga di gunung ! ya sudah sana kalau mau ke kamar mandi ! airnya sudah penuh !" perintah bu Dewi.
"aku hanya cuci muka saja kok bu, soalnya masih dingin !" jawab Amira.
"Ya ayo sana !" Amira pun masuk ke kamar mandi yang ada di belakang dekat dapur, ada dua kamar mandi di situ. Setelah selesai cuci muka dia keluar, bu Dewi masih sedang sibuk di dapur.
"Bu ada yang bisa saya bantu ?" Amira berdiri di pintu dapur, ibu Dewi menoleh dan tersenyum.
"Boleh kalau kamu tidak keberatan !"
"Masak apa bu ?"
"masakan biasa, tadinya mau bikin nasi goreng tapi itu udah biasa kali buat kalian berdua ! jadi ibu putuskan bikin sayur lodeh sama goreng tempe, kamu suka kan ?" Amira mengangguk dan mereka pun asyik di dapur sambil mengobrol, bu Dewi suka sekali pada Amira sejak mengenalnya dari kecil dia sudah berbeda dari anak seusianya yang kadang manja dan keinginannya harus di penuhi.
Amira sudah harus mandiri sejak kecil karena keadaan dan situasi di rumah keluarganya, yang terlalu sibuk sehingga kesepian ! bu Dewi menghela nafas ada perasaan sedih dalam dirinya.
"ibu kenapa menangis ?" Amira tertegun melihat bu Dewi mengusap air matanya.
"ibu tidak apa-apa, hanya ... maafkan ibu ya, aku merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Amira !" jawab bu Dewi sambil menyentuh wajah Amira.
"Maksud ibu ?" Amira tidak mengerti.
"mmm ... mengenai papa mu ..." bu Dewi terdiam, Amira terdiam.
"Ibu tahu siapa perempuan itu ?" tanyanya, bu Dewi terdiam.
"Ahhh ... tempenya !" teriaknya. Amira terkejut dan kemudian mematikan kompor.
"Untung tidak gosong !" ujar Amira.
"Amira nanti kita bicarakan lagi ya !" bu Dewi menyentuh pundak Amira dan sibuk kembali dengan masakan lain. sementara Amira mengangguk dan menatapnya.
Sementara Bagas, dari tadi memperhatikan, sebenarnya ingin mengucapkan selamat pagi tapi tidak jadi mendengar sesuatu hal tadi.
"Pagi ...hmm harum sekali baunya ... jadi laper !" sapanya kemudian masuk ke dapur tangannya hendak mengambil tempe goreng, tapi sebuah tangan menepuk tanganya, Bagas melirik ternyata itu tangan Amira.
"Tidak boleh, jorok kamu ... sana cuci muka atau mandi dulu !" sambil melotot.
"Iya 'bos' maaf ...he ..he ! habis menggoda sekali !" jawab Bagas sambil menggaruk kepala tapi tidak gatal. dan kemudian pergi ke kamar mandi sambil tersenyum. begitu juga bu Dewi yang melihat hal itu hanya menggeleng kepalanya.
"Uh dasar !" ujar Amira kemudian tersenyum juga.
Pagi yang indah dengan kehangatan sinar matahari dan keakraban penghuni rumahnya
----------
Pagi yang sama juga di alami kota Metropolitan Jakarta yang sibuk di pagi hari karena berbagai aktifitas yang dilakukan warganya, macet barang tentu sudah biasa untuk mengais rejeki di manapun berada, dijalanan, pasar atau digedung tinggi sekalipun.
Di Rumah besar mewah milik keluarga Ardhi Wijaya terasa sepi, rumah berlantai dua dengan kamar 6 buah di tambah halaman luas serta kolam renang begitu sunyi. Yang beraktifitas hanya 6 pembatu rumah tangga mulai membersihkan rumah, kebun dan memasak walau kini hanya tinggal berdua saja pemilik rumahnya tersebut tapi tetap dilakukan, entah itu nanti di makan atau tidak.
Marina dan Ardhi Wijaya sudah lebih 5 tahun ini sudah pisah kamar walau bersebelahan di lantai atas tapi hubungan mereka tetap baik seperti biasa, apa penyebab hal itu hanya mereka yang tahu.
Marina keluar terlebih dahulu dia sudah berdandan lengkap seperti biasa dia akan melakukan aktifitasnya sendiri, dia pun mempunyai bisnis sendiri. Dimulai dari merasa bosan, walau aktifitasnya padat tapi tidak perlu menguras tenaga hanya mengobrol dengan ibu-ibu arisan, pergi ke sana kemari. belanja ini itu. Akhirnya ia memutuskan berbisnis. Bisnis pertamanya tentu saja salon yang tidak jauh yang wanita di butuhkan itu.Termasuk dirinya yang juga sering ke salon.
Sebenarnya sudah cukup banyak rekan-rekannya sesama ibu arisan yang juga membuka bisnis yang sama, selain ikut-ikutan, ada juga untung-untungan mau maju syukur engga ya sudah. padahal modal yang di keluarkah tidaklah sedikit tapi mereka tidak perduli toh suami mereka punya banyak uang.
Marina tidak seperti yang lain dia termasuk serius dari perencanaan interior, gedung dsb di lakukan sendiri, apalagi dulu ia sempat mencicipi dunia model dan fashion. Jadi tahu apa yang harus dilakukan. Segmen untuk salonnya menengah ke atas tapi harganya cukup terjangkau. Dan bisnisnya itu termasuk sukses. Berlanjut ke bisnis lainnya dan tak terasa 20 tahun dan itu mengharuskan dirinya mengorbankan semuanya termasuk kedekatan dirinya dengan putra putrinya sendiri, dia merasa mereka sudah cukup besar untuk ditinggal. tapi semua harus di bayar mahal ketika Yudha putra pertamanya meninggal.
Marina merasa tidak bisa berbuat apa-apa, untuk menyelamatkanya dan itu masih terasa di dalam hatinya, dia tidak mau untuk kedua kalinya menimpa purri keduanya Amira. Marina menuju ke dapur ikut menyiapkan sarapan untuk suaminya. Marina sebenarnya bisa memasak cuman karena kesibukannya tak pernah lagi melakukan.
Ardhi Wijaya juga sudah bangun, walau dia tidak lagi menjadi pimpinan perusahaan tapi dia duduk sebagai komisaris perusahaannya, untuk mengawasi kinerja pimpinan perusahaan dan jajarannya, Kali ini pasti lebih berat atas apa yang terjadi kemarin malam. Apalagi bila hal yang lalu sesuai rencana akan memberi keuntungan bagi perusahaan Palm co dan merambah luas cakupan bisnisnya dengan bekerja sama dengan Suhendro temannya sesama pemain golf. Ardhi Wijaya memang mempunyai hobi bermain golf. dengan itu dia bisa melakukan deal-deal bisnis dengan kliennya.
Bersambung ...