Chereads / Setelah Malam Itu / Chapter 22 - 22. Tak Akan Mundur

Chapter 22 - 22. Tak Akan Mundur

Kalau saja ajakan makan malam itu bukan berasal dari Rafka mungkin Karen tidak akan mau datang ke sana. Makan malam dengan laki laki yang sebenarnya dia tidak terlalu akrab.

Namun sayangnya, Karen tak dapat menolak ketika yang mengajaknya adalah Rafka. Tak mau menolak kebaikan dari lelaki yang sudah sering menolongnya selama dia mendapatkan kesusahan di kantor.

Karen datang jam tujuh malam. Di dalam restoran, sudah penuh dengan anak anak dari gudang.

Rafka sudah ada di sana, terlihat sedang berbincang dengan yang lainnya. Mendadak Karen jadi ragu. Dia memegang perutnya sendiri. Cemas jika nanti dia membuat kesalahan di depan yang lain.

Namun ketika Karen membalikkan tubuhnya, Rafka sudah lebih dulu memergoki Karen yang hendak pergi.

Lelaki itu bangkit dari duduknya kemudian pergi mengejar Karen.

"Karen!" seru Rafka. Lelaki itu susah payah berlari mengejar Karen.

Karen menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badannya. Rafka sudah penuh dengan peluh dan napas satu dua.

"Kenapa pergi? Kau sudah sampai di sini," kata Rafka.

Karen menatap restoran itu dari kejauhan. "Sepertinya aku—"

"Tak apa apa, mereka sudah menunggumu," kata Rafka meyakinkan Karen. Tangannya spontan menarik lengan Karen.

Menyadari ada suasana canggung di antara mereka berdua. Rafka melepaskan tangan Karen kemudian meminta maaf padanya.

"Maaf, aku hanya mau kau tidak pergi saja," kata Rafka.

"Tidak apa apa," sahut Karen pelan.

Akhirnya dia pun masuk dengan Rafka ke restoran tersebut. Hanya sepuluh orang di sana, mereka tampak sedang minum, karena makanan utama belum datang.

"Aku sudah pesankan makanan untukmu," kata Rafka.

"Aliya tidak ikut?" tanya salah satu dari mereka.

"Tidak, dia kan bukan dari gudang," jawab Rafka.

"Tapi bulan kemarin dia ikut," kekeh yang lainnya sambil menimpali ucapan Rafka.

"Dulu kalian yang mengajaknya kan? Kali ini dia tidak ikut."

"Tapi bagaimana ya? Aku tadi sudah mengirimkan alamat pada Aliya." Lelaki yang bernama Albar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ekspresi Rafka dan Karen seketika membeku.

"Tidak boleh ya?" tanya Albar.

"Bukan tidak boleh, tapi—"

"Malam semuanya! Maaf ya kalau aku telat!" suara itu membuat orang orang yang ada di sana langsung menoleh. Bayangan Aliya berjalan ke arah meja mereka.

Matanya menatap sinis pada Karen yang duduk di sebelah Rafka.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Untung aku bertanya pada Albar tadi." Aliya langsung memeluk pinggang Rafka dan mencium bibir lelaki itu.

"Jangan begini, Al." Rafka mengelak.

"Tidak apa apa, kan? Ada dua wanita malah lebih baik," Albar mencoba untuk mencairkan suasana.

Namun sayangnya perasaan Karen sudah memburuk sejak Aliya ada di sana. Karena sejak tadi dia selalu menatap Karen seakan ingin menembak Karen dengan laser dari matanya.

"Aku tidak bawa mobil, nanti kau harus mengantarkanku," rengek Aliya yang ternyata dia adalah perempuan manja.

"Iya," sahut Rafka.

Karen mengambil ponselnya karena tidak tahu harus melakukan apa. Tiba tiba dia melihat pesan masuk berasal dari Liam di media sosialnya.

Liam: Kamu ada di mana sekarang?

Karen: Ada apa?

Liam: Temui aku malam ini.

Karen: Di mana?

Liam: Makanya katakan kau ada di mana sekarang, aku akan ke sana kalau dekat dari tempat lokasi syutingku.

Karen pun mengetik alamat di mana dia berada saat ini. Tak lama kemudian Liam pun membalas pesan dari Karen.

Liam: Jam sepuluh sepertinya aku sudah sampai sana.

Karen melihat jam di tangannya, masih jam sembilan. Satu jam lagi setidaknya dia bisa terbebas dari suasana itu.

Liam: Berikan nomormu.

**

Karen tiba tiba berdiri, dia pamit ingin pulang sekarang karena harus menemui seseorang.

"Siapa? Pacar ya?" tanya anak gudang.

Karen hanya tersenyum.

"Wah kami pikir single," goda yang lainnya.

"Aku akan pulang sekarang, dan terima kasih untuk malam ini." Karen pun berdiri dan mengambil tasnya. Lalu dia berjalan menjauhi meja itu dan keluar dari restoran.

"Aku ada di dekat pohon, aku bisa melihatmu. Aku memakai topi merah," kata Liam di telepon.

Sementara itu, Rafka melihat bayangan Karen sedang mengangkat telepon kemudian berjalan ke arah lain.

"Sepertinya dia dijemput kekasihnya," kata Albar.

"Bagus kalau begitu," komentar Aliya.

"Kenapa? Kau takut kan dia merebut Rafka?" ledek yang lain.

"Kenapa aku takut? Dilihat dari manapun dia tak bisa mengalahkanku lho," katanya dengan penuh percaya diri.

Hanya karena dia berasal dari keluarga kaya dan berwajah cantik, dia selalu merasa kalau dirinya berada di atas wanita lain.

"Tapi, bukankah Karen lama lama dia seperti tambah gemuk?" komentar yang lain.

Semuanya terdiam.

"Jangan jangan hamil," celetuk Aliya yang langsung mendapatkan lirikan dari semua yang duduk di meja itu.

"Kenapa? Kan aku bilang jangan jangan," katanya tanpa merasa bersalah.

**

Karen menatap bayangan Liam berdiri di samping mobil. Lelaki itu balas menatapnya dan pandangannya langsung tertuju pada perut Karen.

"Sudah berapa bulan?" tanya Liam.

"Mau tiga bulan, kenapa?"

"Apa kau baik baik saja? Apa kau tidak keberatan dengan keadaanmu yang sekarang?"

Karen diam, belum apa apa dia sudah mendapatkan kalimat kasar dari Liam.

"Kalau mau mengutukku sebaiknya jangan menemuiku."

"Bukan itu." Liam yang kebetulan ada di dekat tempat syuting tiba tiba saja teringat dengan Karen, dan mengajak wanita itu ketemuan.

Terakhir dia melihat Karen menandai tempat makan dan Liam ingat hal itu. Hari ini karena dia ada syuting di sana, ia pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Lalu apa?"

"Rafael, apa kau tidak akan menyerah?"

Karen diam.

"Mungkin aku menyerah padanya, tapi tidak pada anak ini."

"Lalu bagaimana dengan masa depannya? Lalu orangtuamu? Apakah kau akan baik baik saja?"

Liam menarik masuk Karen ke dalam mobilnya. Ada rombongan orang orang yang akan melewati mereka berdua.

Liam duduk di sebelah Karen dan melirik perut Karen.

"Aku tidak tahu," jawab Karen.

Liam menghela napasnya dengan kasar. "Bukankah sebaiknya kau gugurkan saja kandunganmu?"

Sontak Karen menatap ke arah Liam dengan ganas.

"Apa?! Kau jauh jauh datang hanya untuk mengatakan ini? Apakah kau tahu kalau aku di sini karena ingin membiayai anakku sendiri? Aku pergi jauh dari keluargaku karena aku tak mau mereka tahu?"

Liam terdiam.

"Aku tahu kau membenciku karena sudah membuat masalah. Tapi anak ini—kalian sama sekali tidak berhak. Apa ini Rafael yang menyuruhmu?"

"Tidak."

"Baguslah kalau begitu." Karen hendak membuka pintu mobilnya, tapi dia menoleh ke arah Liam dengan kesal.

"Sampaikan padanya, aku tak akan menemuinya lagi. Jadi tenang saja, kalian tenang saja! Karena aku tak akan menganggu kalian!"