Mata Karen terasa berat pagi itu, saat dia membuka matanya. Rupanya matanya bengkak karena menangis semalam.
Uang yang ditinggalkan Rafael masih ada di atas meja dan dia belum menyentuhnya sama sekali.
Karen tidak tahu haruskah dia menggunakan uang itu? Apa lebih baik jika uang itu dia kembalikan saja pada Rafael. Karena dia merasa hubungannya dengan Rafael sudah berakhir.
Ya, seperti itu. Andai saja dia tidak hamil. Mungkin Rafael sudah tidak mengingat siapa dirinya.
Nana menelepon Karen. Namun yang terdengar adalah suara seorang lelaki yang mengejutkannya, siapa lagi kalau bukan Ken. Lelaki itu marah lantaran teleponnya diabaikan terus belakangan ini.
"Apa kau marah kepadaku?" tanya Ken.
"Tidak."
"Lalu kenapa kau mengabaikan semua teleponku? Aku ingin ke sana untuk menemuimu."
"Jangan—maksudku. Aku akan sibuk mulai dari sekarang," kata Karen menolak kedatangan Ken. Karena kalau sampai Ken tahu apa yang terjadi pada Karen. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu pada Rafael.
"Kenapa? Apa kau tidak merindukanku?" Niat Ken hanya bercanda. Namun sepertinya Karen sedang tidak ingin bercanda dengan lelaki itu.
Karen hanya diam. Dia tidak tahu ternyata Ken orang yang sangat semenyebalkan ini.
"Bisakah kau memberikanku ruang? Setidaknya biarkan aku sendiri. Kau tidak tau kan kalau aku pergi dari pulau itu karena tak ingin melihatmu lagi?"
Karen baru sadar jika apa yang dia katakan pada Ken sepertinya akan melukai harga diri lelaki tersebut.
Hening.
Di ujung sana, Ken mencoba memahami Karen.
"Maaf jika sudah menganggumu," kata Ken. "Sepertinya perasaanmu sedang tidak begitu bagus pagi ini," lanjutnya.
Tanpa menunggu Karen berbicara, Ken kemudian menutup teleponnya.
"Kenapa harus seperti ini, sih?" gumam Karen frustrasi.
Hari ini dia harus berangkat lebih pagi. Karena ada beberapa urusan pekerjaan yang dia tinggalkan kemarin dan harus ia selesaikan sekarang.
Usai mandi dan berdandan. Karen bersiap untuk keluar dan membuka pintu. Namun di sana dia menemukan satu set sarapan yang ada di depan pintu.
Karen melihat ke sekeliling. Dia tidak tahu siapa yang mengantarnya. Apakah mungkin Rafael?
Karen mengambil sarapan tersebut dan membawanya ke tempat kerja. Akan sangat mudah menebaknya. Jika bukan Rafael, pasti Rafka. Kemungkinan besar Rafka akan bertanya apakah sarapan yang diberikannya itu enak atau tidak.
**
Sebelumnya…
Rafael datang ke apartemen Merry, dia datang ke sana untuk meminta Merry membuatkan makanan untuknya.
"Tumben sekali," kata Merry. Namun dia tidak keberatan dengan permintaan Rafael.
"Oh—itu aku ingin masakanmu. Sangat enak. Masakan rumahan memang beda ya," kekeh Rafael canggung.
Ia hanya ingin memberikan Karen makanan pagi yang enak. Karena dia tahu pasti, jika Karen tidak begitu memperhatikan makanannya selama ini.
Dan hal ini tidak boleh dketahui oleh Merry, karena bisa saja perempuan itu tidak akan mau memasak jika tahu makanan tersebut bukan untuk Rafael.
"Jadwal kau hari ini apa?" tanya Merry. Dia memasukkan makanan makanan itu ke dalam sebuah kotak makanan yang dibawa oleh Rafael.
"Aku ada drama akhir pekan, jadi mungkin aku akan ada di lokasi syuting sampai lusa," jawab Rafael.
"Kita tidak bisa bertemu ya selama itu," kata Merry.
Rafael tersenyum canggung.
"Merry—"
"…Ya?"
"Sepertinya setelah ini aku tidak bisa terus menemuimu."
Tangan Merry berhenti bergerak sebentar. Lalu dia memaksakan senyumnya.
"Kamu pasti sibuk ya?"
Rafael mengangguk. "Begitulah."
"Aku mengerti."
Rafael berdiri, kemudian menghampiri Merry. "Aku ingin memberikan ini."
Merry pikir Rafael akan memberikan kalung atau semacamnya. Namun ternyata tidak. Sebab lelaki itu hanya memberikan kartu nama sebuah salon di pusat kota.
"Apa ini?" Merry bisa dengan sangat baik dapat menyembunyikan kekecewaannya.
"Aku sudah mengatakan pada pemilik salon itu, kalau kau akan ke sana untuk bekerja. Bagaimana? Tapi kalau kau tidak mau, aku akan mencarikanmu di tempat lain."
Merry tidak mungkin menolak kebaikan Rafael, dia menerima kartu nama itu dan pergi ke salon.
Lagi pula dengan keadaannya yang seperti ini, pasti sangat sulit untuknya menemukan pekerjaan yang lebih baik.
**
Rafka tidak mengatakan apa apa ketika Karen membawa satu set sarapan itu ke ruangannya.
Ia hanya bertanya, dari mana Karen membeli sarapan itu.
"Tapi sepertinya itu buatan sendiri ya, boleh aku mencobanya?" tanya Rafka.
Sontak Karen tahu jika sarapan itu bukanlah Rafka yang memberikannya. Mungkin Rafael. Ya, mungkin lelaki itu.
"Oh—silakan," kata Karen, dia menyodorkan nasi goreng kemudian telur dadar gulungnya pada Rafka.
Rasanya pun sangat enak, benar seperti apa kata Rafka. Jika sarapan yang dia makan memang seperti buatan rumahan.
Apa Rafael memasaknya sendiri? Namun mana mungkin lelaki itu bisa memasak makanan seenak ini.
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Rafka memutus pikiran Karen.
"Tidak ada," jawab Karen sambil tersenyum.
Ia menelan makanannya dalam gelisah.
Suara langkah melewati tangga terdengar. Rafka dan Karen menoleh bersamaan ketika pintu ruangan mereka diketuk.
Wajah Karen dan Rafka menegang ketika melihat bayangan satu sama lain. Aliya kesal ketika melihat Karen sedang makan bersama dengan Rafka.
Sementara Karen terkejut mengapa Aliya ada di ruangannya sepagi ini. Dan dia mendapati kenyataan jika perempuan itu kini lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan tempat kerja Karin, alih alih di ruangannya sendiri.
"Aku mengirimkanmu pesan, apa kau tidak tahu?" tanya Aliya. Dia melihat kotak makanan yang ada di depan Karen dengan pandangan jijik.
"Ponselku sedang aku isi dayanya sejak tadi. Kau mengirimkan apa?" Rafka berdiri, ia membawa Aliya pergi dari hadapan Karen. Ia sungguh sungguh tak ingin membuat suasana semakin canggung.
"Aku mengajakmu sarapan di kedai dekat sini, tapi karena kau tidak membalasnya makanya aku ke sini. Tapi ternyata—"
"Mau makan di sana sekarang?" Rafka menatap Aliya. Namun wanita itu tengah menatap bayangan Karen yang sedang melanjutkan sarapannya.
"Tidak perlu, bagaimana kalau nanti siang saja. Ayah juga mau bicara padamu. Mau membicarakan masalah pertunangan kita."
Sontak Karen tersedak karena terkejut mendengar ucapan Aliya.
Mereka mau tunangan? Pantas saja Aliya sangat cemburu padanya ketika Rafka dekat dekat dengannya.
"Kau tak apa apa?" tanya Rafka.
Jelas saja itu membuat Aliya naik darah. Karen buru buru minum kemudian mengangguk.
"Aku tidak apa apa," jawabnya.
**
Usai dari salon untuk menemui pemiliknya. Merry memutuskan untuk mencari rumah Karen. Jujur saja dia sangat penasaran dengan wajah Karen. Mengapa wanita itu bisa bisanya mendapatkan perhatian dari Rafael.
Merry akan menyingkirkan semua hal yang dapat menganggu hubunganya dengan Rafael. Maka dari itu dia ke sana untuk melihat seperti apa perempuan yang jadi saingannya tersebut.
Ketika dia berdiri di alamat rumah yang ia dapatkan. Merry tiba tiba memiliki ide untuk menyingkirkan Karen.
"Jadi dia hamil, kan?" gumam Merry.