"Aku ingin menyelamatkanmu dari lelaki itu. Hanya itu, aku tak ingin kau terluka."
"Iya, tapi kenapa kau tidak ingin aku terluka? Setidaknya kau memiliki alasan khusus kan?"
Rafael semakin tidak mengerti. Mengapa dia harus mempunyai alasan untuk menolongnya?
"Karena aku mengenalmu," jawab Rafael akhirnya.
Jawaban itu sontak tidak dapat diterima oleh Merry. Ia pikir Rafael menyelematkannya karena dia menyukai dirinya, tapi kenapa dia menjawabnya seperti itu?
Merry menatap Rafael dengan gamang.
"Kau serius? Kau—menyelamatkanku hanya karena mengenalku? Tidak lebih?"
"Maksud kau apa, Merry?" tanya Rafael bingung.
Merry menghela napasnya. Ia lalu berdiri tepat di depan Rafael kemudian mencium bibir lelaki itu.
Mata Rafael pun membulat mendapatkan perlakuan seperti itu dari Merry. Tanpa sadar dia mendorong Merry.
"Kau—"
"Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?" Akhirnya Merry bertanya pada Rafael. Ia merendahkan harga dirinya agar bisa mendapatkan jawaban yang selama ini ia ingin tahu.
"Kau tahu sendiri, kalau aku—aku sudah menghamili seorang wanita, kan Merry? Jadi—mana mungkin aku mencintaimu."
Jawaban dari Rafael tak lantas membuat Merry puas.
"Hanya karena dia kan? Kalau dia tidak ada, apakah perasaanmu akan sama seperti dulu?"
Rafael menaikkan satu alisnya. "Jangan berkata omong kosong Merry, semuanya sudah berakhir lama. Dan aku sudah tidak memiliki perasaan apa apa lagi untukmu."
Rafael pun pergi dari apartemen, Rafael merasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dengan wanita itu.
Rafael tidak menyangka jika Merry akan bersikap seperti itu padanya. Padahal dulu perempuan itu pendiam dan terlihat kalem.
Ponsel Rafael bergetar ketika dia masuk ke dalam mobilnya. Liam menghubunginya karena malam ini dia disuruh untuk datang ke agensi.
"Ada acara khusus untuk kita, sebaiknya kau jangan telat."
Karena Rafael sedang mendapatkan hukuman dari agensinya. Akhirnya dia pun datang ke sana pada malam itu juga.
Sesuai dengan janjinya juga, dia diharuskan membayar biaya tutup mulut paparazzi yang sudah mengambil gambarnya dengan Merry beberapa waktu yang lalu.
Sesampainya di kantor agensinya. Rafael langsung masuk ke ruang bosnya. Di sana sudah ada Liam yang membaca sebuah script yang mirip dengan naskah.
"Drama?" tanya Rafael, ia ikut mengambil kertas itu kemudian membacanya.
"Kalian harus ikut, ini akan melibatkan kalian berdua. Bintang yang sedang naik daun," kata bos mereka.
"Acara ini akan membuat penggemar kalian tahu bagaimana jika seandainya kalian memiliki seorang istri," lanjutnya.
"Pura-pura Menikah?" Rafael mengerutkan keningnya, melihat judul bagian paling depan. Sebuah variety show di mana biasanya bintang yang sedang naik daun ikut partisipasi dalam acara tersebut.
Acara di mana dia akan bersama dengan seorang perempuan yang berasal dari profesi yang sama. Mereka akan melakukan kegiatan layaknya suami dan istri.
"Ini akan membuat image kalian yang sempat buruk menjadi bagus, lagi pula. Episode yang akan diambil sebanyak 50 episode. Bukankah lumayan?" tanya bos mereka.
"Aku sih tak masalah," sahut Liam dengan santai.
"Lalu bagaimana denganmu?" bosnya bertanya pada Rafael.
"Kau tak memiliki pilihan untuk menolak, oke." Liam mendelik pada Rafael. "kalau kau tak ikut maka aku juga tak bisa ikut. Aku akan digantikan oleh seleb lain."
Rafael akan ikut proyek apa saja yang akan diberikan bos kepadanya. Namun—jika seperti ini, dia takut jika Karen akan sakit hati dan cemburu padanya.
"Kira kira syuting berapa lama?" tanya Rafael.
"Setengah tahun." Manajernya duduk memberikan kopi kaleng pada Rafael. "Bukankah itu sangat bagus, karena mereka berjanji akan memakai lagu kalian sebagai backsoundnya."
Rafael tampak berpikir. Enam bulan untuk lima puluh episode. Tapi bayarannya juga lumayan.
"Kau akan menolaknya karena perempuan itu? Haruskah aku bilang saja pada bos?" tanya Liam berbisik.
"Baiklah, aku akan melalukannya," kata Rafael pada akhirnya.
**
Beberapa hari kemudian. Karen mendapatkan sebuah berita jika Rafael akan berpartisipasi dalam acara PURA-PURA MENIKAH.
Namun lelaki itu belum memberitahunya sampai sekarang. Hatinya terasa ngilu membayangkan Rafael akan bersama dengan wanita lain dan tinggal dalam rumah yang sama setiap hari.
Karen tahu acara itu. Karena dia adalah penggemar dari acara tersebut. Season pertama sukses, dan menghantarkan kedua pemainnya menjadi sepasang kekasih.
Dan yang Karen takutkan adalah itu.
Kepercayaan diri Karen semakin turun, apalagi ketika melihat siapa yang akan menjadi pasangan Rafael. Si cantik Cindy yang saat ini menjadi idola bagi kaum adam.
Cindy adalah penyanyi solo dengan tubuh mungil tapi seksi. Kulitnya seputih susu dengan suaranya yang manis.
Dia adalah penyanyi jebolan survival yang memiliki ciri khas suara dengan nada tinggi. Sejak saat itu, Cindy menjadi bintang di mana-mana.
"Cindy?" gumam Karen. "Dia sangat cantik."
"Siapa yang cantik?" tanya Rafael tiba tiba.
Karen tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Terkejut melihat Rafael sudah ada di depannya.
"Kenapa tidak memberitahuku?" tanya Karen.
"Aku ingin memberitahumu sekarang," jawab Rafael. "Sekaligus ingin membawamu pergi dari sini. Lepaskan pekerjaanmu itu, dan—pindah ke tempat yang lebih baik."
Karen tak langsung menjawab.
"Lalu bagaimana dengan orangtuaku yang akan mengunjungiku sebulan sekali?"
"Kita akan ke sini setiap mereka mau datang."
Karen mendecih. "Kenapa sangat mudah untukmu mengatakan hal ini?"
Rafael menghela napasnya pelan. "Kau tahu aku akan syuting acara itu. Dan—waktuku nanti akan sedikit. Aku tidak mau jika tidak ada yang menjagamu saat kau akan melahirkan nanti."
"Rupanya kau masih peduli."
"Jika aku tahu sejak pertama, aku langsung akan peduli padamu saat itu juga, Karen."
"Dengan mengabaikan pesanku?"
"Maaf—waktu itu—"
"Lupakan." Karen menyandarkan kepalanya di sofa. Ia memejamkan matanya rapat rapat. "Kau kenal Cindy?"
"Ya, tentu saja. Aku baru saja bertemu denganya tadi," jawab Rafael dengan santai.
"Dia sangat cantik."
"Karena dia wanita."
Karen membuka matanya. Melirik ke arah Rafael. "Bagaimana kalau dia jatuh—ah bukan. Bagaimana kalau kau jatuh cinta padanya?"
Mendadak dalam hati Karen dipenuhi oleh rasa was was. Ia hanya takut jika Rafael akan melupakannya dan juga anaknya, nanti.
"Karen, aku akan bertanggungjawab padamu."
Dan jawaban itu bukan jawaban yang diinginkan oleh Karen. Seakan Rafael memang akan bertanggungjawab. Tapi dia tidak memiliki perasaan apa apa untuknya.
"Bertanggungjawab?"
"Hmm iya."
"Tanpa cinta?"
Rafael tergugu.
"Aku seharusnya sudah tahu semua ini," sesal Karen. "Baiklah kalau begitu, aku akan pindah sesuai dengan kemauanmu," putus Karen pada akhirnya.
Ia ingin tahu sejauh mana Rafael akan bertanggungjawab padanya.