Karen keluar dari mobil sambil menangis. Dia tidak tahu mengapa harus seemosional seperti ini sekarang. Padahal seharusnya dia menghadapi Liam tadi dengan sabar.
Namun tampaknya kesabarannya sudah habis, karena mendengar ucapan Liam yang mengatakan jika Rafael kini lebih fokus dengan wanita yang pernah menjadi cinta pertamanya itu.
Karen mengusap airmata dengan tangannya. Ia menangis. Ia tumpahkan segala kekesalan dan kesedihannya malam ini.
"Bagaimana ini?" gumam Karen. Tanah yang ia pijak seakan runtuh. Ia terduduk di halte bus sambil menunduk.
Tidak seharusnya dia mempertahankan anak ini. Sisi lain Karen muncul. Tapi semua bukan kesalahan anak yang ia kandung. Semuanya semata karena kesalahannya sendiri, karena sudah bermain api dengan Rafael.
Liam melintas di depan Karen. Wanita itu masih ada di sana dengan wajah yang menunduk.
Seketika Liam merasa bersalah karena sudah membuat Karen seperti itu.
Awalnya Liam hendak menawarkan tumpangan pada Karen dan mengantarkannya pulang. Namun ketika dia hendak turun dari mobil. Seorang lelaki datang menghampiri Karen.
Karen terlihat mengenali lelaki itu. Mereka berbicara sebentar kemudian Karen pergi bersama dengan lelaki itu.
"Dia siapa?" gumam Liam.
"Tidak apa apa kan aku tinggal sekarang." Liam ingin menebus kesalahannya. Melihat bagaimana wanita itu tadi terlihat sangat menderita membuat hati kecilnya jadi tak tega.
Dengan membawa janin ke mana-mana. Dia masih sanggup untuk bekerja sendirian.
Liam pun akhirnya mengikuti mereka berdua. Liam jadi tahu di mana tempat tinggal Karen.
Sebuah rumah sederhana di mana jalannya sangat curam. Sangat berbahaya jika musim hujan tiba.
"Dia tinggal di sini?" Liam mengamati sekitarnya. "Sepi sekali."
Ponselnya bergetar. Manajernya menghubunginya.
"Ada di mana?" tanya manajer Liam.
"Sedang cari makan."
"Cari makan atau wanita?"
"Makan, aku sangat lapar. Serius."
"Ingat jangan mencari makan yang banyak lemaknya. Aku akan ke kamarmu jam satu nanti. Oke."
Liam sudah harus kembali ke hotel sebelum manajernya itu lebih bawel kepadanya. Dia tak ingin mendapatkan masalah lagi.
**
"Ini rumahmu?" Rafka bertanya pada Karen ketika sudah sampai di depan rumah Karen.
"Aku tinggal di sini dengan temanku. Menyewanya," jawab Karen. "Terima kasih karena sudah mengantarku."
"Tidak apa apa, kalau kau ada masalah kau bisa cerita padaku."
Karen tersenyum. "Bagaimana dengan Aliya? Apa dia tahu kau bersamaku?"
"Tidak, dia sedang di tempat karaoke."
Karen mengangguk. "Pulang lah, aku tak mau kalau Aliya sampai tahu kita berdua ada di sini."
"Benar. Dia bisa membunuhku."
"Lebih tepatnya membunuhku," sahut Karen. Mana mungkin Aliya akan membunuh kekasih kesayangannya itu.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih karena sudah mau datang."
Karen melambaikan tangannya, melihat bayangan Rafka menghilang di pertigaan.
**
Merry memandangi ruangan baru yang sudah disewa oleh Rafael. Sebuah apartemen yang sederhana. Setidaknya tidak sekumuh rumahnya bersama dengan lelaki berengsek yang kemarin.
"Aku tak bisa lama lama di sini, jadi aku akan meninggalkanmu setelah semuanya sudah selesai," kata Rafael. Dia mengecek tiap kamar dan juga balkon apartemen.
"Kau akan tetap menemuiku kan?" tanya Merry. Kemudahan hidup yang dia dapatkan setelah bersama dengan Rafael membuatnya tak ingin berpisah dengan lelaki itu.
"Aku akan melihat jadwalku." Seharusnya Rafael lebih mementingkan Karen saat ini. Di mana wanita itu sedang berjuang sendirian dengan bayinya.
"Raf, hubunganmu dengan wanita yang bernama Karen itu—"
Wajah Rafael seketika menegang. Dia diingatkan pada sosok Karen lagi.
"Aku harus menemuinya, aku sudah membuatnya seperti ini."
Merry tersenyum kelu. Namun dia sembunyikan agar Rafael tidak tahu betapa tak sukanya dia, ketika mendengar bahwa Rafael akan menemuinya.
"Kau sudah mendapatkan alamat rumahnya?"
Rafael mengangguk. "Liam memberitahuku tadi malam."
Merry tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Namun ketika Rafael menatapnya, dengan cepat dia mengendurkan tangannya.
"Apa kau mencintainya?" tanya Merry hati hati. dia tidak akan memberikan Rafael pada Karen bagaimanapun caranya.
"Dia hamil anakku, jadi—"
"Kenapa tidak kau—"
"Jangan berkata hal yang mengerikan seperti itu, Merry. Kau tahu bagaimana masa laluku dulu, kan?"
Merry terdiam. Rafael adalah anak yang tidak diharapkan oleh ibunya. Ibunya adalah wanita karir. Hingga ketika mendapati dirinya hamil Rafael. Dia mencoba untuk melenyapkannya.
Namun hal itu sia sia karena Rafael lebih kuat dari dugaan ibunya. Hingga anak itu lahir dan tidak mendapatkan kasih sayang dari ibunya.
Ibunya pun bercerai dengan ayahnya, dengan alasan tidak cocok lagi. Namun setelah satu tahun, ibunya diketahui menikah dengan seorang actor kelas A. Sangat lucu.
Rafael jika mengingat hal itu merasa jijik pada ibunya yang sudah mencoba untuk melenyapkannya.
Ketika Rafael tahu ibunya hamil anak perempuan yang kini sudah berusia sembilan belas tahun. Rafael semakin membenci ibunya, karena ibunya ternyata lebih menyayangi adiknya.
Dan ada lagi yang Rafael ketahui, jika ternyata ibunya membencinya bukan karena ingin menjadi wanita karir melainkan gara-gara dalam tubuh Rafael ada darah ayahnya yang mengalir. Ayah yang tidak memiliki apa apa.
"Maafkan aku." kata Merry.
"Tak perlu. Aku harus menemuinya, aku sangat bersyukur karena Karen mau mempertahankan anakku."
Mendengar kata anakku membuat Merry mual. Padahal dia bisa saja hamil anak Rafael kalau dia mau.
"Apa kau akan menikahinya?" tanya Merry.
"Iya, setelah umurku 32 tahun aku akan menikahinya."
"Masih lama," gumam Merry.
"Aku akan bekerja keras mengumpulkan uang. Agar aku bisa hidup tanpa menjadi penyanyi seperti sekarang."
"Semoga kau sukses, Raf."
"Aku akan pergi." Rafael mengambil jaketnya kemudian meninggalkan Merry yang mengerang kesal di atas sofa.
"Rafael akan menjadi milikku, aku tak mau hidup dengan lelaki itu lagi."
Merry sudah merencanakan sesuatu. Dia akan membuat Rafael menjadi miliknya tak peduli bagaimana caranya. Bahkan dengan cara yang licik sekalipun.
**
"Kau yakin rumahnya di sini?" tanya Rafael menatap rumah yang tadi malam Liam datangi.
"Tunggu saja, mungkin dia sedang bekerja."
"Iya."
"Kalau begitu telepon dia saja."
"Nomorku diblokir olehnya."
Liam tertawa mengejek.
Seorang wanita keluar dari pintu pagar rumah itu. Matanya melirik aneh pada Rafael yang mengenakan topi dan maskernya.
"Maaf Anda siapa?" tanya Ruri.
"Aku ingin bertemu dengan Karen apa bisa?"
Ruri mengerutkan keningnya, ia pikir mungkin lelaki yang ada di depannya saat ini adalah kekasih Karen.
"Oh dia masih kerja. Mungkin sebentar lagi kembali."
Rafael melihat jam tangannya.
"Masuklah ke dalam dan tunggu di sana. Karen akan senang kalau tahu kekasihnya ada di sini."
Rafael menaikkan satu alisnya.
"Aku ada urusan di rumah kakakku. Jadi kau tunggu saja di sana." Ruri gegas masuk kembali, kemudian membukakan pintu untuk Rafael.
"Tapi—"
"Dia pasti akan senang bertemu denganmu," kekeh Ruri. "Tolong katakan pada Karen kalau aku tak akan pulang malam ini."
"Baiklah."