Chereads / Setelah Malam Itu / Chapter 21 - 21. Wanita Berhati Jahat

Chapter 21 - 21. Wanita Berhati Jahat

Tak lama kemudian Merry muncul dari dalam kamar, kemudian duduk di sebelah Rafael.

"Karena kau lebih tua, kau harus mengalah," kata Merry berpura-pura sok baik.

"Aku ternyata tidak cocok menjadi seorang leader untuk grupku sendiri," gumam Rafael. Dia menundukkan wajahnya sambil mengusapnya dengan frustrasi.

Belum cukup masalah Karen, kini masalah lain muncul akibat perbuatannya sendiri. Seharusnya dia menyelesaikan masalah Karen dulu, barulah dia menyelesaikan masalah Merry.

"Sebaiknya kau tenangkan pikiranmu dulu. Semuanya akan baik baik saja," kata Merry.

Ada rencana yang dia pikirkan dalam kepalanya saat ini. Ia sangat ingin menemui Karen dan membuat semuanya berakhir. Membuat wanita itu agar tidak terlibat lagi dengan Rafael.

Namun bagaimana caranya? Bahkan dia tidak tahu di mana Karen saat ini.

Merry melirik ke arah ponsel Rafael. Pesan di ponsel lelaki itu terlihat nomor milik Karen, diam diam Merry menghapalnya.

**

"Kau sakit?" Rafka berdiri dari mejanya ketika melihat wajah Karen memucat.

Wanita itu meneteskan keringat dingin dari dahinya.

"Aku tidak apa apa, sepertinya aku—" Karen tidak bisa mengatakan jika dia saat ini sedang hamil kan?

"Mau aku antar ke klinik perusahaan? Ada di lantai bawah."

"Tidak, terima kasih," tolak Karen. "Aku hanya salah makan—sepertinya."

Karena Karen mengatakan seperti itu, akhirnya Rafka tidak mengatakan apa apa lagi.

Dia turun kemudian menuju minimarket yang ada di dalam perusahaan kemudian membeli susu dan roti sandwich untuk Karen.

"Wah, untuk siapa roti dan susu itu? Untuk Aliya?"

Di kasir, Rafka malah bertemu dengan sahabat Aliya.

"Tidak. Buatku sendiri, aku lapar," jawab Rafka. Jika sampai Aliya tahu pasti semuanya akan runyam.

"Oh." Hanya itu kata yang keluar dari mulut sahabat Aliya tersebut.

**

"Makanlah, kamu sepertinya melupakan sarapanmu ya." Rafka menyodorkan sandwich pada Karen dan juga susu.

Bisa jadi, tadi Karen hanya sarapan beberapa suap. Padahal penting baginya untuk makan banyak karena sekarang di dalam tubuhnya ada janin yang membutuhkan nutrisi.

"Terima kasih banyak. Aku telah merepotkanmu."

"Tidak apa apa. Karena di atas ini hanya ada kita, bukankah seharusnya kita saling menjaga satu sama lain?!"

"Lain kali kalau aku terlihat mau pingsan, kau harus membelikanku roti ya."

Karen tersenyum, ia membuka bungkusan sandwich itu. Nafsu makannya kembali lagi, sampai roti yang ada di meja dihabiskan olehnya.

Rafka yang diam diam mengamati sikap Karen tersenyum. Ia pikir Karen hanya lapar biasa.

Tak lama kemudian, ketika Karen hendak membuang bungkus rotinya ke dalam tempat sampah. Aliya muncul dari balik pintu. Dia tersenyum pada Rafka, tapi bersikap dingin pada Karen.

Karena sempat mendengar kalau Rafka membeli roti di kantin. Aliya mengerutkan alisnya karena melihat Rafka tidak seperti habis makan.

"Kata Lyra tadi kau baru saja beli sandwich di kantin, di mana? Aku mau." Aliya bergelayut manja pada Rafka.

Sudah jam istirahat, coffee time, namun karena tak melihat Rafka di kantin. Aliya memutuskan untuk menemui Rafka di ruangannya.

"Oh itu—aku membelikannya untuk Karen."

"Karen? Karen siapa?"

"Dia yang duduk di sana namanya Karen, bukankah ketika lembur aku sudah mengenalkannya padamu?"

Aliya tersenyum. "Maaf aku tidak ingat, kau tau sendiri kan kalau aku pelupa?"

"Mau minum kopi di bawah?" Rafka tak ingin membuat suasana jadi canggung.

"Boleh, aku kan ke sini untuk mengajakmu minum kopi."

Rafka pun pamitan pada Karen, kemudian turun dengan Aliya bersama. Karen mengembuskan napas leganya seolah dia baru saja lolos dari gigitan macan.

"Dia dingin sekali," gumam Karen.

**

Liam sejak tadi hanya diam, padahal mereka berdua sedang ada jadwal pemotretan bersama.

"Kalian sedang tidak marahan kan?" tebak manajernya dengan maksud bercanda. Namun tak ada sahutan dari kedua orang itu di dalam mobil vannya.

"Kalian bertengkar? Kenapa lagi kali ini?"

Liam diam, Rafael pun diam. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Atau mungkin Liam sudah muak dengan Rafael yang selalu bertingkah seenaknya sendiri.

"Nanti aku ingin ke rumah ibuku, bisa kan?" tanya Liam. "Aku tak ada jadwal sampai besok minggu."

"Bisa, nanti aku akan mengantarkanmu sampai bandara."

Liam benar benar ingin menghindari Rafael. Bahkan ketika tadi pagi, dia kesal lantaran Merry masih ada di sana.

Kalau Liam jahat, dia bisa membuat Rafael dalam masalah. Namun hal itu ia urungkan karena hanya akan membawa masalah untuknya juga.

Manajer turun lalu memeriksa studio sambil menyapa photographer dan staff lainnya. Meninggalkan Rafael dan Liam di dalam mobil berdua.

Liam melepaskan sabuk pengamannya dan melirik ke arah Rafael.

"Aku tak ingin dapat masalah lagi, jadi sebaiknya kau bawa keluar wanita itu sebelum bos tahu," kata Liam dengan sinis.

"Dan selesaikan masalahmu dengan wanita pulau itu." Lalu Liam pun turun dan memasang senyumnya. Senyum palsu untuk orang orang di luar. Dalam hatinya dia kesal, marah dan juga kecewa pada Rafael.

Rafael yang menyadari akan kesalahannya pun, akhirnya memutuskan untuk membawa Merry keluar sebelum Liam kembali ke apartemen mereka nantinya.

**

Merry menatap ponselnya. Rafael mengatakan padanya jika nanti dia harus keluar dari sana.

Rasa takut itu muncul, bagaimana kalau sampai Rafael lalu mengabaikannya?

"Tapi nanti kau akan sering mengunjungiku, kan?" tanya Merry.

"Aku tak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha melindungimu dari lelaki gila itu."

"Utang ayahku—"

"Jangan pikirkan itu, yang penting kau aman dari lelaki itu."

Merry tersenyum, sepertinya dia tidak perlu khawatir masalah uang. Karena Rafael pasti akan menjaminnya.

**

Koridor sedang ramai karena jam pulang karyawan untuk berebut absen.

Kartu karyawan Karen terjatuh karena seseorang tanpa sengaja mendorongnya.

Ketika Karen hendak mengambil kartu karyawannya, sebuah sepatu hak tinggi seakan sengaja menginjak tangan Karen.

"Ups! Maaf!" kata Aliya yang sama sekali jauh terdengar tulus. Ia lalu berjalan dengan santai bersama sahabatnya.

Karen memandangi tangannya yang merah dan merasakan ngilu pada punggung tangannya.

"Kau tidak apa apa?" tanya Rafka, tahu tahu lelaki itu sudah ada di depan antrian Karen. "Ladies first," ucapnya.

Karen tersenyum. "Terima kasih."

Rafka melihat apa yang dilakukan oleh Aliya tadi, tapi dia tidak mengatakannya pada Karen.

"Nanti Sabtu ada acara makan malam dengan anak anak dari gudang, kau ikut kan?" tanya Rafka.

"Entahlah—sepertinya—"

"Ikut ya, soalnya ini acara bulanan anak anak. Agar kita bisa kompak, restorannya di dekat tempat tinggalmu kok."

"Benarkah?"

Rafka mengangguk. "Kau tau kan, restoran yang menjual makanan laut itu. Nah kita akan makan di sana."

"Tapi—apa—Al—"

"Tidak, dia tidak ikut," sambar Rafka cepat cepat. Matanya menunjuk tempat absen yang ada di sebelah Karen.