Rafael sudah berdandan rapi pagi ini. Mengenakan topi berwarna hitam kemudian masker berwarna senada, dia berdiri di lobi apartemennya.
Padahal biasanya dia yang membuat manajernya menunggu. Namun untuk kali ini demi Merry dia harus berada di bawah agar manajernya tidak bertemu dengan Merry.
"Wah kau sangat rajin, tumben," kata manajernya entah untuk memuji atau meledeknya.
Rafael hanya tersenyum, kemudian menarik lengan manajernya untuk segera pergi dari apartemennya.
Ketika dia naik ke mobil, Rafael melirik ke arah apartemennya yang mulai menjauh. Berharap jika Liam dan Merry tidak bertengkar karena di sana hanya ada mereka berdua.
**
"Mau sampai kapan kau ada di sini?" Liam keluar dari kamarnya berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman.
Merry sedang duduk memegang cangkir dan menyesap tehnya.
"Aku tidak tahu."
"Tidak tahu katamu? Apa kau benar benar tidak tahu malu, sampai harus membuat Rafael melakukan hal gila ini untukmu?"
Merry diam.
"Ke mana saja kau saat dia jadi orang susah? Kau muncul ketika dia sudah menjadi orang seperti ini."
"Aku tidak sengaja bertemu dengannya, jadi kenapa kau menyalahkanku," sahut Merry dia menatap Liam dengan tatapan tajam.
Liam merasa jika sikap Merry ketika ada Rafael dan tidak ada, begitu berbeda. Lihat saja wanita itu, bahkan berani meliriknya dengan seperti itu.
"Kalau kau tahu diri, sebaiknya segera pergi dari sini. Aku tidak mau karirku hancur karena kau." Liam beringsut pergi, sebelum sempat mendengar Merry mendecih dan menatap sinis kepadanya.
**
Perut Karen sudah lebih baik dari sebelumnya. Bahkan dia tidak merasakan mual mual lagi seperti biasanya.
Ia melangkah masuk ke dalam perusahaan untuk absen, kemudian berjalan menuju gudang.
Matanya menangkap bayangan dua orang yang ia kenal. Rafka—dan pacarnya. Karena tak mau terlalu dekat dengan mereka berdua, akhirnya Karen memperlambat langkahnya.
Ia melihat Rafka dari belakang, lelaki itu sering tertawa dan tersenyum di samping kekasihnya.
Mata Karen berkhayal jika mereka adalah dirinya dan Rafael. Meski hal itu tidak mungkin terjadi.
Mengingat Rafael, Karen lalu mengambil ponsel dari tasnya. Ia mengecek apakah sudah ada balasan dari Rafael. Namun nihil.
**
Liam menggulir layar ponselnya. Jadwalnya kosong hari ini, jadi ia gunakan untuk membaca webtoon dan juga novel online di ponselnya.
Kadang dia melihat berita berita tentang grup mereka. Hingga akhirnya dia terpikirkan untuk menyelidiki masalah Karen.
Ia melompat dari ranjangnya kemudian bergerak ke PC yang tergeletak di atas meja.
Karena jarang ada di apartemen, mereka jarang menggunakan PC tersebut.
Dan kali ini Liam akan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Mencari Karen bagaimanapun caranya.
Ia pun membuat media sosial tanpa sepengetahuan manajernya. Kemudian mencari akun bernama Karen sampai matanya basah dan pedas karena melotot ke arah monitor.
Hingga empat jam lamanya, Liam tidak menghasilkan apa-apa. Lalu dia terpikir untuk mencari nama Karen berserta nama pulau itu.
Lalu—nama Karen muncul di sebuah tanda nama pulau tersebut. Akun itu aktif 6 jam yang lalu. Artinya Karen masih memegang akun itu.
Ia pun mengetikan sesuatu di dalam pesan pribadinya.
Ini aku Liam.
Liam pun tak berharap Karen akan membalas pesannya segera mungkin. Tapi yang jelas, dia akan memberitahu Karen di mana Rafael tinggal agar Rafael tidak berhubungan dengan Merry lagi.
**
"Kau tidak melakukan hal yang aneh aneh kan?" tanya manajer Rafael ketika mobil mau sampai di lokasi syuting.
"Misalnya?" Rafael asik dengan layar gawainya.
"Ya, apapun itu. Aku mohon, jangan buat masalah ya, sampai aku pensiun setidaknya. Telingaku selalu panas setiap kali dimarahi oleh bos kita."
Rafael terkekeh. Dia tidak bisa berjanji, sebab sekarang saja dia sudah melakukan hal yang melanggar itu.
"Kak!" Yuna melambaikan tangannya yang kecil ketika melihat Rafael turun dari mobil.
Rafael hanya tersenyum tipis, menjadi model sudah pasti keinginan Yuna. Itu sudah jelas.
"Nanti ada adegan ciuman, aku harap kita melakukan kesalahan berkali-kali," gumam Yuna dengan perasaan yang sangat senang.
"Aku tidak berpikir seperti itu, karena pasti sutradara akan memarahi kita."
"Tenang saja."
"Aku tidak tenang."
**
Karen melahap brokoli yang ada di depannya, kemudian wortel dan tomat cery yang ada di atas nampan makananya.
Dia terlihat sangat kelaparan, lalu ia menelan tonkatsu yang menjadi menu favorit di perusahaan tersebut.
"Enak ya?" tanya seseorang. Ketika Karen menoleh, Rafka sudah membawa nampan dan duduk di sebelah Karen.
Karen terbatuk karena terkejut. Sungguh dia tidak ingin kalau sampai nanti kekasih Raka ada di sana juga.
Terakhir kali, ketika kekasih Raka menemani lelaki itu lembur. Dunia Karen terasa sangat sempit. Dia seperti sedang menonton film romantic secara langsung di depannya.
Karen mengangguk setelah minum segelas air putih.
"Stroberi, aku pikir kau suka."
Sepertinya Rafka melihat jika nampan Karen sudah tidak ada buah di sana.
"Terima kasih, tapi kau sendiri?"
"Aku tidak begitu suka dengan stroberi," jawab Rafka kemudian menelan tonkatsunya dengan lahap.
Karen melirik ke arahnya dan senang melihat lelaki itu memakan makanannya dengan sangat lahap.
"Aku sudah selesai, jadi selamat menikmati makan siangmu." Karen mengangkat nampannya. Lalu berusaha pergi dari sana sebelum pacar Rafka muncul.
Ketika Karen keluar dari kantin, bahunya tidak sengaja menabrak bahu seorang wanita yang berseragam seperti di kantor.
Dia meminta maaf, dan rupanya wanita itu adalah kekasih Rafka.
Kekasih Rafka tidak melihat Karen, padahal dia sudah bersama dengan Karen selama dua jam waktu itu. Apa dia mudah melupakan wajah seseorang?
Berbeda ketika bersama dengan Raka, kekasih Rafka terlihat sangat dingin ketika sendirian seperti sekarang.
**
Rafael pulang dengan lelah. Gara gara Yuna selalu membuat kesalahan ketika mengambil adegan berciuman. Gadis itu benar benar tidak main main dengan ucapannya.
Ruangan di dalam apartemen menyala terang, padahal biasanya gelap. Dia merasa seperti pulang ke rumahnya sendiri.
Apalagi ketika mencium aroma masakan yang menguar dari dapur.
Rafael bergerak ke dapur dan menemukan Merry sedang menata makanan di atas meja.
"Kau memasaknya?" tanya Rafael.
"Kupikir aku harus melakukan sesuatu, jadi aku memasak dan mencuci pakaianmu."
Rafael melirik ke arah balkon, dia melihat cucian sudah menggantung rapi di sana.
"Kau tak perlu melakukannya."
"Mana mungkin aku tidak melakukan sesuatu untukmu."
Merry mempersilakan Rafael duduk.
"Liam—di mana?"
"Sejak tadi pagi dia tidak keluar dari kamar, tapi tadi dia sudah memesan makanan dari luar."
Rafael mengangguk. Ia lupa jika harus membalas chat dari Karen saat itu.
"Apakah kau ingin minum? Aku akan mengambilkannya?"
"Tidak usah, aku bisa mengambilnya sendiri. Kau makan juga, jangan sampai kurus," sahut Rafael sambil tersenyum.