Pemuda asing ini sungguhan ada di rumahnya sekarang, menjalin hubungan baik dengan ibu dan Adam. Yena menatap intens gerak-gerik si pemuda di depan mata. Tidak ada yang mencurigakan.
"Namamu ..."
"Hazard," jawabnya dengan wajah tanpa dosa.
"Ah ya, sejak kapan Ibu kenal dengannya?"
Layha segera duduk di samping Yena, menjawab dengan tampang sumringah. "Baru kemarin. Hazard itu tetangga baru kita. Itu loh rumah yang dijual dekat jalan besar, di sebelahnya ada sumur mata air."
Yena ber-oh-ria. Ternyata Hazard bukan pemuda biasa. Berapa banyak harta yang dia punya? Sampai bisa membeli rumah dengan sumber air bersih begitu. Alisnya langsung berkerut-kerut membuat Hazard menghindar dari tatapan menyelidiknya.
Setelah makan malam, Adam tertidur di pangkuan Hazard. Mengingatkan Layha pada suaminya yang sudah tiada. Layha segera memangku Adam ke kamarnya karena tidak enak dengan Hazard.
"Sudah larut malam, saya harus segera pulang. Terima kasih atas jamuan makan malamnya. Masakan Tante sungguh enak," tutur Hazard sambil tersenyum.
Layha tersipu, memukul Hazard seperti remaja perempuan yang baru puber. Melihat tingkah ibunya, Yena mijat pangkal hidungnya serta menggeleng.
"Sayang, kamu antar Hazard sebentar sana, kasian loh jalan sendiri," pinta Layha.
Yena mengernyit, menatap penuh kekesalan pada Hazard. "Kenapa harus kasian? 'Kan dia punya kaki?!" pekiknya pada sang Ibu.
"Dasar kamu! Udah sana antar!" Layha tak mau kalah, ia mendorong Hazard dan Yena keluar. Mendadak saja wajahnya berubah ramah saat menatap Hazard. "Nak Hazard, Besok-besok mampir lagi ya."
Pintu langsung di tutup rapat-rapat. Tak ada celah bagi Yena untuk menerobos. Sementara Hazard mengalihkan pandangannya kearah lain tidak ingin ikut campur.
"Hah, sudahlah. Ayo jalan, aku sudah lelah ingin tidur."
"Um, oke."
Jalan setapak penuh lentera, mengiringi perjalanan mereka. Kondisi di luar sudah sangat sepi, tak ada orang sama sekali.
"Sebenarnya apa tujuanmu berkunjung ke rumah kami?" tanya Yena di sela-sela perjalanan.
"Tidak ada, Tante Layha sendiri yang mengundang saya untuk makan malam bersama. Mengapa? Nona keberatan?"
"Tidak, hanya saja ... rasanya aneh. Baru kali ini aku melihat laki-laki begitu lengket dengan anak kecil. Aku pikir hanya ayahku saja yang begitu."
"Silakan Nona tanyakan langsung pada Adam, mengapa dia bisa menyukai saya."
Yena menatap Hazard lekat kemudian mengeluh. "Yah, aku terlalu banyak kerjaan. Besok aku harus segera menyampaikan informasi tentang si pembunuh gurun."
"Pembunuh gurun? Jadi itu nama yang kalian sematkan ...," gumam Hazard.
"Kau bilang apa tadi?"
Hazard tersenyum sembari menatap jalan. "Tidak ada. Sepertinya si pembunuh begitu ditakuti Yang Mulia, ya?"
"Hm ... begitulah. Beberapa hari lalu aku mencoba menangkapnya. Pergerakannya sangat tidak wajar, aku saja sampai kewalahan. Hah, menyebalkan."
Hazard tak kuasa menahan tawa. Gadis di sampingnya ini benar-benar penuh warna. Setiap berkata, beberapa ekspresi wajah tergambar jelas di sana. Unik.
"Kau tertawa? Sungguh? Ish!" Yena memukul lengan Hazard kesal. Pipinya merona karena malu.
"Haha, maaf Nona. Sungguh, wajah Anda terlihat lucu jika sedang kesal." Hazard mencoba menghindari pukulan Yena dengan menjegal kedua tangannya. Kekehan kecil semakin terdengar.
Namun...
Yena mengerjap sekali ketika bertemu pandang dengan Hazard. Warna mata yang kelam tampak seperti langit malam ditaburi bintang. Mengapa ia baru bertemu dengan warna mata seindah ini, ya?
"Nona? Anda baik-baik saja?" tanya Hazard seraya melambai-lambaikan tangan persis di depan muka Yena.
Yena tersadar. Memegangi pipi yang mulai panas. Tidak pernah sebelumnya dia merasakan hal semacam ini. Pada orang yang baru dikenal? Tidak masuk akal.
"Ti-tidak. Saya tidak apa-apa," jawabnya menutupi wajah tanpa menatap Hazard.
🍂🍂🍂
Di Istana Altair. Raja Firan mengenakan jubah kerah tinggi berwarna merah marun dengan motif daun emas di setiap sisinya. Beliau membuka sebuah pintu kayu menuju bawah tanah, tak lupa membawa lentera sebagai penerang jalan. Setapak demi setapak sang Raja menuruni undakan tangga. Hingga tibalah ia pada sebuah ruang penuh dengan rak buku dan botol kaca berisi cairan warna-warni. Di sana ada Penasihat Zain sedang meracik sesuatu.
Raja menggantungkan lentera pada dinding batu, menghampiri Zain. Pandangannya tertuju pada jubah hitam khas penyihir yang dikenakan Penasihat Zain, terdapat pin berbentuk kepala banteng menempel pada jubahnya.
Perlahan sang Raja menghampiri Penasihat Zain. Aroma menyengat menusuk penciuman tatkala pil berwarna hijau dimasukan ke dalam sebuah botol berisi cairan hitam. Pil tersebut seketika mencair dan berubah warna menjadi biru kemudian melebur hilang.
Penasihat Zain duduk pada kursi kayunya dan berkata, "Saya sudah menduganya. Pil ini hasil racikan Makhluk Alam, Roh Pohon dari Middle Earth."
"Roh Pohon? Makhluk Alam? Maksud Tuan Zain apa?" tanya Raja Firan sama sekali tidak mengerti.
Zain tersenyum kemudian mencoba menjelaskan. "Mereka adalah musuh sepanjang masanya Tuan Noch dan Sang Raja Iblis. Mereka juga tinggal berdampingan di Middle Earth. Saya membaca dari buku kuno, para Roh Pohon memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, manusia pasti mati jika melawan mereka. Namun, mereka memiliki kelemahan."
"Kelemahan? Apa itu?"
"Tubuh mereka tidak mampu menetralisir Energi Hitam dari bangsa Iblis, kekuatan alam akan tersegel seiring makin banyaknya luka. Bahkan jika lukanya berlebihan, mereka bisa saja mati."
"Jadi maksud Anda, Danma bersekongkol dengan Roh Pohon? Bagaimana bisa?"
"Yang Mulia, Anda terlalu naif." Zain bangkit, berjalan menuju rak buku lalu mengambil sebuah buku di sana. "Apakah Anda lupa, tentang asal-usul Er'dura?"
"Er'dura?"
"Ya, Er'dura. Bagian dari Pohon Kehidupan (Tree of Life) yang selalu di jaga dengan baik oleh para Roh Pohon. Tepatnya serpihan batu kehidupan telah terpecah dan salah satunya menjadi Er'dura. Sayang ... saya tidak tahu nama asli dari batu tersebut."
"Pantas saja Er'dura sangat berbeda dengan pedang biasa. Lalu Makhluk Alam, makhluk seperti apa mereka?"
Zain menutup buku, menatap Raja Firan. "Yang saya tahu Makhluk Alam sudah ada sejak beribu-ribu tahun silam. Bangsa Iblis termasuk ke dalam golongan Makhluk Alam yang tinggal di Gunung Berapi. Dulu sekali, musuh terbesar Bangsa Iblis adalah Bangsa Ent dan Earth Giant. Bangsa Iblis berhasil menumbangkan kedua Bangsa tersebut. Hal itu membuat Dewa Freyr marah dan menyesal telah menciptakan Bangsa Iblis, tapi tidak mampu memusnahkan ciptaannya sendiri, karena rasa kasihnya yang begitu luas. Maka diciptakanlah Roh Pohon. Berasal dari pohon-pohon yang telah mati. Mereka Memiliki daya tahan tubuh yang sangat luar biasa, gesit juga pintar. Roh Pohon menyukai kesenian, mereka pandai melukis serta membuat lagu dan berbagai macam kesenian yang lain."
"Intinya musuh yang kita hadapi sekarang bukan lagi manusia?" tanya Raja Firan lagi.
Zain menyimpan kembali buku sambil mengangguk pelan. "begitulah," jawabnya.
Firan terdiam sejenak. Dia berpikir masalah kali ini lebih rumit dari perkiraannya. "Cukup menyusahkan kalau begitu."
Namun, Zain justru menggeleng dengan senyum miring di bibir. "Tidak, Anda tidak perlu khawatir. Roh Pohon tak akan sanggup jika bersentuhan langsung dengan Energi Hitam. Kita harus segera mengumpulkan para pengguna sihir dari berbagai penjuru negeri untuk melawan mereka."
"Baiklah, saya akan menulis beberapa gulungan untuk mengundang para Penyihir Hitam. Mereka pasti akan sangat senang."