Trang!
"Aku berhasil!" seru Yena. Dirinya sukses memukul mundur lawan. Pria itu mendarat tetap di depan Yena, menunjukkan masker kain. "Nona cantik, ini maskermu, 'kan?"
Yena menelan ludah, tubuhnya sukses berkeringat dingin. Ia menatap masker yang berpindah tempat. Bagaimana ini? Pria bermasker sama sekali bukan tandingannya.
Badai pasir mendadak terhenti. Pohon-pohon kaktus berjatuhan sedang pasirnya banyak yang mengenai rambut Yena.
"Nona, Anda tidak ingin mengambilnya?" tanya pria itu, "sayang sekali jika Nona tak menginginkannya lagi," lanjutnya sarkas.
"Berisik!" Yena jengkel, dia berlari kearah lawan, menebas kedua pedang dengan tangan menyilang. Tapi pria itu dengan mudah mengelak.
"Anda terlalu bersemangat, Nona. Saya tidak ada keinginan untuk melawan."
Bualannya begitu memuakkan, Yena tak sanggup mendengar ocehannya. Dengan percaya diri Yena melepas kedua pedang lalu melesat bagai angin dan meninju perut lawan dengan tenaga dalam. Pria itu langsung terpental hingga terlentang.
Yena melangkah, mengambil pedang si pria yang tergeletak, mengacungkan tepat di hidung. "Menyerahlah! Kau tak akan kubunuh jika ikut denganku."
"Hm, tidak mau." Senyuman di matanya membentuk busur panah dengan gerak tubuh yang santai, sangat mirip seseorang. Mungkinkah pemuda itu?
Mendadak ia sudah berada di belakang Yena. Tangan kokohnya mencengkeram pergelangan Yena, menguncinya ke belakang. Pedang pun jatuh pada jalan batu. "Nah, sekarang sudah adil. Sama-sama menggunakan tangan kosong, benar?" bisik si pria tepat di telinga.
"Brengsek! Sebenarnya apa maumu?"
"Sudah saya katakan, saya tidak berniat melawan Anda." Lagi-lagi, Yena merasakan aura aneh yang membuat tubuhnya tidak dapat digerakkan. Napas pun berubah berat, sama seperti saat pertama bertemu.
"Siapa namamu?" bisiknya.
"A-apa pedulimu?"
"Kubilang ... siapa namamu?" Dia tiba-tiba menggigit telinga Yena, mengakibatkan rona merah di wajah. "Oh! Ini daerah sensitif?"
Amarah Yena meletup. Dengan tanpa kata kakinya diayunkan ke atas lalu berputar di udara kemudian menendang dada lawan. Pria itu mundur beberapa langkah seraya mencengkeram dada. Yena pun mendarat dengan sempurna, berhasil melepaskan diri. Segera, Yena mengambil kedua pedangnya, sementara pria bermasker itu tak ada di tempatnya lagi.
"Dia kabur?" gumam Yena seraya mengedarkan pandangan pada setiap celah yang ada di sekitar bangunan, terus mencari sosok pria itu.
"Nona yang keras kepala, saya hanya ingin tahu nama Anda saja." Suaranya tepat di belakang. Namun, setiap kali berbalik tidak ada siapapun.
"Pengecut! Jangan bersembunyi terus!"
Sementara itu...
Di atas atap, Hazard tampak berjongkok memegangi tulang rusuknya. "Ouch! Sakit, tenaga gadis cantik itu sungguh lumayan," ringis Hazard. Matanya menyipit sambil memasukkan pedang kembali ke dalam sarung, "cara ini tidak akan berhasil," lanjutnya.
Ada sedikit kesalahan tadi, yaitu ketika menggigit. Kejadian tersebut tidak ada dalam rencana. Tidak tahu mengapa setiap bersentuhan dengan Yena, hasrat tak dikenal dalam diri mendadak naik. Mungkin Hazard harus menanyakan tentang ini kapan-kapan.
"Hm, mari coba cara lain," ujar Hazard tersenyum tipis di balik masker. Sosoknya hilang dan menyisakan sebuah bunga prup jatuh ke tanah.
Yena menyadari musuhnya telah pergi. Ada secercah rasa lega di hati. Dirinya ambruk, terduduk pada jalan setapak. Lelah. Sangat lelah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia sempat mengira, pembunuh gurun dan pemuda asing merupakan orang yang sama karena pakaian mereka hampir mirip, gaya, dan senyuman matanya juga. Bedanya si pembunuh memakai syal merah dan masker sedangkan si pemuda asing hanya mengenakan syal dan rambut hitam. Di tambah, jaketnya yang serupa semakin memperkuat dugaan Yena. Mendadak dirinya terbayang telinga yang digigit, seketika pipinya merona lagi.
"Sial! Sadarlah, Yena! Kamu bukan perempuan mesum!" Pipinya ditepuk-tepuk sendiri hingga sedikit terdapat bekas. "Lupakan! Lupakan! Lupakan!" pekiknya berulang kali.
Bisa-bisanya dalam kondisi seperti ini, wajahnya mendadak merah. Dari pada terus berdiam diri, Yena bangkit lalu menyimpan kembali kedua pedangnya. "Aku harus segera memberitahu Yang Mulia."
🍂🍂🍂
Di Kota Reda. Yena tiba dengan selamat di depan rumahnya tanpa satu bagian badan pun yang kurang. Dia mengetuk pintu, tak sabar ingin bertemu dengan ibunya, Layha.
"Yena! Akhirnya kamu pulang, sayang." Raut wajah Layha melihat anaknya pulang, sangat tampak kegembiraannya. Memeluk erat kemudian menciumi pipi Yena.
Yena tersenyum lega. "Maaf Bu, aku baru pulang. Pasti Ibu sudah mendengar kepulanganku beberapa hari lalu."
Layha menepuk kedua lengan Yena sambil tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Ibu tahu kamu sedang banyak sekali pekerjaan. Lelah 'kan sekarang?"
"Iya."
"Ya sudah, sana mandi. Ibu akan memasak menu makan malam kesukaanmu."
"He'em."
Layha bergegas pergi ke dapur setelah mendapat anggukkan dari Yena. Dirinya tampak bersemangat memotong-motong daging mentah di atas alas kayu. Sebuah wajan penggorengan sederhana menempel pada tungku pembakaran yang belum dinyalakan.
Tanpa pikir panjang, Yena segera menggantung pedangnya di kamar sambil membawa pakaian ganti. Kemudian berjalan menuju tempat mandi di belakang rumah lalu mengecek tempat penampungan air.
"Oke, masih penuh."
Dengan kata lain Yena tidak perlu menimba air di oase terdekat. Beruntung sekali! Biasanya setiap pulang ke rumah, tempat penampungan air selalu kosong. Yena harus bolak-balik dari sumur umum—dekat oase—ke rumah hanya untuk mengisi penampungan air. Kebetulan di rumahnya juga sama sekali tidak ada sumur. Rumah pemberian Raja Firan pun ada di oase tersebut.
"Segarnya ...."
Seperti biasa, setelah mandi Yena selalu memakai kaus putih dengan bawahan celana panjang. Rambutnya yang basah dibiarkan tergerai. Yena sudah tidak sabar lagi ingin mencicipi masakan sang ibu. Dirinya berjalan masuk ke rumah dan disambut oleh pemandangan yang janggal di dapur. Seorang pemuda duduk di lantai dengan santai di sebelah Adam. Mereka tampak akrab, bahkan si pemuda sampai menyuapi Adam dengan riang gembira.
Semakin melangkah, makin jelas pula sosoknya. Kening Yena berkerut, mengerjap beberapa kali. "Kau?"
Pemuda asing menatap Yena, membalas dengan senyuman ramah.
"Oh, kalian saling kenal?" tanya Layha sembari menyimpan sepiring besar acar daging di meja, disajikan dengan roti khubuz—roti bulat nan gepeng.
Yena tidak percaya dengan apa yang dilihat kedua matanya. Ibu bahkan tampak begitu akrab dengan pemuda di depannya. Jika benar pemuda asing ini adalah si pembunuh gurun, mustahil melakukan sesuatu yang tidak berguna begini. Yena merasa pening seketika.
"Ya ampun! Sayang, kamu kenapa?" pekik Layha lekas menahan lengan Yena yang sedikit oleng. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Dia sampai meninggalkan peralatan makan yang sedang dibereskan.
"Ti-tidak, Bu. Aku hanya sedikit lelah," sergah Yena menepis pelan bantuan dari Layha. Kemudian Yena bergegas menuju kamar dan menutup pintu cukup nyaring. Dia membutuhkan waktu beberapa menit untuk menenangkan diri.
Mau tidak mau Yena harus menghadapi kenyataan. Sebab perutnya terus mengalunkan lagu kelaparan di kamar ini. Meski sudah bermacam gaya tidur dia coba, dari gaya terlentang sampai tengkurap, perut menyebalkannya tidak mau berkompromi. Pada akhirnya Yena terpaksa keluar kamar dan duduk berhadapan dengan pemuda itu.