Chereads / ADURA / Chapter 11 - Bab 10 — Sihir Hitam

Chapter 11 - Bab 10 — Sihir Hitam

Harith menanggalkan pakaian kebesarannya—pakaian tersebut adalah milik mendiang Raja Ghani yang sempat dikemas oleh para pelayan sebelum pemberontak masuk ke wilayah istana—sedangkan pada tubuhnya, hanya menyisakan celana dalam. Kedua kaki melangkah menuju danau perlahan, ingin membersihkan tubuh.

"Air danau ini terasa dingin, mungkin karena masih pagi ...," gumam Harith seketika membasuh wajah. Rambut hitamnya berkilau terkena sinar mentari, begitu pula netra kuning emas miliknya ikut berkilat.

Indra penglihatan terpejam, sudah seminggu Harith tidak merasakan air menyentuh tubuhnya. Dengan begini, ia merasa segar kembali.

Kusak!

Harith mempertajam pendengaran, semak-semak di belakangnya sangat mencurigakan. Dari sana terdengar percakapan-percakapan kecil, sayangnya Harith tidak begitu mengerti apa yang mereka obrolkan.

"Kau saja!" seru seorang wanita cukup jelas. Terdengar alas kaki berujung tumpul menjejak keluar dari semak. Dapat dipastikan ada seseorang di belakang Harith.

"Siapa?" tanyanya dengan netra melirik kebelakang tanpa menoleh.

"Pa-pangeran ... saya membawa pakaian bersih untuk Anda."

Rupanya seorang pelayan wanita, Harith sangat mengenal suara ini, dia Kaila. Bibirnya menyunggingkan senyum sesaat. "Simpan saja di sana, jangan lupa ambil pakaian kotornya."

"B-baik!" Kaila bergegas menyimpan pakaian bersih pada batu besar kemudian membawa pakaian kotor.

"Oh ya, pakaian dalamku juga jangan sampai tertinggal."

"Pakaian dalam?" Kedua bola mata Kaila beredar, mencari sesuatu berbentuk celana pendek berwarna salem. "Tidak ada ...," gumamnya seraya memeluk pakaian kotor.

Harith berdeham untuk menyamarkan rasa ingin tertawa. "Bukan di sana ...."

"Lalu?" Pandangan Kaila tertuju pada punggung sang pangeran, merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Jangan bilang kalau pakaian dalamnya masih ada di ...

"... di sini, cepat ambil."

Wajahnya langsung bersemu merah, Kaila tak mampu menyembunyikan rasa malunya. Pangeran Harith benar-benar senang sekali mengerjainya. Pakaian dalam basah itu tergantung pada ujung jari pangeran. Bagaimana cara dia membawanya? Duh!

Terpaksa, Kaila harus mengambil pakaian dalam tersebut. Dengan berat hati dirinya melangkah kaku menuju pinggiran danau seiring dengan debaran jantung yang mulai tak karuan. Untung sang pangeran tidak berbalik, Kaila bisa saja pingsan jika itu terjadi.

Seseorang yang melatih diri seperti Pangeran Harith, jelas memiliki bentuk tubuh yang ideal, tak usah dijabarkan seberapa idealnya. Namun, bagi perawan seperti Kaila melihat tubuh perjaka bukanlah hal yang wajar, apa lagi tubuhnya Pangeran Harith. Tidak, itu kurang ajar namanya.

Tiba-tiba saja sesuatu melayang dan terjatuh tepat dipelukan Kaila. Pakaian dalam mendarat dengan sempurna.

"Pergilah, kau tidak perlu kemari. Dasar mesum," cerca Harith sembari tersenyum puas.

Sungguh! Kaila ingin mengamuk sekarang. Pangeran Harith tega sekali mempermalukannya di depan pelayan lain. Lihatlah para pelayan itu sedang mentertawakan Kaila di balik semak. Meski pangeran memiliki hubungan cukup dekat dengan Kaila, seharusnya pangeran bisa menjaga batasan. Sayangnya, hal semacam itu tidak berlaku bagi pangeran.

Sebal. Sebal. Sebal. Kaila hanya mampu mengentak-entakan kaki dan segera pergi sebelum pangeran melakukan kejahilannya yang baru. Pelayan dalam semak segera keluar dan mengekor Kaila.

Setelah mandi, Harith bergegas memakai pakaian dalam dan jubah berlapis dengan kain dililitkan sebagai ikat pinggang. Tujuannya sekarang ke tempat pelatihan memanah.

🍂🍂🍂

Harith tersenyum melihat kemajuan Syamsi meningkat pesat. Anak panahnya sukses mendarat dengan sempurna di daerah putih—pada papan target berbahan dasar kayu—paling kecil jangkauannya. Bahkan sampai ada yang pas di tengah membelah anak panah yang lain.

"Wow, hebat! Kemampuan memanahmu sudah jauh di atasku," puji Harith, bertepuk tangan dengan senyum terkembang sempurna.

Syamsi berlutut, terkejut melihat kedatangan Pangeran Harith yang mendadak, ia berkata, "Pujian Anda terlalu berlebihan, Pangeran. Maaf karena saya tidak menyadari kehadiran Anda."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kau sedang berkonsentrasi. Berdirilah!"

Dengan patuh Syamsi segera berdiri dari posisi berlutut. "Terima kasih, Pangeran."

Harith berjalan menuju lingkaran target, ia mencabut anak panah yang tertancap dengan mudah. "Mengenai Syamsir ... apa ada kabar terbaru tentangnya?"

Syamsi menggeleng. "Tidak ada kabar apapun. Mungkin saja memang tidak terjadi hal buruk, tapi saya masih tidak mengerti mengapa saudara saya harus menahan detak jantungnya seperti itu jika tidak dalam keadaan genting."

Sementara di lain pihak ...

Maafkan aku Syamsi. Kau pasti begitu menderita. Aku tidak bisa membiarkan suasana hati ini tampak jelas olehnya, suara hati Syamsir. Dia tampak menekan dadanya, ekspresi wajah sedih tercetak jelas di sana. Sesuai rencana, dia memimpin jalan menuju ke kediaman Tuan Guru, di pinggir kota.

Terlihat jelas rumah sederhana dari kayu, rumahnya Tuan Guru. Tanpa pikir panjang Syamsir segera mengetuk pintu beberapa kali.

"Bagaimana?" tanya Yena.

Syamsir menghela napas dan menggeleng lemas. "Sepertinya Tuan Guru tidak ada di dalam."

Yena mengernyit kemudian memperhatikan sekitar. Kediaman Tuan Guru terasa janggal, meski tidak memiliki istri setidaknya halaman rumah haruslah bersih, tapi ini ... banyak pasir yang menumpuk menjadi kotoran pada jendela.

Yena menendang pintu yang terkunci, pintu kayu sukses terbuka. Tanpa izin dari pemiliknya ia segera menerobos masuk ke dalam. Syamsir mengerjap beberapa kali, takjub dengan mental Yena. Seorang gadis tapi bisa setenang ini. Jika gadis biasa mungkin sudah mundur seribu langkah.

"Tuan Syamsir, kemarilah! Lihat apa yang saya temukan di sini," Yena memekik dari dalam rumah, menyadarkan lamunan Syamsir, seketika menyusul ke dalam.

Ternyata, ada mayat Tuan Guru tergeletak di lantai. Syamsir menutup hidungnya refleks. Lagi-lagi Syamsir takjub dengan wanita tangguh di sampingnya. Tidak terganggu sama sekali dengan mayat di hadapan.

"Kenapa bisa begini?" tanya Syamsir pada dirinya sendiri.

Yena berlutut di samping Tuan Guru, mengamati dengan seksama. Sepertinya Tuan Guru terbunuh oleh sesuatu, tapi anehnya tidak ada bekas luka sedikit pun di sekujur tubuhnya. Yena mulai curiga, jangan bilang yang membunuh Tuan Guru adalah ...

"Pengguna sihir hitam," pekik Syamsir ketika melihat memar pada dada sebelah kiri Tuan Guru yang telah dibuka oleh Yena. Sepertinya pelaku langsung menyerang bagian vital.

Yena terpejam sesaat setelah membuka pakaian Tuan Guru lalu segera bangkit. "Sungguh mengejutkan, seorang pengguna sihir membunuh si jenius dari Kerajaan Altair. Bagaimana menurut Anda, Tuan Syamsir?"

Netra Syamsir mulai menajam. Kini gilirannya yang berlutut, mengeledah pakaian Tuan Guru. Syamsir mendapatkan sebuah paripus kecil dalam saku celananya, tertulis aksara aneh. Ia bangkit kemudian menyodorkan kertas kecil tersebut pada Yena. "Saya tidak mengerti bahasa tulisan ini, mungkin Nona Yena mampu menerjemahkannya."

Paripus kecil berpindah tangan, Yena segera keluar dari dalam rumah untuk membaca aksara yang tertulis. Yena seketika menggeleng lemas. "Saya juga tidak tahu bahasa apa ini, aneh sekali."

"Lalu, kita harus bagaimana sekarang?" tanya Syamsir ikut keluar, dirinya memungut gulungan kecil yang hampir terbuang oleh Yena. Ceroboh juga, pikir Syamsir.

Yena segera mengambil ikat rambut dari dalam saku celana pendeknya, rambut panjang diikat tunggal seperti ekor kuda. "Tuan Syamsir, tolong urus mayat Tuan Guru. Saya sendiri yang akan memberitahu Yang Mulia Firan tentang kabar buruk ini."

"Baiklah, saya akan mengebumikan Tuan Guru dengan layak."

Yena tersenyum tipis, sedikit menunduk sebagai bentuk rasa hormat—status Syamsir dan Yena bisa di bilang setara.

Sosok Yena mulai tak terlihat, hilang dari kelokan. Syamsir menatap paripus kecil tadi, dirinya mengambil air dari ember sumur milik Tuan Guru. Gulungan tersebut dibilas dengan perlahan, terlihat aksara sebelumnya melebur. Kini tulisannya dapat dibaca dengan baik.

______________________________________________

Adik Syamsir,

Maaf, paman tidak bisa bertahan hingga akhir. Yang Mulia Firan sudah tahu paman telah berkhianat dan menyusupkanmu. Tapi untunglah beliau tidak tahu tentang Adik Syam.

Setelah menulis surat ini, paman memakan pil penghilang ingatan pemberian Adik Syam agar mereka tidak dapat mendeteksi keberadaan Pangeran Harith. Waspadalah, jangan sampai bertindak gegabah.

Tolong sampaikan juga salamku pada Pangeran Harith. Katakan padanya, terima kasih karena sudah bertahan hingga sekarang.

Tertanda

Pengawal Pribadi Raja Ghani,

Guru Danma

______________________________________________

🍂🍂🍂

Yena baru saja memberitahukan kabar buruk pada Raja Firan. Kabar ini pasti membuat sang raja kalang kabut. Seharusnya sih begitu. Namun, dugaan Yena tidak sepenuhnya benar. Justru Raja Firan terlihat biasa-biasa saja. Aneh? Memang. Padahal yang terbunuh adalah orang penting dari Kerajaan Altair.

"Yena."

"Ya? Ada apa Yang Mulia?"

"Kau fokus pada tugas utamamu saja. Tentang kematian Danma, kau tidak perlu khawatir. Aku yang akan mengurusnya."

"Baiklah, saya mengerti Yang Mulia."

Setelah memberi tahukan semua informasi, Yena segera pamit undur diri. Ia keluar dari ruang kerja raja. Saat itu juga, Yena langsung teringat buku Adura, baru sadar tertinggal di kota Denvail.

"Ash! Aku kelupaan!" Yena bergegas menuju rumahnya ingin mengambil kuda, tapi sebelum itu ia pergi ke pasar kota dulu, membeli beberapa makanan berat sebagai bekal di perjalanan.

Pada saat memilah dan memilih makanan, sekumpulan penduduk sedang bermain permainan otot. Biasanya yang mengikuti permainan tersebut adalah para pria. Mereka mengadu kekuatan tangan sebagai taruhan. Pemenangnya bisa membawa semua uang yang di pertaruhkan, cukup menarik bukan?

Yena membayar makanan kemudian memasukannya ke dalam kantung besar—tersimpan pada punggung kuda miliknya—karena penasaran ingin melihat siapa saja peserta pertandingan tersebut. Kemudian dirinya berjalan menuju kerumunan orang dan benar saja, sesuai dugaan, para pria yang mengikuti permainan merupakan orang-orang dengan tubuh berlapis otot. Netranya melihat dua meja di sana dan dua peserta pertama sudah memulai permainan. Permainan tersebut dinamakan Adu Panco.

"Baiklah, saudara-saudara. Kita kedatangan tamu spesial. Seorang pemuda biasa ingin mengikuti permainan ini. Siapa namamu, Anak Muda?"

"Hazard." Kali ini Hazard tidak menggunakan masker dan syal merah. Rambutnya pun berubah menjadi hitam—sedang melakukan penyamaran.

"Wah, nama yang bagus. Kau ingin mempertaruhkan berapa dirham?"

"Sekantong dirham." Hazard memunculkan sekantong penuh uang dan menyimpannya di meja taruhan.

"Wow, hebat!"

"Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Entahlah ...."

"Dia pasti anaknya saudagar kaya!"

"Atau mungkin dia mencuri dari orang kaya!"

"Wah!"

"Tenang saudara-saudara. Pertanyaan terakhir belum dijawab. Jadi anak muda, kau ingin mempertaruhkan siapa?"

"Saya ingin melawan orang itu." Hazard menunjuk pria berotot, peserta pertama yang sudah mengalahkan lawannya.

"Maksudmu, kau ingin menjadi penantang?"

"Iya."

"Hoo, sungguh anak muda pemberani." Pembawa acara menggeleng tak percaya dengan pilihan Hazard.

"Baiklah, karena anak muda ini begitu bersemangat. Saya akan ikut bertaruh juga. Sekantong dirham untuknya," ucap pembawa acara, menyuruh ajudannya untuk mengambil sekantong dirham dari punggung unta.

"Gila!"

"Orang itu tidak waras!"

"Bagaimana mungkin dengan tubuh seperti itu?"

Penonton semakin berkicau tiada henti. Hazard pun duduk di depan pria yang ditunjuknya tadi.

"Aku akan memberimu satu kesempatan, Anak Muda. Tidak perlu memaksakan diri." Akhirnya pria berotot itu membuka suara, merasa iba melihat tampilan Hazard.

"Tidak perlu basa-basi, ayo selesaikan." Hazard membuka jaket kulitnya, lengan berotot itu terekspos karena kaus yang digunakan tanpa lengan. Namun, jika di bandingkan dengan pria di hadapan massa ototnya masih kalah.

Pria itu tersenyum kemudian segera memposisikan tangan agar menyilang dengan Hazard.

"Menarik, kita lihat siapa yang akan memenangkan permainan ini," gumam Yena, lengannya terlipat di dada, menunggu permainan dimulai.

"Baiklah, Bersiap. Mulai!"

Penonton bersorak. Si pria tampak kesulitan menjatuhkan tangan Hazard. Urat-urat lehernya jelas terlihat, bulir-bulir keringat berjatuhan dari pelipis. Sedangkan Hazard malah menguap. Semua penonton terheran-heran bahkan sampai ada yang membeku di tempat.

"Yak! Anak muda yang menang!" Pembawa acara itu mengacungkan lengan Hazard. Senyuman puas terukir jelas di wajah Hazard.

Penantang demi penantang terus berdatangan dan Hazard selalu bisa mengalahkan mereka. Para penonton mulai mempertaruhkan Hazard sebagai jagoannya.

"Ayo, siapa lagi yang ingin melawan pemuda ini?"

Selama beberapa menit tidak ada yang bersuara. "Sepertinya sudah tidak ada penantang lagi. Baiklah saya—"

"Tunggu, saya ingin menjadi penantangnya."

Seorang pria di balik kerumunan mengacungkan tangan. Pria itu berjalan hingga sosoknya terlihat jelas.

"Eden?!" Yena memekik melihat Eden dengan jubah hitam kerah tinggi berlapis emas pada pinggirnya, pakaian resmi seorang panglima. Ia muncul tiba-tiba dan duduk di depan Hazard.

Kedua pria saling memunculkan listrik melalui pandangan. Eden dan Hazard. Siapakah yang akan keluar menjadi pemenang?