"Nyonya Chayra." Harith menatap punggung Chayra, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandung.
Sore ini Chayra terpaku di pinggir danau, menatap sang surya yang akan segera tenggelam dari peraduan. Tangan kanannya menggenggam sebuah gulungan paripus dari Hazard, dikirim untuk Harith. Dia mengembuskan napas dalam sembari menatap riak air. Chayra berbalik dan tersenyum sahdu. "Pangeran, Anda masih ingat tentang saudara kandung seayah? Namanya pun Hazard."
"Saya masih mengingatnya Nyonya, tapi nama Hazard pun banyak yang menggunakan. Apakah mungkin assassin hebat sepertinya?"
"Bisa saja, kita hanya perlu mencari tahu ...."
Harith tertegun, kira-kira adakah cara tepat untuk menguak identitas assassin bernama Hazard itu? Kebetulan yang mengejutkan. "Bagaimana dengan tanda lahir?" tanya Harith penasaran.
"Pangeran Hazard memang memiliki tanda lahir, tapi masalahnya ...."
"Masalahnya?"
"Tanda lahir Pangeran Hazard berada di bawah pusar," tutur Chayra lemas.
Harith melotot. Mendadak gambaran rencana hebat muncul di benaknya.
"Tuan Hazard, cepat buka pakaian Anda. Saya ingin melihat sesuatu yang ada di bawah pusar."
Hazard menyilang tangannya di dada. "Hee? Maksud Pangeran apa? Anda tidak bermaksud—"
"Tenang saja, saya hanya ingin melihat itu, di bawah pusar. Anda tidak perlu khawatir." Harith menyeringai, netranya berkilat-kilat ingin segera menelanjangi Hazard.
"Tunggu-tunggu! Ini salah! Apa yang Anda lakukan?!"
Seketika Harith menggeleng, gambaran rencana yang sangat konyol. Jika mengunakan cara itu, wibawanya sebagai pangeran akan runtuh. Tidak, tidak, harus memikirkan cara lain.
"Pangeran! Saya kembali!" seru seorang pria dengan semangat membara turun dari kudanya dan berlari sembari membawa paripus di tangan. Ia segera berlutut dengan napas tersengal-sengal. "Ho-hormat saya kepada Pangeran Harith."
"Berdirilah. Sepertinya kau membawa sesuatu yang penting," titah Harith, menatap gulungan paripus yang digenggam Syamsir.
Syamsir bangkit, mengulurkan tangannya pada Pangeran Harith. "Ah, ini ... dari Guru Danma, Pangeran."
"Danma? Pengawal Pribadi Raja Ghani? Setahuku dia orang yang berkhianat." Chayra menatap Harith cemas. Namun, Harith tersenyum meyakinkan agar tidak terlalu khawatir.
Kemudian Harith menerima paripus tersebut, membuka ikatan tali kecil pada gulungannya lalu membaca dengan seksama. Senyum tipis seketika tampak pada bibirnya. "Nyonya perlu membacanya juga," ujarnya sembari menyodorkan paripus.
Chayra langsung mengambil dan membaca paripus itu. Tanpa sadar dirinya mengusap netra yang mulai berair. Chayra tidak habis pikir, ternyata ada orang yang begitu setia pada Yang Mulia Ghani. Sungguh, dirinya tak mampu berkata-kata.
Harith tersenyum haru. Ia ingin menenangkan Chayra, tapi takut tidak sopan. Jadi, dirinya hanya berdiri sembari menepuk pelan punggung Chayra.
Dari kejauhan, seorang pria muncul dengan aura membunuh yang sangat pekat. "Syamsialan! Kemari kau!" Syamsi menjejak keras-keras lalu menjitak saudara kembarnya dengan penuh amarah. Harith dan Chayra sempat terkejut dibuatnya.
"Ini adalah balasan dariku karena kau selalu seenaknya!" pekik Syamsi.
"Ke-kenapa kau tega sekali, saudaraku ...." Syamsir merengek seperti bayi.
"Heh! Tak usah menangis! Aku peringatkan, jangan pernah sekali-sekali menahan rasa sakit dari pukulan orang lain. Karenamu, aku jadi merasakan sakitnya juga! Dasar sial!" Syamsi bersungut-sungut kemudian segera pergi dengan langkah lebar.
Di hadapan saudaranya, Syamsir hanyalah bayi yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Lihatlah matanya yang mulai berair. Benar-benar!
Melihat kelakuan sepasang saudara kembar ini, Harith baru sadar, pada pipi sebelah kiri Syamsir terlihat sedikit bengkak dan membiru. "Syamsir, ada apa dengan wajahmu? Kau baru saja berduel?" tanya Harith heran.
Refleks Syamsir menutupi sebelah pipinya. "Oh! I-ini ... sa-saya ... jatuh dari kuda."
Ada yang tidak beres. Harith mencium bau-bau kebohongan. Bagaimana bisa terjatuh, tapi yang membengkak justru pipinya? Tidak masuk akal. "Jujur saja. Ada sesuatu yang menarik terjadi di sana, bukan?" tanyanya sambil merangkul dan menatap tajam Syamsir yang mulai menciut.
"Sa-saya ... saya ... melakukan kesalahan sedikit. Tak begitu penting, Pangeran."
Pangeran pasti akan menertawakanku jika tahu yang membuat bengkak wajahku hanya seorang wanita. Padahal sudah berhari-hari, tapi bekasnya masih ada. Ditambah aku harus menerima hukuman dari Panglima Eden dulu sebelum ke sini. Akan sangat memalukan jika aku jujur pada Pangeran Harith.
Jadi, dua hari yang lalu, telah terjadi kejadian unik.
"Untung saja aku langsung kabur, malas sekali jika harus mengganti rugi perbuatan si Eden itu." Yena berjalan santai setelah berhasil kabur dari kedai menuju ke rumahnya. Namun, tiba-tiba dirinya teringat Syamsir.
"Terakhir aku melihatnya di pasar. Aku baru sadar Tuan Syamsir tidak ikut makan bersama. Kemana dia sekarang?" Yena nopang dagu, masih penasaran dengan identitas Syamsir. Mendadak indra pendengarannya menangkap suara burung elang.
Ketika melongok ke sebuah celah bangunan sempit, netranya menangkap seekor burung elang tengah bertengger pada lengan seseorang. Segera, dia menjejakkan kaki perlahan, mendekati seseorang yang memunggungi. Ternyata itu Syamsir.
"Tuan Syamsir, Anda sedang apa?" tanya Yena seraya berdiri dengan tangan terlipat di dada.
Syamsir terlonjak kaget. Burung elang terbang dengan liar ke arah Yena. "Astaga! Nona! Tangkap burungnya!"
"Sial!"
Bruk!
Syamsir menelan ludah. Kedua telapaknya sukses mendarat pada dua gundukkan kembar. Seketika wajah memerah sepenuhnya.
Tanpa merasa berdosa burung elang terbang lagi dan hinggap di atas atap penginapan. Jangan ditanya soal Syamsir, ia keluar sambil memegangi pipi sebelah kiri. Pipinya tampak membiru.
"Anda sedang apa? Paripus dari siapa itu?" tanya Yena. Wajahnya terlihat masih kemerahan karena kejadian tadi.
"Saya sedang membalas isi paripus dari teman, tapi Nona membuat saya terkejut, jadinya saya tidak sempat membalas." Syamsir menekuk wajahnya kesal. Ingin marah tapi tidak bisa, wajar saja Yena meninju pipinya karena refleks.
"Oh, begitu, Anda seharusnya jangan tiba-tiba menghilang. Panglima Eden pasti akan marah besar."
"Saya tahu, terima kasih sudah mengingatkan. Saya pergi dulu, Nona," ucap Syamsir sembari membungkuk hormat.
Begitulah... Syamsir bersumpah tidak akan pernah menjawab pertanyaan pangeran.
"Ya sudah, lupakan saja." Pangeran melepas rangkulannya, meninggalkan Syamsir begitu saja.
Syamsir dapat bernapas lega. Untung pangeran tidak bertanya lebih lanjut. Namun, ia lupa masih ada Nyonya Chayra. Padahal tadi masih tersedu-sedu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Beliau mendekati Syamsir sambil tersenyum bangga.
"Anak muda jaman sekarang cepat sekali dewasanya. Pengawal Syamsir, Anda tidak bisa membohongi seorang ibu loh," bisik Nyonya Chayra, "jadi siapa?"
"Siapa apanya?"
"Orangnya ...."
Sedetik kemudian Syamsir menutup kedua telinga yang memanas. "Ma-maksud Nyonya apa? Ahahaha, saya tidak mengerti!"
Nyonya Chayra tampak terkekeh. "Tidak perlu malu, saya hanya merasa senang. Pada akhirnya Pengawal Syamsir bisa merasakan cinta juga. Berarti tinggal Pangeran Harith dan Pengawal Syamsi yang belum merasakannya."
"Semoga berhasil!" Nyonya tersenyum menyemangati lalu segera menyusul Harith.
"Ci-cinta? Sayangnya aku malah menyukai musuhku." Seketika Syamsir kehilangan semangat hidupnya.
🍂🍂🍂
Setelah sehari semalam dalam perjalanan, Yena sampai di kota Denvail. Ia beristirahat lebih lama dalam penginapan yang dulu. Mungkin karena badai yang terjadi, mengakibatkan tenaganya terkuras habis. Untung Pemilik Penginapan begitu baik, beliau menyimpan buku Yena yang tertinggal. Sebagai bentuk terima kasih karena Yena telah menolongnya dari kematian.
Meski dalam situasi liburan, Yena tak ingin melewatkan kesempatan emas. Karena kota Denvail merupakan sarangnya para assassin. Ia harap bisa bertemu si pembunuh gurun untuk yang kedua kalinya di sini.
Yena memasuki Bar Baffet di malam hari, bar paling terkenal di kota Denvail. Para assassin hebat biasanya berkumpul di sini. Untuk menyamarkan kehadirannya, Yena memakai masker mengikuti gaya si pembunuh gurun.
Kebetulan wanita penghibur di bar ini mulai melaksanakan aksinya. Mereka menari meliuk-liuk bagai ular yang siap menerkam mangsanya—mengikuti alunan musik, tapi ular tidak akan bisa menang jika yang mereka lawan adalah harimau lapar, dan sepertinya para pria yang ada di Bar ini merupakan harimau lapar itu.
Tidak. Jangan gagal fokus! Yena harus segera menemukan sosok pria itu di sini.
"Nona Yena?"
Yena menoleh kaku, merespons orang yang memanggilnya. Rupanya itu Mysha. Perempuan berambut kuning itu lekas menarik Yena ke dalam ruang rias dan menutup pintu kayu rapat-rapat.
"Mengapa Anda berpenampilan seperti ini Nona? Ya ampun!" pekik Mysha terkejut melihat pakaian yang dikenakan Yena sambil memutar-mutar tubuhnya kemudian menggeleng tak percaya. Pakaian itu hampir menyerupai pakaian para assassin.
"Itu ... ceritanya panjang. Yang jelas aku sedang mencari seseorang di sini," jawab Yena sedikit ragu.
"Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan pembunuh gurun."
"Nona salah jika mencarinya di sini. Pria bermasker sudah tidak berkunjung lagi setelah kejadian hari itu," jelas Mysha seraya duduk di kursi dekat meja rias, "tapi, Anda bisa mencarinya di tempat lain," lanjutnya.
Kening Yena berkerut tak mengerti. "Tempat lain?"
"Iya, saya sering melihatnya berada di taman kota sendirian. Tengah malam sambil membaca buku, mungkin karena di taman kota banyak lenteranya. Tapi, agak aneh juga sih, kalau di pikir-pikir. Membaca buku malam-malam," tutur Mysha.
"Ah! itu artinya dia sedang berada di sana sekarang?"
Mayra tersenyum kemudian bangkit dari duduk. "Nona mau saya antar?"
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Terima kasih informasinya. Kapan-kapan aku ingin makan-makan denganmu, boleh?"
"Tentu saja, saya akan sangat senang sekali. Hati-hati, Nona."
"Tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri. Sampai jumpa lagi, Mysha."
Mysha membalas lambaian tangan Yena. Tersenyum setelah Yena benar-benar tak terlihat lagi.
Belum juga bertemu dengan pembunuh gurun, jantungnya sudah berpacu kencang. Apa lagi nanti, jika bertemu langsung dengan si pembunuh mungkin Yena bisa saja pingsan. Perbandingannya lima puluh banding lima puluh. Semoga saja tidak.
Jantung Yena terasa berhenti sejenak. Benar! Pria bermasker itu sungguhan berada di taman kota. Pria itu duduk di bawah pohon dan bersila sambil membaca buku. Tengah malam seperti ini, taman kota tidak lagi ramai. Sangat sepi, memang cocok dijadikan tempat bacaan karena pencahayaan dari lentara yang menempel pada pohon.
Yena melangkah perlahan. Berjinjit agar tidak meninggalkan suara. Namun, pendengaran si pria sangatlah tajam. Pria itu bahkan berhasil menemukan posisi Yena. Sosoknya melesat, melarikan diri dengan cepat.
"Sial! Aku kehilangan jejaknya." Yena merutuki diri karena tak mampu mengimbangi kecepatan berlari si pria. Dirinya terus mengejar hingga sampai di sebuah tempat lengang yang ada di kota Denvail.
Mendadak suara angin terdengar seperti melesat dengan sangat cepat di samping kanan dan kiri Yena. Dirinya menggigit bibir, merasa tertekan.
Si pria mendadak ada di belakang Yena. "Hai, ingin berkenalan denganku?"
Yena berbalik, pria itu sudah tidak ada di belakang. Sial! "Kau! Dasar Pengecut!" Yena tersulut. Suasana ini sungguh mencekam. Dia teringat cerita para saksi, sama persis dengan yang dialaminya sekarang.
Pria itu bukan manusia!
Yena mengambil kedua pedangnya, memasang kuda-kuda. Siap atau tidak dirinya harus mencoba melawan. Jika tidak, ia akan mati dipecundangi.
Seseorang menyeringai dari balik masker. Ia mengaktifkan energi alam dalam diri tanpa perlu merapal mantra. Pasir yang semula tenang, mulai bergumul seperti badai. Pohon-pohon kaktus tercabut dari akarnya.
Badai ini tidak menyakitiku tapi membuat udara disekitarnya terasa menyesakkan, pikirnya. Yena memegangi leher, tenggorokannya mulai kering dan sakit karena udara sekitar yang berubah.
Pria itu melesat, menyerang dari atas. Sudut mata Yena melihat keberadaannya, ia menangkis serangan si pria dengan menyilang pedang.
Trang!
"Aku berhasil!" seru Yena. Dirinya berhasil memukul mundur lawan. Pria itu mendarat tetap di depan Yena, menunjukkan masker kain. "Nona cantik, ini maskermu, 'kan?"
Yena menelan ludah, tubuhnya sukses berkeringat dingin. Ia menatap masker yang berpindah tempat. Bagaimana ini? Pria bermasker sama sekali bukan tandingannya.