Di hari yang cerah, Yena membeli sepotong roti tamis untuk sarapan sembari melihat-lihat keadaan kota Reda tempat berdirinya Kerajaan Altair. Dari luar, kondisi kota memang tampak sejahtera. Rakyatnya menjalankan aktivitas dengan baik tanpa halangan yang berarti, tapi jika masuk lebih dalam orang-orang tak berharta diperlakukan semena-mena. Banyak yang dijual kemudian jadikan budak atau yang lebih parah dipekerjakan paksa tanpa makan hingga mati. Yena, Adam, dan ibunya bisa bertahan hingga sekarang berkat kemampuan Yena sebagai pengguna pedang. Mungkin jika Yena bukan siapa-siapa, dirinya sudah menjadi budak seorang saudagar kaya.
Bangunan di kota Reda sudah cukup mewah, mereka menggunakan kayu berkualitas tinggi dari Negeri Aisty[1], bahkan sekarang sebuah pohon bisa tertanam di Negeri Alraml, bukan hanya tumbuh di sekitar oase saja.
Orang-orang zaman dahulu pernah bilang, Negeri Alraml dulunya tidak seperti ini. Karena bangunan-bangunan pada zaman dulu kebanyakan terbuat dari lumpur dan susu. Berkat kekuasaan Raja Firan, beliau bisa dengan mudah membeli berton-ton kayu berkualitas tinggi dengan harga murah. Meski begitu tanah yang diolah sedemikian rupa menjadi bahan bangunan, bagi orang-orang dengan kekayaan menengah keatas, masih menjadi primadona. Tentu saja karena lebih kokoh dan tahan air.
Sebetulnya beberapa kota mati di Negeri Alraml, dulu merupakan pemukiman yang sejahtera. Raja terdahulu sampai memberikan penghargaan pada Walikotanya. Salah satu kota yang diberi penghargaan adalah kota Mitri. Yah, Kota Mitri, penduduknya di isi oleh orang-orang dengan sifat setia dan kebajikan yang tinggi. Namun, kesetiaan mereka pada sang raja terdahulu membawa kesengsaraan tak berujung.
Mereka berakhir, dalam keterpurukan.
Mungkin bagi manusia seperti mereka, mati dalam keadaan sengsara adalah hal baik. Lebih baik dari pada bahagia dalam penderitaan orang lain.
Roti telah habis dilahap, sejalan dengan langkah Yena sampai ke Istana. Dua pengawal langsung membuka pintu gerbang, mempersilakan Yena masuk. Di tengah perjalanan, dirinya teringat suatu hal, lalu memutuskan untuk menemui Syamsir di tempat pelatihan calon prajurit.
Yena memangku tangan ketika melihat Syamsir sedang melatih para calon prajurit. Sosoknya yang tinggi besar lebih cocok menjadi seorang Panglima Perang dari pada Eden. Yah, itu hanya pendapat Yena saja sih.
"Selamat pagi, Nona," sapa Syamsir dengan senyum mengembang. Ia membiarkan anak didiknya berlatih pedang dengan sesama kawan.
Akibat kejadian tadi malam, Yena jadi sedikit gugup. Senyumnya tampak dipaksakan, bahkan Syamsir langsung menyadari.
"Apakah ada yang salah? Mengapa Nona menatap saya seperti itu?"
"Ekhm, tidak. Saya hanya merasa aneh saja. Padahal semalam Anda terlihat mabuk sekali. Tapi sekarang ... sepertinya Anda baik-baik saja," Yena menyampirkan rambut hitamnya ke telinga, berusaha bertingkah biasa.
Berbeda dengan kemarin, Yena tidak mengikat rambutnya hari ini. Rambut hitam sepinggangnya mengalun dengan bebas, para lelaki jantan di sana sampai gagal fokus. Tak terkecuali Syamsir, beruntunglah ia masih mampu mengontrol ekspresi dengan baik.
Syamsir berdeham lumayan keras sebagai bentuk peringatan untuk anak didiknya. "Mari, Nona. Jangan berlama-lama di sini, mereka tidak akan bisa berlatih dengan serius jika melihat Anda."
"Memangnya saya kenapa? Ada yang salah dengan riasan saya?" Yena berjalan santai sembari menatap Syamsir penasaran.
"Tidak ada. Anda selalu cantik."
"Astaga, rupanya Anda pandai menggoda, ya?" Yena tersenyum, pipinya sedikit bersemu karena dipuji.
Sementara Syamsir langsung tertawa renyah dan berujar, "Saya serius, Nona."
Yena tampak fokus pada pemikirannya sendiri, berusaha mengalihkan obrolan. "Ngomong-ngomong soal semalam, tidakkah Anda mengingat sesuatu?"
"Mengingat sesuatu? Seperti apa?"
"Seperti ... perbuatan konyol yang sudah Anda lakukan semalam." Yena berjalan mendahului, sebuah seringai menghiasi bibirnya.
Syamsir mengernyit, senyumnya mengembang ketika sadar Yena sedang melakukan sandiwara kecil. "Saya melakukan hal konyol? Benarkah?"
Yena memutar tubuhnya, menatap Syamsir tak percaya. "Anda ... tidak ingat sama sekali?"
Syamsir menggeleng sambil berkata, "Tidak. Saya sungguh minta maaf jika malam itu ... sudah merepotkan Anda."
"Syukurlah kalau begitu." Yena tersenyum dengan kedua netra yang melingkar bagai bulan sabit. Jujur saja penampilannya hari ini benar-benar mempesona, aura wanitanya menguar lebih kuat.
🍂🍂🍂
"Sudah berapa hari, ya, saya tidak melihat Tuan Guru? Apakah Anda tahu mengapa Tuan Guru tidak menampakan wajahnya akhir-akhir ini?" Yena bertanya pada Syamsir karena sudah tidak ada pembahasan lain.
Masih di dalam istana, Yena menunggu kehadiran sang raja. Sudah setengah jam lebih keduanya berkeliling di halaman kerajaan, sempat pula berpapasan dengan Istri Pertama Raja yang bernama Alika.
"Sejauh yang saya ingat, Tuan Guru pernah meminta izin secara langsung kepada Yang Mulia bahwa beliau tidak bisa melatih anak didik beberapa hari ke depan."
"Sudah hari ke berapa sekarang?" tanya Yena sembari memangku tangan.
"Hari kesembilan, ada apa memangnya, Nona?"
"Hm, apa Anda tidak curiga? Saya khawatir terjadi sesuatu."
"Maksud Nona? Saya pernah satu kali mengunjungi beliau di rumahnya. Namun, beliau baik-baik saja."
"Di hari ke berapa Anda mengunjunginya?"
"Sekitar enam hari yang lalu."
"Benar, bisa saja terjadi sesuatu setelah Anda mengunjungi beliau."
"Kalau begitu mengapa tidak memastikannya saja sekarang? Sudikah Anda ...." Syamsir berlutut di hadapan Yena, ia mengulurkan tangan dengan hormat.
Rasa canggung memangsa otak Syamsir untuk segera berdiri dari posisinya sekarang. Namun, sungguh Yena adalah tipe wanita idamannya, tanpa ragu uluran tangan dibalas dengan cepat oleh Yena.
"Tentu, mengapa tidak. Kemarilah, segera tunjukan jalan," titahnya seraya tersenyum.
"Baik, Nona," Baru kali ini suasana hati Syamsir begitu baik. Senyumnya merekah tak mampu ditahan. Bahkan kembarannya pun tidak pernah melihat senyuman seperti itu.
Di tempat lain ...
Syamsi mencengkram dada sebelah kirinya. Debaran yang tak pernah ia rasakan ini begitu menyesakan, tapi di sisi lain wajah Syamsi tampak merona bak tomat yang sudah matang.
Syamsi menunggang kuda bersama pangeran Harith, di belakang mereka ada beberapa unta dengan perbekalan di setiap punggungnya. Makanan dan minuman adalah hal wajib yang harus disediakan sebanyak mungkin pada perjalanan panjang ini.
Cukup jauh mereka bergerak, Harith pun memerintahkan rombongannya untuk berteduh pada oase di depan. Setelah sampai, Syamsi turun dari kuda, debaran yang tiba-tiba membuatnya sulit untuk mengendalikan lebih jauh si kuda. Dirinya duduk bersandar di sebuah batang pohon kelapa.
"Kau tidak apa-apa? Wajahmu memerah." Harith menghampiri Syamsi, mencoba menyentuh keningnya dengan punggung tangan. Namun, tidak ada yang aneh dengan suhu tubuh Syamsi.
"Saya pikir ... sesuatu terjadi pada saudara kembar saya. Tapi debaran ini ... sa-saya sama sekali tidak mengenalnya," tutur Syamsi terbata-bata.
"Debaran? Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Syamsir?"
Kedua pria itu tidak menyadari bahwa debaran yang terjadi pada Syamsi ada berkat senyuman seorang wanita Pengawal Raja kepada Syamsir di seberang sana.
————————
Ket.
[1] Negeri Tropis