Chereads / ADURA / Chapter 9 - Bab 8 — Pohon Kehidupan

Chapter 9 - Bab 8 — Pohon Kehidupan

"Ive, bisakah kamu menunggu di sini sebentar?" Sang ratu memandang Ive, bersuara dengan nada penuh keramahan.

"Sa-saya?" tanya Ive menunjuk dirinya sendiri memastikan, "tentu saja Yang Mulia, saya akan menunggu di sini," lanjutnya. Terlihat Ratu Onera menyunggingkan senyum.

Sang ratu berbalik, mulai berjalan menuju ke sebuah lorong dalam kastel. Beliau melambaikan tangan pada Hazard. "Kemarilah, ada yang ingin aku tunjukan padamu."

Hazard mengerjap, lekas berlari kecil mengekor sang ratu. Pada dinding kastel banyak sekali ukiran-ukiran kuno. Kebanyakan bertema tumbuhan dan binatang, layaknya sebuah buku cerita. Ratu Onera berjalan menuju pintu dari batu. Beliau mengambil sebuah batu berwarna biru tua dari balik pakaian sutranya. Batu itu berbentuk lingkaran pipih dengan ukiran simetris. Tatkala dipasangkan pada rongga dalam pintu, pintu tersebut seketika terbuka.

Tanpa berkata Hazard berjalan beriringan dengan sang ratu, menelusuri jalan setapak dari kerikil-kerikil halus. Hingga mereka sampai di sebuah padang rumput. Tak ada satupun pohon tumbuh di sana selain satu pohon besar menjulang tinggi dengan cabang yang melebar. Jika melongok ke bawah pohon, terdapat banyak sekali tengkorak kepala manusia. Ada yang sudah hancur menjadi abu, ada pula yang masih berupa wajah utuh seperti kepalanya Tuan Kaide.

"Hazard, apakah kamu tahu mengapa aku membawamu kemari?" tanya Ratu Tel'onera, pandangannya tak lepas dari pohon besar yang menjulang.

"Saya ... tidak tahu Yang Mulia."

Ratu tersenyum tipis kemudian berbalik badan menatap Hazard. "Sudah saatnya aku memberitahumu tentang Pohon Kehidupan."

Membalas tatapan sang ratu, Hazard merasa akan ada hal penting yang terungkap tentang pohon besar penuh kenangan ini.

Ratu melangkah sekali dan memunggungi Hazard. Ia memulai percakapan, "Hazard, kamu pasti ingat, sebelum kamu ... adikku Ruar'vrede yang mengabdikan seluruh hidupnya demi menjaga Pohon Kehidupan tetap hidup. Dia tidak peduli bahaya apa yang mengintai. Hingga suatu hari, ia harus tidur panjang untuk memulihkan diri akibat luka dari pertempurannya dengan bangsa Manusia."

"Bagaimana mungkin manusia lemah seperti mereka mampu melukai Kakek Vrede?" Menatap kepalan tangannya sendiri. Hazard sungguh baru mengetahui kenyataan ini, ia pikir Kakek Vrede tidur karena sudah waktunya, tapi rupanya dugaan Hazard melenceng.

"Manusia memang makhluk lemah, jangka waktu hidup mereka tidak separuhnya hidup kami, bangsa Elve. Namun, sifat merusak mereka sama besarnya dengan bangsa Iblis dan bangsa-bangsa perusak lainnya di Middle Earth. Itulah sebabnya mengapa bangsa Iblis sangat senang jika menjalin kerjasama dengan bangsa Manusia." Ratu Onera menghela napas, mengenang moyang Hazard terdahulu. "Hazard, kau harus berhati-hati dengan Manusia, mereka bahkan rela menjual jiwanya pada bangsa Iblis. Bangsa Elve sangat lemah jika berurusan dengan energi hitam, itulah yang terjadi pada Vrede, adikku."

Angin berhembus kencang, sepucuk daun tertangkap oleh Hazard. Mendengar penuturan sang ratu, amarahnya bergejolak.

Ratu Onera berjalan menghampiri Hazard, mengambil sepucuk daun yang hampir di remas. "Tenanglah, kau tidak perlu marah. Memang banyak sekali makhluk perusak di muka bumi ini. Namun, aku tidak mau menutup kemungkinan bahwa, masih banyak makhluk-makhluk baik di luar sana."

"Nenek ...." Hazard tak sanggup meneruskan kalimatnya ketika melihat garis lengkung pada kedua netra sang ratu. Di sana Hazard menemukan ketulusan dari sebuah senyuman.

Ratu memunggungi Hazard lagi, lalu berjalan perlahan memandangi pohon besar yang agung di depannya.

"Hazard, semua manusia pasti memiliki keinginan terdalamnya. Sebagai manusia, apa keinginan terdalammu?"

"Tidak ada."

Ratu menoleh, menatap Hazard. Sangat tidak disangka-sangka kata tersebut keluar dari mulutnya. "Tidak ada?" tanya ratu memastikan.

"Ya, tidak ada. Tapi jika Nenek menanyakan keinginan terdalam saya sebagai elve, tentu saja ... Nenek juga tahu, apa keinginan terdalam saya," tutur Hazard menjawab dengan manik yang menajam.

Ratu Onera hampir tertawa mendengar jawaban tulus dari Hazard. Bagaimanapun, Ratu sangat mengerti mengapa Hazard berkata demikian. Sejak bayi, Hazard sudah tinggal dan tumbuh di Negeri Alatar, wajar saja jika ia tidak begitu peduli dengan status manusianya.

"Pantas saja Vrede memilihmu sebagai pengganti dirinya. Ayo, ikuti aku. Ada yang ingin aku tunjukan padamu." Kali ini Ratu Onera menunggu Hazard supaya berjalan beriringan.

Mereka memasuki hutan rimbun yang di dalamnya tidak ada satupun elve maupun peri berlalu-lalang di sekitar. Hanya ada binatang-binatang kecil berlarian ketika langkah demi langkah Hazard dan Ratu semakin masuk ke dalam hutan.

Sang ratu menghentikan langkahnya di sebuah pohon tua. Beliau menengadah dan berteriak. "Tuan Sigra! Lihatlah siapa yang datang!"

Akar pohon tua tertarik dari dasarnya, satu per satu akar pohon itu lepas dari dalam tanah. Terdengar suara angin seperti sebuah napas dalam tubuh si pohon, suara berat muncul dari sana, "Siapa? Jika bukan orang penting jangan mengganggu tidurku." Pohon tua itu kembali ke posisi semula.

"Tuan Sigra ...." Ratu tampak kesal, beliau berusaha untuk tetap tenang dan memaafkan sikap si pohon tua. "Ini saya, Ratu Tel'onera dan Pangeran Hazard. Apakah Tuan sepikun itu sampai lupa dengan suara saya?"

Dari tubuh pohon tua, muncul sesosok makhluk seperti manusia tetapi bukan manusia. Sosok itu terbentuk dari akar-akar pohon dengan tinggi empat kali lipatnya manusia. Ialah Tuan Sigra, telah terbangun dari tidurnya.

"Maafkan saya Yang Mulia Ratu, saya sudah tua. Ingatan saya tidak sekuat dulu." Suara Tuan Sigra dari batu birunya.

Hazard menengadah, baru teringat dengan sosok di hadapan. Sosok yang selalu menjadi teman bermainnya di masa kecil. "Paman Pon?"

"Oh, Pangeran Hazard mengenali saya? Nama asli saya bukan Pon tapi Sigra. Biarkan saya mengenalkan diri secara resmi." Tuan Sigra berlutut lalu melanjutkan, "Perkenalkan, nama saya Sigra keturunan terakhir dari bangsa Ent."

"Saat masih anak-anak saya memanggil paman dengan nama Pon. Kali ini, bolehkan saya memanggil paman dengan nama Pon juga?"

Tuan Sigra melongok kepada sang ratu sejenak kemudian melirik Hazard kembali. "Boleh, saya tidak masalah jika Pangeran lebih nyaman memanggil saya dengan nama tersebut."

"Baiklah, terima kasih."

"Oya, Tuan Sigra. Ada yang ingin Pangeran Hazard tanyakan pada Anda." Sang ratu menatap Hazard seraya tersenyum untuk meyakinkan.

"Apakah itu Pangeran?" Tuan Sigra mengulurkan tangan besarnya pada Hazard.

"Saya ingin menanyakan perihal wanita yang saya temui di Human Earth." Hazard menjejakkan kaki perlahan, duduk pada telapak tangan Tuan Sigra.

"Hmm, Wanita ya ... mari kita cari buku tentang wanita yang Anda maksud."

"Baiklah."

Tuan Sigra berdiri, membawa Hazard masuk ke dalam pohon tua yang ternyata sebuah ruang untuk buku-buku usang. Ratu Tel'onera mengamati dari luar, membiarkan Hazard bersama Tuan Sigra. Sudah seharusnya Pangeran Ukheil itu tahu tentang tugasnya yang sesungguhnya.

🍂🍂🍂

Yena baru saja menemani Raja Firan menghadiri pertemuan penting para menteri. Dalam pertemuan, dapat disimpulkan hanya pejabat-pejabat dari Kerajaan Altair saja yang menjadi incaran si pembunuh gurun. Karena sejauh ini, korban berjatuhan selalu dari pihak Kerajaan Altair. Setelah pertemuan berakhir Raja Firan mengusulkan Yena untuk istirahat beberapa hari, sebelum rencana selanjutnya dijalankan.

Malam ini, Yena bermaksud mentraktir Syamsir makan malam di Kedai Daging. Sebagai tanda terima kasih atas kebaikannya di kota Mitri kemarin malam. Mereka berdua makan dengan lahap, menikmati makan malamnya dengan sebuah kendi berisi khamr[1].

"Anda masih belum mabuk juga, Nona? Ternyata Anda kuat sekali ya." Syamsir berbicara dengan mata mengantuk, akibat khamr yang diteguknya lumayan banyak.

Sudut bibir Yena mencuat, tersenyum puas karena berhasil mengelabui Syamsir. Dari awal Yena hanya meneguk satu gelas kecil, pada tegukan selanjutnya Yena tidak minum sama sekali. Hal ini merupakan sebagian dari rencananya untuk mengulik identitas Syamsir.

Malam semakin larut, Yena segera membayar pesanan. Melihat keadaan Syamsir saat ini, sangatlah menyedihkan. Mata tertutup dengan pipi yang menempel pada meja kayu. Bagaimana seorang Wakil Panglima berhasil dijebak oleh Yena, jika disebarluaskan, akan menjadi buah bibir dalam beberapa bulan ke depan.

Yena memapah tubuh bongsor Syamsir. Meski Yena bukanlah wanita lemah, tetapi Syamsir benar-benar berat. Dia hampir kehabisan napas ketika sampai di penginapan.

"Arghh, apakah semua laki-laki seberat ini?" Yena mengeluh ketika sampai di sebuah kamar, segera ia lepaskan Syamsir ke atas ranjang, lepas pula penderitaan pada bahunya.

"Hahhh ...." Yena merebahkan tubuh di samping Syamsir untuk sejenak mengistirahatkan diri. Setelah merasa baikan, ia segera duduk menghadap Syamsir, memandangi tubuh bongsor itu.

Jemari lentik Yena meraba setiap kantong yang ada pada pakaian Syamsir. Namun, tak ada hasil. Memang seharusnya penyusup tidak menyimpan barang-barang penting sembarangan. Atau mungkin Syamsir menyembunyikan barang tersebut di dalam sarung pedangnya?

Yena menatap sabuk pengikat pada pinggang Syamsir, lalu menyipit. Bisa jadi kecurigaannya benar. Tanpa basa-basi, pinggang Syamsir langsung dipeluk untuk melepaskan sabuknya.

"Nona? Apa yang Anda lakukan?"

Membeku. Kalimat itu berhasil membuat aliran darah Yena terhenti sesaat. Ketika menoleh, Syamsir sudah dalam posisi duduk.

Yena menganga, netranya mengerjap-erjap mencari kalimat yang pas untuk dijadikan sebuah alasan. Namun, tak sempat berkata banyak Syamsir segera membanting Yena ke ranjang. Kedua pergelangan Yena dicengkram dengan erat oleh Syamsir.

"Katakan, apa yang sedang Anda lakukan?"

Yena menatap syamsir intens tak mau kalah oleh suara Syamsir yang mengancam. "Tidak ada, aku hanya sedang menjalankan tugas."

"Menjalankan tugas?"

Sejujurnya dalam kondisi seperti ini, Yena sedikit kurang percaya diri. Posisinya sangat tidak menguntungkan mengingat tubuh Syamsir yang bongsor dan laki-laki. Namun, bukan Yena namanya jika tidak mampu menyembunyikan rasa terdalamnya.

"Begitulah, Yang Mulia Firan mencurigaimu karena kau muncul setelah kematian Wakil Panglima terdahulu. Maka dari itu beliau memerintahkanku untuk mengulik identitasmu sampai keakar-akarnya dan siapa sangka aku menemukan sesuatu yang menarik." Yena menatap Syamsir, senyum puasnya tersungging dengan sempurna.

Cengkeraman pada pergelangan mengeras, membuat Yena menggigit bibirnya. "Kenapa? Kau takut identitasmu terbongkar?"

"Nona, Anda salah memilih lawan." Syamsir mendekatkan wajah, membisikan sesuatu, "Saya tahu Anda tidak menemukan apapun karena saya memang bukan penyusup. Nona, kelakuan Anda yang seperti ini justru membuat saya tertarik."

Yena memukul wajah Syamsir dengan punggung tangan, saat itulah dirinya segera beranjak dari ranjang. Syamsir tampak tergeletak tak berkutik. Untuk memastikan, Yena menendang-nendang tubuh Syamsir menggunakan satu kaki.

"Hahhh, hampir saja." Yena menghembuskan napas panjang melihat Syamsir sama sekali tidak bergerak. Detak jantungnya tak beraturan karena kondisi tadi terasa begitu nyata seperti dilakukan oleh orang sehat. Untuk sekarang, ia memilih pergi dari kamar tak ingin melakukan kesalahan yang sama.

Satu detik, dua detik, tiga detik, kehadiran Yena sudah tak terasa. Dalam kamar yang minim penerangan itu Syamsir membalikan tubuhnya, tersenyum penuh arti. Rupanya Syamsir sama sekali tidak tidur, bahkan kondisinya terlihat sehat wal'afiat, tidak seperti orang yang baru saja mabuk.

"Wanita yang sangat menarik. Sayang sekali, ia berada di pihak lawan." Syamsir menyeringai puas. "Tapi ... pukulannya lumayan juga, rahangku tidak goyang, kan?" lanjut Syamsir sembari memegangi rahangnya sendiri.