Aku memberikan bunga Krisan warna ungu ini kepada Pak Nando dan ia menerimanya dengan wajah penuh tanya. Tanpa aku sadari, air mataku jatuh ke pipiku, saat kenyataan membuatku sadar tentang bagaimana diriku. Aku yang seorang gay hanya bisa memendam perasaanku terhadap orang yang aku suka, yang aku tahu bahwa orang yang aku suka tidak akan membalas perasaanku. Di sini, seorang gay tidak mempunyai tempat di masyarakat. Karena semua tahu kalau ini sesuatu hal yang sangat tabu di negara ini.
"Vin, kamu menangis lagi?" tanya Pak Nando penuh tanya.
"Ahh... Tidak pak, mata saya hanya kemasukan debu sepertinya." jawabku dengan menghapus air mataku.
"Tadi kamu juga bilang seperti ini. Kamu ada masalah? Kamu bisa cerita kepadaku."
"Tidak kok pak. Tidak ada masalah apa-apa." kataku.
"Baiklah kalau begitu. Terus bunga ini?"
"Ohh... Tadi saya lihat bunganya cantik, sebab itu saya ingin memberikan bunga itu pada Pak Nando. Juga sebagai tanda terima kasihku karena Pak Nando rela berdesak-desakan dengan saya untuk mendapatkan ice cream ini. Hehe." kataku dengan tertawa sedikit.
Sebenarnya bunga itu aku berikan sebagai tanda terimakasih ku, karena sudah membuat cinta dalam hatiku hidup kembali. Memberikan rasa yang pernah aku rasakan, yang dulu pernah hilang.
"Jadi... Apa yang harus aku berikan padamu?" tanya Pak Nando dengan wajah tertunduk melihat bunga yang ia pegang.
"Ohh... Pak Nando tidak perlu memberikan apa-apa pada saya. Pak Nando mau bersama saya seperti ini saja saya sudah berterima kasih. Saya benar-benar senang." kataku dengan senyum di bibirku.
"Apa kamu yakin?"
"Iya, tentu saja saya yakin."
Dalam hatiku, "Yaa... Begini saja sudah cukup. Seperti ini juga tidak apa-apa, asal aku bisa terus disampingnya. Berada di sisinya sudah membuatku bahagia, meskipun Pak Nando tidak akan pernah tahu perasaanku yang sesungguhnya. Begini saja sudah cukup, asal aku tidak kehilangan seseorang lagi. Aku tidak mau itu terjadi."
"Pak, apa Pak Nando sudah selesai makan ice cream nya? Kalau sudah, kita kembali yuk, pak! Saya kira kita sudah terlalu lama meninggalkan mereka." kataku.
"Iya, sudah." jawab Pak Nando dengan suara yang terdengar lesu.
Kami berdua berdiri dan berjalan beriringan menuju ke stand kafe kami. Pak Nando hanya diam tanpa sepatah katapun. Sesekali aku melihat wajahnya dari samping. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Aku menoleh ke belakang, melihat pohon dan tempat duduk yang kami duduki tadi. Dalam hatiku aku berkata, "Pohon kenangan, sampai jumpa lagi. Saat aku melihatmu nanti, putarkan kenangan yang pernah aku buat disini, bersama Pak Nando. Sampai saat itu tiba, aku harap kamu tetap berada disitu, di tempatmu saat ini dan jaga setiap memori yang aku buat. Sampai jumpa lagi, pohon kenangan."
Akhirnya kami tiba di depan stand kafe. Semua yang ada disini sedang duduk-duduk.
"Bagaimana penjualannya? Apa sudah habis?" tanya Pak Nando.
"Sudah, pak. Kami menunggu Pak Nando datang. Apa yang harus kami lakukan sekarang?" tanya Kak Dwiki.
"Kalian bisa menikmati waktu kalian sekarang. Ini masih jam 08:10, terserah kalian mau beli makanan atau mau mengantri ice cream gratis. Nanti jam 9, kumpul lagi disini, kita beres-beres kemudian kembali ke kafe." kata Pak Nando.
"Baik, pak." kata Kak Dwiki.
"Kita cari yang dingin-dingin aja yuk! Sekalian cari sarapan. Di kosan tadi belum sempet beli makan." Kata Kak Dimas.
"Sama. Aku juga belum sarapan tadi. Kita makan nasi pecel aja, gimana?" kata Kak Andi.
"Boleh. Hayuk aja." kata Kak Dwiki.
"Kamu ikut juga gak Vin?" tanya Kak Andi padaku.
"Tidak kak. Kalian saja yang pergi. Tadi aku sudah sarapan sebelum berangkat, terus makan jajanan juga. Aku disini saja, nunggu kalian datang."
"Ya udah kalo gitu. Kami tinggal dulu ya, Vin!"
"Iya, kak."
Mereka berempat pergi meninggalkan stand. Aku lihat Pak Nando sedang duduk di depan laptopnya. Aku yang tak tahu harus melakukan apa selagi menunggu yang lain datang, aku putuskan duduk di sebelah Pak Nando yang sedang mengetik di atas keyboard laptopnya. Aku mengambil kursi di belakang, dan ku letakkan tepat di samping Pak Nando.
"Pak, sedang apa?" tanyaku sambil duduk di kursi yang baru saja aku ambil.
"Ini... Aku sedang posting acara Valentine day di cafe kita. Aku posting di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram." kata Pak Nando sambil memandangi layar laptopnya dan jari-jarinya sedang mengetik.
"Oh... Apa setiap tahun, Pak Nando selalu membuat event Valentine day seperti ini?" tanyaku.
"Iya, kita selalu mengadakan event seperti ini tiap tahunnya. Banyak pasangan yang antusias untuk datang ke kafe kita. Bukan hanya bagi pasangan muda-mudi saja, kita juga memberikan promo diskon harga untuk keluarga yang datang. Karena hari kasih sayang bukan hanya untuk pasangan kekasih saja, melainkan kasih sayang pada keluarga dan teman juga." kata Pak Nando panjang lebar. "Apa kamu pernah membeli sesuatu saat ada event seperti ini dengan pacarmu?" tanya Pak Nando sambil tetap melihat pada laptopnya.
"Belum pernah, pak. Saya belum pernah pacaran pak."
"Ohh... Tapi pernah ada orang yang kamu suka?"
"Kalau dulu, pernah." jawabku.
"Terus, sampai sekarang kamu masih sering bertemu dengannya?" tanya Pak Nando dengan fokus ke layar laptopnya.
"Sudah tidak pak. Semenjak dia lulus SMA dan kuliah di Jakarta, kita sudah tidak pernah ketemu sampai sekarang. Mungkin saat ini dia bekerja disana juga." kataku.
"Tapi kamu pernah gak, bilang kalau kamu suka sama dia?"
"Yaa... Dulu saya pernah mengutarakan perasaan saya, tapi dia menolak saya."
Dalam hatiku, "Pak, tolong berhenti bertanya tentang hal ini. Aku gak mau mengenang saat-saat menyedihkan itu lagi."
"Kenapa kamu ditolak? Apa alasannya?"
"Saya tidak menanyakan alasannya kenapa pak. Yang saya tahu karena saya orang yang seperti ini, bukan orang yang diciptakan sempurna, juga bukan orang yang tepat baginya, dan yang pasti saya bukan orang yang ditakdirkan untuk berada disampingnya. Itu yang saya pikirkan."
Pak Nando menoleh dengan cepat. "Kenapa kamu bilang seperti itu? Kamu tidak seharusnya berfikir untuk memandang rendah dirimu sendiri, atau kamu lebih rendah dari orang lain. Kamu tidak tahu alasan 6ang sebenarnya dari dia kan? Jadi kamu tidak boleh berfikiran seperti itu. Tapi, jika dia tipe orang yang hanya melihat fisik atau materi, relakan saja orang yang seperti itu. Lain kali kalau suka sama cewek lagi, jangan suka sama yang seperti itu."
Deg.....
Jantungku terhentak saat aku mendengar kata cewek dari ucapan Pak Nando. Aku termenung, seakan rasa salah pada diriku sendiri memuncak. Semua tentang hidupku yang salah, menjadi seorang gay adalah sesuatu yang salah. Dalam hatiku, "Maaf, pak. Saya tidak menceritakan yang sesungguhnya.
"Iya, pak." jawabku sambil menundukkan kepala.
"Maafkan aku ya! Aku tidak bermaksud bertanya tentang sesuatu yang privasi buatmu, ataupun mengingatkanmu pada masa lalumu." kata Pak Nando dengan wajah yang sedikit merasa bersalah.
"Tidak perlu minta maaf pak, tidak apa-apa kok. Itu cuma masa lalu. Yaah... Cuma masa lalu." kataku sambil mencoba tersenyum padanya.
"Apa kamu bawa bekal tadi?"
"Tidak, pak. Kenapa?" tanyaku.
"Apa kamu mau makan siang bareng bersamaku lagi nanti?" dengan wajah penuh harap.
"Ahh... Maaf, pak. Saya sudah janji makan siang sama Kak Ditto, karena tadi dia mau membantuku membagikan selebaran." jawabku.
"Oh begitu ya...!" katanya sambil membuang muka ke laptopnya.
Dalam hatiku, "Apa Pak Nando marah karena aku menolak ajakannya?"
Kami saling diam seperti ini. Pak Nando sibuk dengan laptopnya, sedangkan aku hanya melihat dia bekerja, takut mengganggunya, sampai yang lain berdatangan.