Suara alarm pada ponselku berdering, membangunkanku dari tidur lelap ku. 3 hari sudah berlalu setelah makan siang bersama kemarin. Dan hari ini adalah hari valentine, dimana hari yang paling aku benci di bulan Februari. Karena hari ini semua pasangan saling memadu kasih. Sedangkan aku? Apalah dayaku yang jadi jomblo akut dari orok sampai sebesar ini. Oleh karena itu, aku iri dengan mereka yang sudah mempunyai pasangan. Sebenarnya aku juga ingin sekali memiliki seseorang yang spesial, aku juga manusia yang memiliki perasaan.
Tapi, sulit bagiku untuk menemukan seseorang yang sama-sama gay juga. Disamping itu, aku juga harus menyembunyikan diriku yang asli dari semua orang. Aku belum punya nyali untuk menunjukkan jati diriku pada orang lain. Aku masih sangat takut akan pandangan mereka terhadapku dan keluargaku. Apa kata orang jika mereka benar-benar tahu. Aku sampai tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan terhadapku dan keluargaku.
Dan alasan yang utama aku tidak punya pasangan, karena hati kecil ini sangat takut akan sakit hati lagi. Takut akan terluka dan kecewa. Hati ini masih sulit menerima seseorang untuk mengisi lubang hati yang kosong. Seandainya ada seseorang yang bisa membuatku berani untuk memberikan hatiku, mungkin aku sangat membuka lebar pintu hatiku. Aku hanya butuh seseorang yang aku percaya untuk menjaga hatiku yang rapuh.
Meskipun hati ini sudah tertambat pada pesona Pak Nando, tapi sebisa mungkin aku mencegah perasaan ini untuk terus bertumbuh. Semua itu aku lakukan juga untuk diriku sendiri. Aku yang pernah mengalami betapa sulitnya mencintai seseorang namun bertepuk sebelah tangan. Aku tidak mau merubah keadaan yang baik-baik saja, kemudian harus hancur dan berantakan.
Suara kokok ayam jantan mengembalikanku dari lamunanku. Jam hampir menunjukkan pukul 5 tepat. Seperti biasa, aku menunaikan ibadah sholat subuh terlebih dahulu, kemudian mengantar bunda belanja ke pasar.
Aku menghidupkan motorku menunggu bunda keluar. Fajar di langit mulai menampakkan warnanya. Ia terbit memotong sepanjang kegelapan malam dengan cahayanya yang melintasi cakrawala. Akhirnya bunda sudah keluar rumah.
"Ayo bund! Keburu habis nanti sayuran di langganan bunda." kataku sedikit resah.
"Iya... Iya... Tunggu sebentar." kata bunda sambil menutup pintu rumah.
Kemudian ia menghampiriku yang sudah siap berangkat di atas motor yang sudah aku nyalakan dari tadi.
"Vin, Bu Ratih waktu selesai sholat subuh di masjid tadi bilang ke semua orang kalau si Zaki baru nyampai rumah jam 12 malam." kata bunda sambil memegangi pundakku dan kemudian naik ke atas motor.
"Kak Zaki?" tanyaku dengan sedikit kaget sambil memberikan helm pada bunda.
"Iya." jawab Bunda singkat. "Sudah lama dia tidak pulang, lebaran tahun kemarin juga dia tidak sempat pulang karena waktu itu dia harus dirawat di rumah sakit."
Aku menancap gas motorku, melaju menembus embun pagi. Di perjalanan, obrolan kami terus berlanjut.
"Tumben pulang?" kataku dengan nada sinis.
Bunda memukul punggungku. "Ishh... Kamu kok ngomongnya gitu?"
"Aduuh... Kok aku dipukul sih bund?"
"Gak baik ngomong kayak gitu." kata bundaku.
"Ya maaf. Kan cuma tanya tumben pulang bun. Kenyataannya kan memang dia jarang pulang kemari bun! Sudah hampir 2 tahun lamanya dia tidak kesini." kataku.
"Benar juga sih apa yang kamu bilang. Mungkin orang tuanya kangen, secara Zaki anak semata wayang mereka." Bunda terdiam sejenak kemudian melanjutkan ucapannya. "Menurut cerita Bu Ratih tadi sih dia bilang mumpung hari ini hari valentine, dia menyuruh Zaki ambil cuti kerja untuk kumpul keluarga. Kasihan juga melihat Bu Ratih. Anak satu-satunya tidak pernah pulang, suaminya juga sering di luar kota. Dulu Bu Ratih dan suaminya tidak pernah ada waktu buat Zaki. Sekarang, setelah Bu Ratih berhenti bekerja, kini anaknya dan suaminya tidak pernah ada waktu untuknya." kata bunda.
"Hmmm... Memang kasihan juga ya bun, kalau melihat Bu Ratih setiap harinya." kataku.
"Iya, hanya ada Bu Ratih dan pembantunya yang setiap hari di rumahnya. Kalau kamu ada waktu, pergi temuin Zaki ya!?" kata bunda.
"Hah? Harus ya bun?" kataku dengan nada yang malas.
"Kenapa? Kamu gak mau?" tanya bundaku.
"Hmm... B-bukan b-begitu bun maksudku." kataku sambil terbata-bata.
"Kalian sejak kecil hingga besar, kalian selalu bersama. Seperti seorang kakak beradik yang tidak bisa dipisahkan. Main selalu bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, tidur bersama, bahkan dulu kalian waktu kecil selalu mandi bersama. Apa kamu tidak ingat masa-masa kecil kalian bersama dulu?. Apa kamu tidak kangen bertemu dengan dia?. Sejak kecil dia selalu berada di rumah kita. Bunda selalu menganggap dia bagian dari rumah kita. Bunda anggap dia sebagai anak bunda sendiri, layaknya seperti saudaramu sendiri." kata bunda sambil merasa sedih.
"Iya, bund! Nanti aku temuin Kak Zaki." kataku untuk menenangkan bunda yang terlihat sedih.
Dalam hatiku, "Maafkan aku bund! Aku harus berbohong pada bunda, supaya bunda tenang. Aku tidak mungkin bisa menemui Kak Zaki. Kemungkinan besar, dia yang tidak mau menemuiku. Misal, dia mau menemuiku, aku juga tidak tahu harus bicara apa. Pasti ada rasa canggung yang besar diantara kita. Maafkan aku bund! Aku tidak bisa menceritakan pada bunda tentang apa yang terjadi sebenarnya. Maafkan anakmu ini bunda! Aku juga tidak mau seperti ini, lahir seperti ini. Tapi, jika aku dilahirkan kembali, aku ingin dilahirkan oleh bunda. Tapi tidak dengan mempunyai rasa ke sesama laki-laki seperti ini."
Sampai di pasar, aku menunggu bunda di atas motorku. Aku memarkirkan motorku di bawah pohon. Aku menundukkan kepalaku dan aku sandarkan pada speedometer motorku. Aku tenggelam dalam pikiranku. Rasa bingung, gelisah, takut, rasa kangen ingin bertemu, rasa sakit dan sesak bercampur menjadi satu. Aku mengacak-acak rambutku, sambil aku remas dan aku tarik tarik.
Dalam pikiranku, "Bagaimana ini? Kenapa Kak Zaki harus pulang? Bagaimana kalau kita ketemu? Apa nanti dia akan menghinaku lagi? Atau dia sudah berubah dan bisa memaafkanku? Aku harus bagaimana? Apa aku terus sembunyi saja, seperti yang biasa aku lakukan sejak dulu? Yaa... Mungkin terus menghindarinya adalah pilihan yang tepat. Aku akan mencoba terus menghindarinya. Tapi, aku juga ingin sekali bertemu dengan dia, melihat wajahnya, rasanya kangen sekali ingin bercanda tertawa bersama lagi."
Semua pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku. Memenuhi semua ruang dalam otakku. Aku mengangkat kepalaku. Dimataku, terasa air mata mulai menggenang. Hanya dengan memikirkan Kak Zaki saja aku menjadi seperti ini, bagaimana kalau kita bertemu langsung berhadapan muka?. Mungkin aku tidak bisa menahan rasa sakit dalam hatiku. Aku sudah memaafkannya, aku memaklumi dirinya. Tapi hati ini tidak. Hati yang telah terluka ini tidak pernah bisa memaafkan perkataan yang keluar dari mulutnya. Aku kira sang waktu akan menyembuhkan luka hati, ternyata ia tetap meninggalkan luka goresan di hati. Seandainya kita bertemu, mungkin luka di dalam hati yang telah dijahit oleh sang waktu akan membuka lagi. Aku tidak bisa mengontrol hatiku.
Aku merebahkan tubuhku diatas jok motorku. "Kenapa...? Kenapa kamu harus pulang...?" gumamku lirih sambil menutupi mataku.
Seperti kebanyakan orang katakan tentang cinta pertama, bahwa cinta pertama itu sulit untuk di lupakan. Itu terjadi padaku sekarang. Walau cinta pertamaku hanya menimbulkan rasa sakit hati, tapi tetap saja aku tidak bisa untuk melupakannya.
Jika semua orang, atau kalian semua bertanya padaku, 'Kenapa kamu sulit melupakan orang di masa lalumu? Atau kenapa kamu sulit melupakan cinta pertamamu?'. Maka akan aku jawab seperti ini, "Layaknya fajar yang terbit dan senja yang tenggelam, yang terjadi pada satu hari. Mengapa orang lebih suka melihat matahari senja daripada fajar?. Itu karena manusia lebih suka meratapi yang telah berlalu daripada menyambut yang akan datang. Seribu yang akan datang, tidak akan ada yang sama seperti satu yang telah pergi."
Begitulah yang aku rasakan. Aku tidak bisa melupakannya, yang aku bisa hanya meratapi dan mengingat dia. Karena setiap waktu yang kita habiskan bersama, setiap momen menyenangkan serta menyedihkan yang kita lalui bersama, dan setiap kejadian baik dan buruk yang kita alami bersama, akan tersimpan menjadi sebuah piringan memori. Dan semua memori itu akan tersimpan menjadi sebuah 'KENANGAN'.
.
.
*******
Hai para readers.
Bagaimana dengan quote yang aku tuliskan di chapter ini. Apakah ada yang setuju? Atau banyak yang tidak setuju? hehe....
Jangan lupa, vote dan beri power stone kalian pada author 🥰, Rate dengan kasih bintang 5 pada review 😘, serta comment beri kritik dan sarannya.
See you di next chapter.