Suara detak jam dinding berbunyi nyaring dengan iramanya yang teratur. Ditambah dengan suara penyiar berita pagi yang keluar dari TV yang menyala. Suara-suara itu memenuhi ruangan ini.
"Terus, ada masalah apa kamu datang kemari pagi-pagi begini?" tanya Kak Dwiki.
"Aku menghindari bertemu dengan tetangga sebelah rumahku kak! Dia orang yang pertama yang aku sukai, dan orang pertama yang tahu kalau aku seorang gay. Kak Dwiki adalah orang kedua yang tahu tentang ini." kataku.
"Kalau begitu, bagaimana kalian setiap harinya?" tanya Kak Dwiki.
"Sudah lama kita tidak bertemu kak, hampir 7 tahun setelah dia lulus SMA dan kuliah di Jakarta. Sampai sekarang dia berada di Jakarta dan bekerja disana. Tapi hari ini, dia pulang kesini karena keluarganya mengadakan acara berkumpul keluarga di hari valentine ini." kataku.
"Kenapa kamu menghindarinya?" tanya Kak Dwiki.
Dan aku pun saat ini mulai bercerita tentang apa yang terjadi. "Dulu, aku dan dia sejak kecil selalu bersama, tumbuh bersama, dan bermain bersama. Sejak dia kecil setiap hari dia berada di rumahku, karena dia selalu ditinggalkan kedua orangtuanya untuk bekerja keluar kota. Terkadang, bisa 1 bulan penuh orang tuanya tidak pulang. Meskipun dirumahnya ada pembantu, orang tuanya menitipkan dia pada bundaku. Sering juga aku yang bermain dirumahnya, dan menemani dia saat dia sakit. Tapi dia lebih suka berada di rumahku, katanya di rumahku lebih ramai dan terasa lebih hangat kekeluargaannya. Di rumahnya yang besar dan megah, dia merasa kosong dan sendirian, karena dia tidak mempunyai saudara. Oleh sebab itu, kita sangat dekat sampai kita seperti seorang saudara, dia menganggap diriku sebagai adik kandungnya sendiri. Ayah dan bundaku menganggap dia seperti anak mereka sendiri." kataku panjang lebar.
Aku berhenti bercerita sejenak dan melihat Kak Dwiki duduk dengan tenang dan fokus mendengar ceritaku.
"Terus apa yang terjadi di antara kalian?" tanya Kak Dwiki.
Aku mulai bercerita kembali. "Kita bersekolah di tempat yang sama, dari SD sampai SMA. Kejadian bermula saat aku menginjak kelas 2, dan dia berada di kelas 3. Saat pulang bersama, aku mengungkapkan bahwa aku menyukai dirinya. Dari kecil aku sayang sama dia sebagai seorang kakak, tapi lambat laun perasaan ini mulai berubah. Awalnya aku tidak tahu bahwa perasaan ini adalah rasa suka yang berbeda. Aku hanya mengagumi sosoknya, benar-benar mengagumi dirinya. Dia selalu memperhatikanku, dan sangat baik terhadapku. Sampai saat aku tumbuh dewasa, dan mulai mengerti apa itu cinta, aku yakin bahwa perasaanku saat itu adalah cinta. Bukan lagi perasaan yang mengagumi layaknya fans dengan idola mereka. Oleh karena itu, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tapi dia sangat marah besar. Wajahnya yang dari dulu selalu tersenyum dan sangat hangat padaku, baru pertama itu aku melihat wajahnya yang memerah sangat marah. Dia mengatakan padaku bahwa dia jijik dengan orang sepertiku. Dia menyamakanku dengan anjing kotor yang menjijikkan. Aku tidak sempat menjelaskan apa alasanku sampai aku menyukainya. Dia tidak mau mendengar alasan apapun yang akan aku ucapkan, dia meninggalkanku begitu saja. Saat itu, untuk pertama kali hatiku sangat sakit, sesakit-sakitnya. Rasanya hatiku sangat hancur menjadi berkeping-keping."
Aku bercerita panjang lebar seperti itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Tapi dia tidak seharusnya berkata kasar seperti itu kepadamu. Sampai mengatakan dan menyamakanmu dengan seekor hewan." kata Kak Dwiki dengan nada sedikit meninggi. "Memang sih aku bukan dia. Dan aku bukan orang yang mengalami hal itu. Tapi setidaknya dia tidak berucap kasar seperti itu. Apalagi sejak kecil kalian selalu bersama, dan seperti saudara sendiri. Seharusnya dia mendengarkan alasanmu terlebih dahulu." kata Kak Dwiki.
"Awalnya aku juga berpikir seperti itu kak. Seharusnya dia mendengar penjelasanku dahulu. Tapi aku mulai berfikir bahwa saat itu dia kaget dengan ucapanku, dan tidak bisa berfikir dengan baik." kataku.
"Terus, bagaimana kelanjutannya?" tanya Kak Dwiki.
Aku melanjutkan ceritaku. "Setelah kejadian itu, aku beberapa kali mencoba menemuinya di sekolah maupun di rumahnya. Tapi aku tak dapat menemukannya. Hingga seminggu setelah kejadian itu, aku baru bisa menemui dia. Saat itu dia sedang berjalan ke lapangan basket bersama teman-temannya. Aku yang hendak kembali ke kelas sesudah jam pelajaran olahraga, berpapasan dengannya. Aku meminta waktunya sebentar untuk bicara berdua dan dia menyetujui permintaanku. Setelah teman-temannya pergi meninggalkan kami berdua, aku hampir mengucapkan kata yang akan aku ucapkan. Tapi sebelum aku mengatakan kata pertamaku, Kak Zaki berbicara kepadaku. Dia mengatakan bahwa hari ini aku diminta untuk berhenti menemuinya dan berbicara dengan nya. Dia tidak mau melihat orang yang menjijikkan sepertiku. Saat itu aku mulai berfikir, mungkin dengan tidak menemuinya adalah hal yang terbaik untuknya, untuk kebahagiaannya. Jadi aku berjanji kepadanya bahwa mulai saat itu juga aku akan berhenti bertemu dan bicara padanya. Itu konsekuensi yang harus aku tanggung karena kesalahanku sendiri."
Aku berhenti bercerita dan menghela nafas panjang. Aku raih gelas di depanku dan aku meminum teh hangat yang mulai dingin. Setelah itu, aku bercerita kembali tentang apa yang terjadi barusan, sebelum aku berangkat kesini.
"Dan tadi sebelum aku berangkat kesini, aku melihat dia di depan rumahnya, mata kami saling bertemu. Tubuhku gemetar tak karuan, hanya dengan melihat wajahnya saja aku sudah ketakutan. Seperti orang yang trauma akan sesuatu, begitu yang aku rasakan. Tadi dia mengejarku dan memanggilku untuk berhenti, dia mau kita berbicara. Tapi aku tidak mendengarkannya, dan terus menjauh. Di hatiku, aku hanya takut untuk mengingkari janji yang telah aku ucapkan kepadanya. Disamping itu, sejujurnya aku masih ingin bisa bertemu dengannya. Apapun yang terjadi, semua hal yang telah kita lalui bersama sangat sulit aku lupakan. Karena kebersamaan kita lebih lama daripada masalah ini."
"Aku bisa mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Tapi menurutku, seharusnya kamu bisa bertemu dan berbicara dengannya tentang masalah ini. Kalian berdua juga sudah dewasa, seharusnya saat ini kalian bisa berfikiran lebih matang. Ditambah lagi, ini adalah masalah yang sudah lama berlalu. Alangkah baiknya untuk saat ini kalian bisa berbaikan seperti sedia kala. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut lagi sampai kalian menua." kata Kak Dwiki.
"Tapi kak...! Aku masih sangat takut." kataku.
"Takut itu bukan jadi alasan kamu terus menghindar dari masalahmu. Hadapi saja masalahmu biar cepat selesai. Aku yakin kamu pasti bisa melakukannya."
"Begitu ya, kak!" kataku
"Iya. Tapi, jika kamu dan hatimu sudah siap saja. Jangan terlalu memaksakan dirimu, karena aku tahu pasti kamu akan merasa sakit sendiri jika kamu belum siap dan memaksakan. Yang terpenting, aku berharap kamu bisa berdamai dengan masa lalu dan lupakan hal buruk yang pernah terjadi, serta aku harap kamu bisa memaafkan dirimu sendiri. Setelah itu cobalah berbahagia untuk dirimu sendiri. Itu saja hal yang bisa aku katakan kepadamu. Kamu lakukan atau tidaknya tentang hal-hal yang baru saja aku katakan, itu terserah kepadamu. Aku harap kamu bisa memilih yang terbaik untuk dirimu sendiri. Semuanya berawal pada pilihanmu sendiri."
Aku termenung sejenak dan memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh Kak Dwiki. Semua hal yang dikatakan oleh Kak Dwiki hampir semuanya benar. "Begitu ya kak. Terima kasih, karena Kak Dwiki sudah mau memberikanku arahan dan nasehat." kataku dengan penuh terimakasih.
"Tidak usah berterimakasih begitu. Aku hanya mengatakan apa yang harus aku katakan. Sudah jam 7 lebih nih. Aku mandi dulu ya! Tolong tunggu sebentar, nanti kita berangkat kerja bareng." kata Kak Dwiki.
"Iya, kak!"
Kak Dwiki menuju ke kamar mandi, meninggalkanku sendiri. Dan aku mulai merenungi apa yang di ucapkan Kak Dwiki padaku tadi.
.
.
.
******