Setelah pulang dari mengantar bunda ke pasar, aku harus menghindar dari Kak Zaki. Aku berfikir bahwa aku akan berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Aku mengambil ponsel dari saku celanaku, dan aku mengirim pesan pada Kak Dwiki.
📨: "Kak, aku mampir ke kosannya Kak Dwiki, Boleh gak?"
Aku menuju dapur dan mengambil nasi untuk sarapan. Aku makan di meja makan dengan lauk yang seadanya di atas meja. Beberapa menit kemudian ponselku berbunyi, ku lihat ada notifikasi balasan dari Kak Dwiki.
📩: "Tentu saja boleh, silahkan kalau memang mau mampir. Kesini jam berapa kamu?"
📨: "Bentar lagi berangkat kesitu kak. Tapi sebelum itu aku mandi dulu."
📩: "Pagi banget! Masih jam berapa ini? Kamu sekalian berangkat kerja kan?"
📨: "Iya, sekalian berangkat kerja dari kosannya Kak Dwiki."
📩: "Buru-buru banget. Emang ada apa?"
📨: "Nanti aja kak ngobrolnya. Aku mandi dulu."
📩: "Kabari kalau kamu sudah mau berangkat."
📨: "Siap."
Setelah selesai makan, aku bergegas menuju kamar mandi.
*****
Setelah mandi dan berpakaian rapi, aku menuju ke dapur untuk pamit kepada bundaku.
"Bun, aku berangkat kerja ya!"
"Tumben pagi banget kamu berangkat? Tidak seperti biasanya!" kata bunda.
"Iya, soalnya ada event untuk hari valentine. Maaf ya bun! Hari ini tidak bisa bantu bunda memotong sayurnya." kataku.
Dalam hatiku, "Maaf bun, aku harus berbohong pada bunda. Aku harus bergegas pergi, supaya tidak bertemu dengan Kak Zaki."
"iya, tidak apa-apa. Hati-hati dijalan ya!" kata bunda.
Aku meraih tangan bunda dan menciumnya. "Iya bun! Assalamualaikum!"
"Wa'alaikum salam!" jawab bunda.
Aku keluar menuju kursi di teras dan aku duduki, kemudian aku memakai sepatuku. Aku mengambil ponsel di saku celanaku, dan mengirim pesan WhatsApp pada Kak Dwiki.
📨: "Kak, aku mau otw."
Aku menaiki motorku, dan keluar ke jalan. Sampai di tepi jalan gang depan rumah aku menengok kearah kanan. Melihat rumah Kak Zaki yang berjarak 2 rumah dari rumah aku.
"Aman gak nih?" bisikku pada diriku sendiri.
Aku melihat seseorang keluar dari pintu gerbang rumah Kak Zaki. Berbadan tinggi tegap dengan memakai kaos hitam dan celana pendek. Dia meregangkan tubuhnya dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Kepalanya menengok ke arahku, mata kami saling bertemu. Seperti di sambar petir di siang bolong, aku sangat kaget. Jantungku terasa berdetak dengan cepat, mengalirkan darah ke seluruh tubuhku dengan laju yang cepat.
Ternyata apa yang aku takutkan terjadi, aku bertemu Kak Zaki, dan mata kami saling berpandangan. Dia memutar tubuhnya, seakan dia hendak berlari menghampiriku.
"Vin...!" Teriak Kak Zaki sambil berlari ke arahku.
Aku yang melihat Kak Zaki berlari ke arahku, membuat detak jantungku semakin cepat. Secara refleks tanpa berfikir, aku menarik gas motorku menjauh sekencangnya, seakan aku sedang dikejar sesosok hantu yang menakutkan.
Dari kaca spion motorku, aku melihat Kak Zaki masih berlari mengejarku. Dari arah belakang aku masih bisa mendengar teriakan Kak Zaki memanggilku.
"Vin...! Tunggu dulu! Kita harus bicara!" teriak Kak Zaki yang masih mengejarku.
Seakan aku tak mendengar panggilan Kak Zaki, aku tetap melajukan motorku. Dari kaca spionku aku bisa melihat wajah Kak Zaki meskipun semakin samar. Dia mulai berhenti berlari, setelah jarak kita mulai menjauh. Entah kenapa aku benar sangat takut, tanganku sampai gemetar tak karuan. Apa aku trauma? Atau apa?. Entahlah aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa takut, sangat, sangat takut sekali.
*****
Tiba di kosannya Kak Dwiki, aku berdiri di depan pintu dan ku ketuk beberapa kali. Diperjalanan, bayang-bayang masa lalu menghantui pikiran ku, sampai aku tidak fokus untuk berkendara. Aku teringat wajah itu, wajah marah Kak Zaki yang merah membara, dengan mata yang penuh dengan kebencian. Seakan-akan aku sekarang berada di masa itu dan melihat kejadian itu lagi.
Aku berdiri termenung dengan pikiran yang kosong. Tanpa sadar pintu sudah terbuka dan Kak Dwiki sudah di hadapanku.
"Vin...! Vin...!" kata Kak Dwiki dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan kedua tangannya.
Aku tersadar dari pikiranku yang kosong, aku terperanjat dengan wajah yang sedikit ku naikkan, yang semula sedang tertunduk kebawah.
"Yaa..! Ohh.. Maaf kak!" kataku.
"Kamu aku panggil beberapa kali gak dengar? Masih saja tertunduk. Kamu ada masalah apa?. Ayo masuk dulu." kata Kak Dwiki sambil mempersilahkan aku masuk.
"Ah... Iya kak." kataku kemudian aku melepas sepatuku.
Kak Dwiki masuk kedalam, dan aku ikuti dari belakang.
"Duduk dulu Vin! Kamu mau minum apa? Teh hangat apa kopi?" kata Kak Dwiki.
"Teh hangat saja kak, kalau tidak merepotkan."
"Gak ngerepotin kok. Tunggu sebentar ya!" kata Kak Dwiki sambil menuju ke dapur kecilnya di depan toilet.
Aku duduk di samping kasur lantai, dan melihat televisi yang menyala. Sesaat kemudian, Kak Dwiki membawa 2 gelas teh ditangannya.
"Nih Vin teh hangat kamu." kata Kak Dwiki menaruh gelas di depanku dan dia duduk di atas kasur lantainya.
"Terima kasih kak!" kataku.
"Kamu ada masalah apa?" tanya Kak Dwiki.
"Hmm... Bagaimana ya aku menceritakannya? Aku tidak tahu harus mulai dari mana." kataku
"Kalau kamu tidak bisa cerita, ya gak apa-apa. Tapi kalau kamu mau cerita, ya silahkan. Itu terserah kamu. Dengan bercerita kepadaku, mungkin akan bisa mengurangi sedikit bebanmu." kata Kak Dwiki meyakinkan diriku.
Aku terdiam sejenak. Aku yang mempunyai masalah dengan trust issue, membuatku sulit untuk percaya pada seseorang, ataupun membuka diri untuk orang lain. Tapi jika aku sudah merasa mulai dekat dengan orang itu, aku akan memberikan kepercayaan ku padanya. Untuk saat ini, Kak Dwiki adalah orang yang paling dekat denganku diantara yang lainnya. Mungkin aku bisa sedikit menceritakan tentang diriku padanya.
"Setelah aku bercerita, tolong dirahasiakan ya kak!" kataku.
"Iya, pasti. Kamu bisa percaya sama aku. Aku bukan tipe orang yang mengumbar rahasia orang lain." kata Kak Dwiki sambil melihatku yang masih tertunduk.
"Mungkin Kak Dwiki akan menjauhiku setelah apa yang akan aku ceritakan."
"Nggak akan. Apapun yang akan kamu ceritakan, aku bisa berjanji padamu bahwa aku tidak akan menjauhimu. Kamu bisa memegang ucapanku." kata Kak Dwiki.
"Kak... A-aku seorang g-gay!" kataku. Entah ini hal yang benar atau tidak untuk menceritakan tentang jati diriku. Aku sudah membuat keputusan, dan ucapan yang sudah aku katakan tidak bisa aku tarik kembali.
"Ohh...!" kata Kak Dwiki dengan santai sambil menonton TV.
"Cuma ohh? Kak Dwiki tidak kaget?" tanyaku heran.
"Kenapa harus kaget? Aku sudah tau dan sudah menduganya. Tinggal menunggu kamu mengatakannya padaku saja." kata Kak Dwiki.
"Kok kakak bisa tahu? Apa begitu jelas nampak padaku?" tanyaku penasaran.
"Tidak juga sih, tapi terkadang saja. Awal aku menduganya saat kamu bertanya padaku tentang jika orang yang dekat denganku seorang gay, apa tanggapanku?. Sejak saat itu aku mulai curiga. Terlebih lagi, kita sudah hampir 2 minggu di tempat kerja yang sama. Setiap hari aku bisa melihatmu yang terpaku pada pembeli laki-laki yang terlihat ganteng. Meskipun kamu tidak menatap orang itu lama, tapi aku bisa tahu dari cara kamu melihat orang laki-laki yang menurutmu menarik. Dan dari itu, aku menarik kesimpulan bahwa kamu seorang gay." kata Kak Dwiki panjang lebar.
Aku sedikit takjub dengan perkataan Kak Dwiki, tapi juga ada rasa takut yang muncul. "Terus, apa Kak Dwiki tidak takut padaku atau jijik padaku?"
"Seharusnya dari jawabanku dulu, kamu bisa tahu bagaimana aku. Aku tidak akan jijik padamu. Itu adalah hidupmu dan pilihanmu. Aku tidak akan menghakimi dan mencampuri hidup orang lain."
Dari perkataan Kak Dwiki, mungkin ini bukanlah pilihan yang buruk untuk bercerita kepadanya.
.
.
*****
.
.
Hai para readers, maafkan author baru bisa up chapter. Karena kesibukan yang melanda beberapa hari ini. Semoga kalian masih bisa terus bersedia membaca cerita ini. Silahkan dinikmati chapter 22 dan 23.
See you all.