Semua kenanganku terlintas, seperti film yang di putar di depan mataku. Mataku mulai berkaca-kaca melihat 2 anak yang memakan ice cream bersama-sama. Dalam hatiku, aku sangat menyesal dengan perbuatan bodohku, perkataanku dan ungkapan cintaku.
Keegoisanku yang mengungkapkan rasa yang ku rasakan, tanpa memikirkan bagaimana perasaannya setelah tahu yang sebenarnya. Membuat hubungan yang bertahun-tahun baik-baik saja, menjadi hancur berantakan. Tali silaturahmi sebagai kakak, teman, dan tetangga, kini putus karena sebuah ucapan 'aku suka kepadamu'.
Setiap aku bertemu dengannya, dia selalu menghindariku. Sebenarnya aku tidak bisa menatap matanya dengan baik saat mata kami bertemu. Aku hanya harus mengakui, fakta bahwa dia tak menyukaiku, tak akan pernah bisa membalas rasa sukaku. Namun fakta itu terlalu sulit bagiku. Terlalu sakit bagiku ketika dia mulai tak mempedulikanku, mengacuhkan diriku. tak menganggap keberadaan ku.
Dari dulu dia selalu hangat. Dia terlalu hangat terhadapku, memperlakukanku dengan sangat baik. Sebab itu, aku rasa aku akan terus bertanya-tanya. Apakah dia memiliki perasaan yang sama terhadap ku?. Namun, sekarang tidak lagi. Aku takkan melakukannya lagi. Karena dia melarang ku untuk menemuinya, berbicara dengan nya, bahkan hadir di depan wajahnya pun aku tidak diperbolehkan. Aku takkan melakukan itu. Aku takkan melakukannya hal itu lagi.
Saat itu aku selalu berkata pada diriku sendiri, menguatkan diri sendiri. "Kalau terus begini, berhenti saja menyukainya. Jangan berikan hatimu kepada orang lain. Relakan saja dia. Relakan saja kebahagiaan yang kau pikir akan kau dapatkan dari menyukai seseorang. Karena jika tidak mendapatkan apa-apa. Kau tak harus khawatir tentang kehilangan. Hanya saja kau akan kehilangan serpihan bagian dari hatimu. Yang perlu kau lakukan hanyalah harus menghilang dari orang itu. Bawa lagi hatimu yang tak lagi utuh. Rasanya memang akan sangat menyakitkan karena kehilangan serpihan hati yang kecil. Tapi, kuatkanlah hatimu. Kuatkan juga dirimu."
Kata-kata itu, yang aku tujukan untuk diriku sendiri, membantuku melewati hari-hari yang berat bagiku. Melepaskanmu yang selalu hadir dalam hidupku. Membuatku merasakan kesendirian.
Tapi, ada hal-hal yang jelas saat aku merasa sendirian. Belajar dari kesendirian tidaklah buruk. Karena makin sedikit berharap, makin damai juga kehidupanku. Kedamaian akan aku rasakan dan berjalan seperti yang seharusnya. Seperti benda-benda di tengah kegelapan, akan tetap terlihat gelap seperti halnya ia setiap hari. Dan benda-benda yang berkilauan, akan tetap bersinar seperti yang seharusnya. Semua damai dengan caranya sendiri-sendiri.
Menginginkan sesuatu sebenarnya sangatlah berat. Namun, tentu saja aku punya keinginan. Keinginanku yaitu memperbaiki semua kesalahan yang pernah terjadi. Kembali seperti semula. Inginku, aku dan dia kembali seperti dulu. Entah dimana dia sekarang, aku ingin dia baik-baik saja. Doaku selalu menyertainya, untuk kebahagiaannya.
Tak terasa mataku semakin penuh dengan air mata. Rasanya ia meronta-ronta untuk mengalir jatuh, tapi masih tetap terbendung sempurna di kelopak mataku.
"Vin, kamu sedang melamunin apa dari tadi?"
Suara yang aku dengar di belakangku, kini sang pemilik suara itu berada di sampingku sambil menepuk bahuku. Dia berdiri sambil memandangiku. Aku menolehkan kepalaku, sontak saja air mata yang semula terbendung kini mulai mengalir jatuh akibat gerakan kepalaku.
"Vin, kamu menangis?" tanya Pak Nando. "Kamu kenapa?" tanyanya sambil memegang kedua pundakku.
"Tidak pak. Saya tidak menangis. Mata saya hanya kemasukan debu." kataku. Tanganku masuk di antara kedua tangan Pak Nando, untuk menyeka air mataku. "Saya tidak apa-apa kok pak. Terimakasih."
Aku membuang mukaku, dan aku memandangi ke arah kerumunan orang yang sedang mengantri mendapatkan ice cream gratis.
"Kamu mau ice cream?" tanya Pak Nando.
"Hmm?"gumamku sambil mengangkat kedua alisku.
"Apa kamu mau mengantri ice cream gratis?"
"Oh, tidak pak." jawabku, kemudian aku menatap kerumunan itu lagi.
"Kenapa?"
"Mmm... Kenapa? Ya Pak Nando bisa lihat sendiri, kerumunan dan antriannya sangat panjang. Pasti melelahkan harus berdiri lama dan berdesak-desakkan."
"Kamu tidak mau mengantri bersamaku?"
Dari pertanyaannya, sepertinya Pak Nando tahu kalau aku benar-benar menginginkan ice cream itu.
"Pak Nando yakin mau berdesak-desakkan dengan mereka?" tanyaku.
"Kenapa tidak? Selagi kamu juga mau berdesakan bersama mereka. Mau kesana?" ajak Pak Nando.
"Pak Nando bisa saja kan membeli di minimarket. Kenapa harus rela berdesakan?" tanyaku.
"Karena kamu menginginkannya." jawabnya singkat.
Tanpa banyak kata lagi, dia meraih tanganku dan menggandeng tanganku menuju kerumunan itu.
Dan benar saja, disini sangat berdesakan. Meskipun langit sedang mendung, dan cuaca tidak panas. Tapi karena banyak nya orang yang berkerumun membuat hawa yang panas dan sesak. Yang dari belakang mendorong yang ada di depan. Aku tahu Pak Nando saat ini sedang melindungiku dari belakang. Beberapa kali dia menahan dorongan supaya aku yang di depannya tidak terhimpit. Tapi sesekali juga dia kalah dengan besarnya dorongan dari belakang, sehingga tubuhnya menyentuh punggungku. Dalam keadaan terhimpit, seluruh punggungku benar-benar menempel dengan tubuhnya. Kepala Pak Nando kini sejajar di samping kanan kepalaku.
"Kamu tidak apa-apa, Vin?"
"Tidak apa-apa kok pak. Pak Nando sendiri bagaimana?" tanyaku.
"Tidak apa-apa juga."
"Saya pikir, kesini bukan ide yang baik pak. Kita harus berdesak-desakan seperti ini."
"Sudah terlanjur, mau bagaimana lagi. Toh sebentar lagi kita akan masuk di besi barisan. Bertahan sebentar lagi tidak jadi masalah." kata Pak Nando.
"Wajah Pak Nando berkeringat, saya akan mencoba mengambil sapu tangan di saku belakang celana saya pak." kataku sambil merogoh kantong celanaku. Tanpa sengaja, aku menyenggol alat kejantanan Pak Nando yang benar-benar berhimpitan dengan bokongku. "Ma.. Maaf pak, saya tidak sengaja." kataku.
"Tidak apa-apa." jawabnya.
Akhirnya aku mendapatkan sapu tanganku. Aku melihat wajah Pak Nando yang berada di atas pundak kananku. Aku menyapu wajahnya yang berkeringat dengan sapu tanganku.
"Tenang saja pak, sapu tangan saya masih bersih. Belum saya pakai hari ini."
"Kamu juga berkeringat. Kenapa tidak kamu lap juga wajahmu?"
"Tidak usah pak, saya sudah terbiasa berkeringat."
Akhirnya kita sampai pada besi barisan. Aku merasa lega karena sudah terbebas dari sesak. Aku dan Pak Nando mendapat ice cream kami masing-masing. Sebelum itu tangan kami di beri cap sebagai tanda bahwa kami sudah mendapatkan ice cream gratis.
Kami duduk di bangku taman di bawah pohon. Aku mendapatkan rasa vanilla, sedangkan Pak Nando mendapat rasa coklat. Kami memakan ice cream kami, dan aku memperhatikan Pak Nando yang sedang memakan ice creamnya.
"Vin, kenapa kamu menatapku terus? Apa kamu juga mau ice cream rasa coklat?" tanyanya.
Aku menganggukkan kepalaku.
"Nih, buka mulut kamu. Aku akan menyuapimu."
"Tapi pak, saya bisa mengambil pakai sendok saya sendiri." kataku.
"Tidak usah, buka saja mulut kamu."
Aku membuka mulutku dan Pak Nando menyuapiku. Dalam hatiku aku berkata, "Kejadian seperti ini terulang lagi. Hanya saja dengan orang yang berbeda. Tapi tetap sama-sama orang yang ku suka."
Mata kita saling bertemu. Senyum di bibir Pak Nando mulai merekah, dan aku membalas senyumannya. Untuk saat ini, aku merasa waktu benar-benar berhenti. Rasanya semua keramaian menghilang, hanya ada aku dan Pak Nando. Perlakuan Pak Nando hari ini benar-benar sangat hangat, layaknya sang matahari yang menyinari bumi.
Dalam pikirku. Sejak pertama kali aku melihat wajahmu hingga sampai saat ini, aku selalu menyukaimu, Pak Nando. Perlakuan hangatmu dan senyuman manismu yang kau tujukan padaku, membuat hatiku luluh. Jika aku memberitahumu tentang ini, aku mulai penasaran, ekspresi wajah yang kau tunjukkan akan seperti apa. Senangkah? Marahkah? Atau kau akan melihatku dengan jijik?. Entahlah, aku tidak berani menerka. Namun, andaikan engkau tahu Pak Nando. Aku selalu merasa cemas tentang hal-hal yang hangat dan manis seperti yang kau tunjukkan saat ini. Aku merasa takut dan gelisah, bahwa kebahagiaanku yang tak pasti seperti ini akan menghilang dalam sekejap.
Dalam satu hari, ada waktu saat matahari terbit dan juga terbenam. Begitu pula kehidupan kita, yang memiliki siang dan malam. Tergantung dari orangnya masing-masing. Ada yang selalu mendapatkan sinar matahari, dan ada pula orang yang selalu hidup dalam kegelapan. Namun, apa kau tahu Pak Nando? Apa yang ditakutkan oleh orang sepertiku?. Yaitu kehilangan matahari yang bersinar, yang selalu menyinari ku. Merubah keadaannya menjadi gelap gulita, dan aku tidak pernah bisa melihat matahari yang menyilaukan itu lagi. Akan lebih baik bagiku jika aku tidak pernah melihat matahari itu sebelumnya. Apa kau tahu Pak Nando? Kebahagiaan dan dirimu ibarat matahari yang bersinar di kehidupanku. Karena aku tahu betapa hangatnya perlakuanmu, betapa hangatnya senyumanmu, dan betapa hangatnya dirimu di mataku. Sebab aku selalu menyipitkan mataku saat melihat matahari yang menyilaukan seperti dirimu. Aku merasa lebih takut. Lebih takut untuk kehilanganmu. Namun meskipun begitu, apa kau tahu Pak Nando?. Aku selalu menyukaimu.
.
.
*****
------------------
Hai, para readers. Selama aku menulis, aku selalu bertanya-tanya, apa perasaan yang aku tulis ini akan sampai pada kalian. Terutama di chapter ini, aku takut feel nya tidak bisa sampai kepada kalian. Karena kurangnya pengalamanku dalam menulis.
Jika benar hal itu terjadi, author disini sangat minta maaf karena kurang pandai menghidupkan feel dalam tulisan.
See you di next chapter.