Aku dan Kak Ditto membagikan kertas selebaran di seberang jalan depan stand cafe. Sedangkan Kak Andi berada di sebelah stand, membagikan selebaran pada pembeli yang sedang mengantri. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat stand cafe kami lumayan banyak pembeli. Rupanya banyak peminat kopi yang suka menikmati kopi setelah berolahraga.
Dari sini aku bisa melihat, banyak anak muda yang terpaku dan saling berbisik setelah melihat Pak Nando. Bukan hanya perempuan saja, bahkan laki-laki juga melihatnya dengan penuh hawa nafsu. Memang aku akui, penampilan Pak Nando sangat mempesona, seperti magnet yang menarik semua biji besi. Aku pun juga seperti mereka, meskipun hampir setiap hari bertemu dengan Pak Nando, mata ini tak bosan melihat wajah indahnya.
Yaa... Keindahan visual Pak Nando terletak pada fakta yang bisa dilihat. Ketampanan adalah salah satu hal indah yang bisa dirasakan dengan mata. Aku percaya bahwa keindahan visual ini akan menjadi penghiburan tersendiri bagi mereka yang berfokus pada kesempurnaan bentuk dari sebuah ketampanan ataupun kecantikan.
Berbicara mengenai kesempurnaan visual, mungkin dari visual luar akan terlihat sempurna. Tapi semua terkadang tidak sesempurna seperti yang di bayangkan. Menurutku, orang yang hanya melihat kesempurnaan luar tidak akan mengetahui kekurangan yang ada di dalamnya. Meskipun cantik dari luar belum tentu juga cantik di dalamnya, sebelum kita tahu mereka lebih dekat. Seperti sebuah patung yang terukir sempurna, pasti juga akan ada goresan-goresan kecil jika kita melihatnya lebih dekat. Begitu pula dengan manusia. Meskipun terlihat sempurna, belum tentu hati mereka merasa bahagia. Banyak pula dari mereka yang hatinya merasa sedih, merasakan keterpurukan, dan juga masa lalu yang kelam. Yang mereka sembunyikan rapat-rapat di dalam lubuk hati.
Aku berpikir, mungkin Pak Nando juga seperti itu. Kemarin, saat dia menyandarkan kepalanya di pundakku, sepertinya dia sedang dalam masalah. Mungkin juga beban hidup yang berat. Atau juga masa lalu yang menyakitkan, dia tanggung seorang diri. Dari perilaku nya kemarin, seperti ada beban berat di hatinya. Andaikan saja Pak Nando mau bercerita dan mau terbuka padaku, aku pasti akan mendengarkannya. Yang aku tahu, dengan bercerita akan mengurangi sedikit beban yang menumpuk di dalam hati.
"Hei... Katanya mau bagi-bagi selebaran? Kok malah melamun?"
Ucapan Kak Ditto menyadarkanku dari lamunanku.
"Oh iya, maaf kak!"
"Ambil dan bagikan ke orang-orang, keburu mereka bubar menjauh." kata Kak Ditto.
"Baik kak. Ayo ke sebelah sana kak, banyak orang sedang berkumpul." sambil menunjuk ke arah segerombol orang yang sedang duduk-duduk di trotoar.
Aku dan Kak Ditto berjalan ke arah mereka. Butuh waktu sekitar 45 menit bagi kami untuk menghabiskan selebaran yang kami bawa.
"Sudah habis semua nih, mau balik?" kata Kak Ditto.
"Boleh."
"Eh... Kita keliling dulu yuk, nyari jajanan tradisional. Biasanya banyak yang jualan di timur taman."
"Terserah Kak Ditto saja."
"Kalau begitu ayo kita jalan ke sana." ajaknya.
Dan kami berjalan lewat jalan Taman Bungkul. Banyak komunitas pecinta hewan duduk dan berkumpul disini.
"Kak Ditto sering datang kemari ya?" tanyaku.
"Tidak terlalu sering sih, kalau ada teman yang ngajak aja. Aku lebih sering olahraga di tempat gym. Kenapa memangnya?"
"Gak kenapa-kenapa kok kak, cuma tanya saja. Soalnya Kak Ditto seperti nya sudah hafal tempat-tempat orang yang berjualan." kataku.
"Memangnya kamu gak pernah ke sini?"
"Nggak! Ini baru pertamakali aku ikut CFD kesini."
"Lhaa...? Memang biasanya ngapain saja kalau hari Minggu?"
"Kalau sekarang, ya kerjalah kak. Kalau dulu sebelum dapat pekerjaan, tiduran mulu di kamar sambil nonton film kartun."
"Memangnya kamu sama sekali belum pernah ikut CFD?"
Langkahku pun terhenti tanpa menjawab pertanyaan Kak Ditto. Kakiku rasanya gemetar tak bisa aku gerakkan. Aku menarik kaos belakang Kak Ditto dengan kuat, sampai ia sedikit terhentak kebelakang.
"Aduuh...! Ngapain kamu narik kaosku, Vin?"
"Kak...! ayo kita cari jalan lain." kataku dengan suara yang bergetar ketakutan.
"Kita bentar lagi sampai. Kalau lewat samping, kamu bisa lihat sendiri jalannya di buat parkiran. Kalau lewat tengah taman, ramai anak-anak kecil yang sedang bermain. Kalau balik lagi, akan jauh memutarnya. Emang ada apa?" kata Kak Ditto.
"Itu... Ada itu, tuh...!"
"Ada apa sih?" kata Kak Ditto sambil melihat sekeliling di depannya.
"Itu.....!" kataku sambil menunjuk ke depan dan satu tanganku tetap memegang kaos Kak Ditto erat.
"Anjing?! Kamu takut sama anjing?"
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
Kak Ditto tertawa lepas menertawaiku. "Kamu sudah sebesar ini masih takut anjing, masih saja tetap imut seperti anak kecil. Hahaha."
Aku mencubit punggung Kak Ditto. Tubuhnya menggelinjang karena cubitanku.
"Aduuh... Maaf... Maaf... Hahaha." dia berhenti sejenak mengatur tawanya, lalu melanjutkan perkataannya. "Ayo jalan, cuma melintas di depan mereka beberapa langkah saja, tidak terlalu jauh. Tenang saja, ada aku di sini. Aku akan menjagamu."
Perkataan Kak Ditto barusan sedikit menenangkanku. Aku menyandarkan kepalaku sambil tertunduk pada tengkuk belakang lehernya. Wajahku aku tutupi dengan kaosnya yang aku tarik ke atas, sampai-sampai bagian punggung bawahnya terbuka. Dari depan, tangannya memegangi punggung bawahku dan mendekatkan tubuhku pada tubuhnya. Rasa tenang sekarang aku rasakan, karena ada seseorang yang mau menjagaku. Kami mulai melangkahkan kaki.
"Permisi! Maaf adikku phobia pada anjing." kata Kak Ditto pada mereka.
"Iya, silahkan!" kata salah satu dari mereka.
Dua langkah kami berjalan.
Gukk gukk.... Gukk...
"Waaaa....! Kak Ditto...!" teriakku sambil melompat kaget. Kedua tanganku melingkar dengan kuat pada leher Kak Ditto, mungkin hampir mencekiknya. Tubuhku bergetar, dan kakiku terasa sangat lemas. Rasanya kakiku tidak bisa menopang tubuhku, aku merasa akan terjatuh. Kedua tanganku menggelayut lebih kuat lagi. Tapi, tangan Kak Ditto menopang pinggulku untuk tidak terjatuh.
Tubuh Kak Ditto sedikit memutar, tangannya meraih kepalaku dan mendekatkannya pada dadanya. Tanganku kini beralih melingkar pada pinggang Kak Ditto. Tangan Kak Ditto melingkar di kepalaku, dan menutup mataku sambil berbisik: "Sudah, tenang ya! Aku ada disini, aku tidak akan melepaskanmu."
Mungkin semua orang akan melihat kita sekarang. Bahkan mungkin juga sebagian dari mereka menertawakanku saat ini. Tapi, aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Saat ini, yang terpenting adalah aku sangat merasa tenang. Ada sesosok seorang kakak yang bisa menenangkanku dan mau menjagaku. Aku tidak pernah merasakan memiliki seorang kakak. Mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang kakak, dalam pikirku.
Setelah menjauh beberapa langkah, Kak Ditto berhenti berjalan dan berkata kepadaku. "Kita sudah menjauh. Buka matamu sekarang. Sudah tidak apa-apa." kata Kak Ditto lirih.
Aku melepaskan pelukanku dan menegakkan badanku. Saat aku membuka mata, hal yang pertama aku lihat adalah leher Kak Ditto. Lehernya memerah akibat merangkulnya terlalu keras. Mataku berkaca-kaca sedari tadi.
"Kak... Maafkan aku. Apa leher kakak sakit?" tanyaku dengan rasa menyesal.
"Hmm... Kamu menangis? Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa."
"Tapi leher kakak memerah. Maafkan aku, aku tadi merangkul kakak terlalu keras."
"Tidak apa-apa, kamu lihat sendiri kan, aku tidak kenapa-kenapa. Sudah jangan khawatir ya. Kamu gimana? Apa masih gemetaran?"
"Sudah tidak apa-apa kak. Terimakasih ya kak, sudah menenangkan ku dan menjagaku."
"Iya, aku akan selalu menjagamu sebisaku. Pokoknya nanti siang, kamu harus menemani aku makan. Titik." katanya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan berkata: "Iya kak, aku kan sudah janji."
"Sip....! Kalau begitu ayo kita jalan mencari jajanan."
"Oke."
Setiap sisi jalan terdapat banyak penjual. Dari jajanan tradisional, cemilan, aneka minuman dan makanan berat.
"Kita kesana yuk, itu ada ibu-ibu jualan jajanan tradisional."
"Hayuk kak." jawabku dengan antusias.
"Silahkan nak, dipilih jajanannya. Banyak macam-macam jajanan basah dan kering." kata ibu penjual itu.
"Wah... Ada getas ketan dan nagasari." Kataku.
"Kamu suka itu Vin." tanya Kak Ditto.
"Suka banget kak. Memang dasarnya aku suka jajanan tradisional. Seperti kue cucur, klanting, klepon dan lain-lain."
"Hmm... Begitu ya. Jadi aku gak salah dong mengajak kamu nyari jajanan. Kamu mau minum apa?"
Aku melihat penjual minuman sekeliling tempat ini. "Aku minum es dawet ayu aja kak."
"Oke... Kamu disini dulu ya, pilih saja jajanan sesukamu. Aku akan membeli minuman dulu."
"Baik kak."
Kak Ditto mulai meninggalkanku dan menjauh. Aku kembali melihat-lihat jajanan di depanku.
"Ini berapa harganya buk?" tanyaku.
"Yang di sebelah kiri ini 1000 rupiah dek. Yang di tengah 1500 rupiah. Kalau yang di kanan ini nasi bungkusan, harganya 5000 rupiah."
"Saya pilih beberapa dulu ya buk. Sekalian sama nunggu teman saya barusan."
"Iya, silahkan nak. Ini kantong plastiknya."
Aku memilih beberapa jajanan ini. Tak lama kemudian Kak Ditto datang.
"Kamu sudah memilih jajanan Vin?" tanya Kak Ditto.
"Sudah Kak. Kakak mau pilih jajanan yang apa?"
"Aku pilih dulu. Kantongnya jadi satu saja ya."
setelah memilih beberapa jajanan, Kak Ditto bertanya pada ibu penjual itu. "Berapa total semuanya buk?"
"Semuanya jadi 20.000 rupiah nak."
Kak Ditto mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang, kemudian membayar pada ibu penjual itu.
"Kak jajananku biar aku yang bayar sendiri kak. Ini semua banyak loh jajanannya." kataku.
"Tidak usah. Biar sekalian saja aku yang bayar. Murah kok. Nanti kita kasih kepada yang lain." kata Kak Ditto.
"Hmmm... Sekali lagi terimakasih kak."
"Sama-sama. Ayo kita duduk di sebelah penjual es dawet. Aku tadi sudah memesan minuman."
Aku minum es dawet ayu, sedangkan Kak Ditto minum es oyen. Setelah selesai, Kak Ditto melihat ponselnya.
"Kamu udah selesai Vin?" tanya Kak Ditto.
"Sudah kok kak."
"Kita kembali yuk! Aku sudah dicari teman-temanku. Tadi aku pisah karena bilang ada urusan sebentar."
"Ya udah. Ayo kita balik sekarang kak."
Aku dan Kak Ditto beranjak dari tempat duduk. Kemudian berjalan kembali ke stand cafe yang sudah kami tinggalkan sejak membagikan banyak kertas selebaran tadi.
.
.
.
*****