Chereads / Pangeran Kegelapan (Romance) / Chapter 24 - Bab 24

Chapter 24 - Bab 24

Vote sebelum membaca :))

.

.

Sisi gelap dunia, itulah yang disebut dunia iblis. Dimana manusia memiliki perasaan jahat, dengki, iri, segala perasaan yang berdampak buruk, melahirkan iblis yang akan menyebarkan perasaan itu pada dunia, berkembang biak dan menebarkan terror di dunia manusia. Disaat manusia itu telah takluk oleh iblis, tubuhnya diambil alih, dijadikan boneka untuk tindak kejahatan.

Itu yang para iblis lemah lakukan, mereka perlu proses yang panjang untuk mendapatkan wujud di dunia manusia. Berbeda dengan mereka yang kuat, merekalah sisi paling gelap dari makhluk menakutkan itu. Semakin besar kekuatannya, semakin banyak iblis yang menunduk padanya.

Sang pangeran kegelapan, para iblis mendengar seorang bayi dilahirkan dari api Lucifer, menjadikannya penerus tahta yang akan duduk di singgasana. Makhluk bersayap, bermata elanng, dengan jubbah hitamnya dia berjalan menuju ruang yang sebenarnya enggan dia datangi.

"Father."

"Lucius, bagaimana penampilanku?" Tanya pria berparas tampan, wajahnya serupa dengan Lucius, dalam versi tua. Dia memakai jas abu-abu, persis seperti investor yang sering mendatangi galeri. "Aku akan pergi ke dunia manusia, mengunjungi mereka di luar sana."

"Hentikan pasukanmu untuk mencari Lumina."

Kening Lucifer berkerut, dia mendekat sambil menunjuk telinganya. "Aku tidak mendengarmu, son."

Rahang Lucius mengetat, dia hanya diam menatap dengan mata elang. Tidak dapat dipungkiri, Lucius membencinya, memisahkannya dari kekasihnya.

"Kenapa begitu? Semakin banyak yang mencarinya, maka semakin cepat kita mendapatkan Kristal itu."

"Tarik kembali pasukanmu."

Lucifer merapikan dasi, melangkah menjauh sambil mengangkat bahu. "Kau bisa bicara pada jendralku, Lucius."

Pria itu mengumpat dalam hati sambil menatap punggung Lucifer, dia keluar dari ruangan itu, menuju jendela dan membentangkan sayapnya menuju pasukan iblis yang ada di depan istana, beserta harimau besar mengerikan yang berjajar di sana.

Debu berterbangan begitu Lucius memijakan kakinya di tanah, dia mendekat pada seorang pria yang duduk di atas kuda hitam. Sayapnya hilang dengan sendirinya "Jendral."

Merasa akan menemui dirinya, pria itu turun dari kuda. "Ada yang bisa aku bantu, Pangeran?"

"Tarik kembali pasukanmu, aku akan mencarinya seorang diri."

Pria dengan baju berdurinya itu terkekeh, dia melihat sekitar sebelum menatap Lucius, dengan tatapan menyepelekan. "Ucapanmu bukan perintah untukku, dia sendiri yang mengirimku keluar."

"Kau tahu apa yang akan aku lakukan jika kau bersikeras," ucap Lucius mengeluarkan api di tangan, siap untuk ditembakan pada wajah cacat jendral yang memimpin pasukan.

Pria itu terkekeh. "Lihat jumlah kami, aku mengeluarkan mereka semua dari sarangnya, untuk mencari Lumina...." Kata terakhirnya sengaja dipelankan, dengan nada memancing emosi sang pangeran kegelapan. Pria itu kembali naik pada kuda, tangannya mempersilahkan, "Lebih baik kau pergi sebelum mereka yang memaksa."

Itu adalah penghinaan bagi Lucius, sayapnya membentang seketika, tangannya yang dipenuhi api mencekik jendral sombong itu dan membawanya ke udara, membuat pasukan di bawah sana menjadi ricuh. Lucius lebih dulu menjalarkan api ke seluruh tubuh pria itu, membuatnya sesak dan tidak bisa menggunakan kekuatannya.

Disaat dirinya kehabisan tenaga, tubuhnya lemas. Lucius dengan mudahnya melepaskan cekikan, membiarkannya jatuh dan membuat suara keras. Dia menatap dari atas sana, dengan tatapan datarnya, lalu beralih pada Lucifer yang memperhatikannya dari atap istana. Dengan jas dan rambut yang rapi, pria itu menyilangkan tangan, tanpa berkata apapun.

Seakan mengerti dengan ekspresi wajah Lucifer, Lucius pergi dengan sayapnya yang kuat. Meninggalkan kericuhan di bawah untuk menemukan Lumina sebelum ramuan yang menyamarkan aromanya hilang. Tidak boleh ada yang mendapatkannya lebih dulu, hanya dia yang boleh melakukannya.

'Aku akan membunuhnya dengan tanganku,' ucap Lucius berjanji dalam hatinya.

***

Haus, lapar, ketakutan, semua itu dirasakan oleh Lumina yang dipenuhi keringat. Dia akhirnya berhenti berlari, menengok ke belakang berharap Nasula tidak mengikuti. Pandangannya mengedar, suasana yang sunyi, menakutkan, ditambah suara-suara mengerikan membuat Lumina menngalihkan pandangan ke sana ke mari.

Dia kembali melangkah, mencari tempat yang tepat untuk bisa istirahat sejenak. Hingga matanya menemukan sebuah pohon berdaun hijau, ini adalah pohon normal pertama yang Lumina lihat di dunia aneh ini. Mendekati pohon itu, Lumina memetik buah berbentuk bulat sempurna berwarna kuning. Awalnya dia ragu, tapi rasa lapar itu tidak bisa dia hindari.

Satu gigitan pertama, mata Lumina membulat. 'Ini enak,' serunya dalam hati.

Lumina memetik beberapa, dia menampungnya di gaun dan membawanya ke pohon tumbang yang ada di dekat tebing. Setidaknya dia bisa istirahat di sana, ada tanah kecil di bawah tebing, dengan pohon tumbang besar yang menghalanginya menuju jurang. Lumina menuju ke sana, itulah tempat aman untuknya beristirahat. Setidaknya, jika ada yang menuju tebing, dirinya bisa masuk ke dalam ruang kecil yang ada di sana. Dan jika ada yang melihatnya dari bawah, dirinya bisa menunduk untuk tertutupi pohon.

Sambil memandang alam yang menakutkan, Lumina memakan buah itu lahap. Rasanya dia belum makan selama beberapa hari.

'Ini sangat enak,' pujinya dalam hati.

Tertinggal satu buah lagi, Lumina menahan untuk memakannya saat mendengar langkah kaki mendekat. Dia menggeser mundur, berharap seseorang itu tidak melihat ke bawah. Lumina merasakan seseorang itu berada di atasnya.

Namun, langkah itu semakin dekat, dia menginjak jalan menuju dirinya. Ketika Lumina melihat sebuah kaki keriput di dekatnya, tatapannya naik ke atas. Pemilik mata biru laut itu membungkam mulutnya seketika mendapati seorang nenek tanpa bola mata sedang mengendus.

"Aku mencium buahku di sini, tapi tidak ada siapapun di sini."

Di saat tangannya meraba-raba, Lumina memejamkan mata, napasnya bahkan berhenti selama beberapa detik. Tangan keriput itu dipenuhi serangga mengerikan. Bahkan baunya membuat Lumina mual, berkeringat berlebihan.

"Sial, aku tahu ada sesuatu di sini," ucapnya menegakan tubuh dan berbalik untuk kembali. "Mungkin aku harus membawa pisau untuk memastikannya."

Seketika mata Lumina membulat, tubuhnya bergetar ketakutan. Di saat nenek tua itu dirasa cukup jauh, Lumina naik ke atas dengan pelan, melihatnya sedang jalan dengan punggungnya yang bongkok.

Lumina menghitung dalam hati. Sampai di hitungan ketiga, dia berlari sekencangnya. Alih-alih menjauh dari nenek tua itu, Lumina malah dikejar.

"Aku tahu kau di sana," ucapnya lalu lari dengan kedua tangan dan kakinya, membuat Lumina menjerit keras dan berlari semakin kencang.

Tatapannya terfokuskan pada sesuatu di belakangnya, nenek tua berlari layaknya macan mengejar dirinya, tanpa bola mata dan wajah mengerikan. Lumina tidak sadar ada batu yang menyandung kakinya, membuatnya jatuh berguling ke tanah yang curam.

Iblis itu berhenti mengejar, dia meludah. "Sial! Dia bisa saja aku makan," ucapnya mengambil giginya yang ikut keluar bersama ludah, lalu menempelkannya kembali sebelum berlari kembali.

Lumina meregang kesakitan, dia memegang kepalanya yang berdarah. Dirinya sungguh ketakutan, membuatnya menangis dengan tangan yang bergetar menutup wajah. "Lucius....," gumamnya dalam tangisan. Hanya malaikatnya yang dia percayai, hanya dia yang Lumina inginkan.

Dia menarik napasnya dalam. 'Ayo, Lumina, kau harus menemukan Lucius,' ucapnya memberi semangat pada diri sendiri.

Bangkit kembali, itulah yang sering Lumina lakukan. Dia berjalan tertatih-tatih di hutan kering yang dipenuhi kabut. Dirinya harus naik dan keluar dari jurang ini. Dengan tangan yang penuh goresan luka, Lumina memanjat satu per satu batu, membuat telapak tangannya berdarah dan melepuh akibat beberapa batu terasa panas.

"Aw!" Lumina menatap salah satu telapak tangannya yang melepuh merah. Dia tahu usaha tidak boleh menghianati hasil, maka dari itu Lumina tetap memanjat.

Dirinya baru berhenti bergerak ketika mendengar suara langkah kaki.

"Aku tidak bisa menemukannya, Lucius, ramuan itu menutupi baunya."

Mendengar nama itu disebutkan, Lumina girang. Dirinya hendak memanggil, tapi terhenti oleh suara yang dia kenal, dengan kalimat, "Cari Lumina dimanapun, kita harus yang pertama menemukannya. Kristal dalam jantungnya adalah milikku, tidak peduli siapapun yang membunuhnya, Kristal itu harus aku serahkan sendiri pada Lucifer."

"Ya... bagaimana jika iblis lain memilikinya lebih dulu?" Tanya Arcsull.

Dan kalimat yang mampu membuat Lumina meneteskan air mata adalah, "Rebut, kita bunuh mereka yang memilikinya. Hanya itu satu-satunya cara aku bisa bersama kekasihku Nara."

"Jadi... kau tidak keberatan jika aku membunuhnya langsung?"

"Nyawanya milikmu, tapi jantungnya milikku. Dia harus menjadi manusia duyung terakhir."

Terdengar suara sayap membentang, lalu terbang ke angkasa. Lumina menudnuk memeluk batuan di sana, air matanya menetes dengan deras. Benar, semua yang diucapkan Nasula adalah kebenaran. Dirinya hanyalah boneka yang dimainkan Lucius demi kepentingannya. Semua ungkapan cinta, kasih sayang itu tidaklah bermakna, semuanya berdasar pada dusta.

Tidak ada lagi harapan hidup bagi Lumina, yang dia lakukan hanya memejamkan mata, melepaskan pegangannya dan membiarkan alam mengambil rasa sakitnya. Dia ingin pergi menjauh dari Lucius, meninggalkan raga yang sangat diinginkan pria itu.

'Jika ini yang kau inginkan, ambilah.'

___

Love,

ig : Alzena2108