Vote sebelum membaca :))
.
.
Batu yang lembab, aroma busuk, kelelawar yang mengintai, tidak ada satupun hal di tempat itu yang mengganggu pikiran Lumina. Bahkan nyamuk diberikan darah secara percuma. Matanya memandang ksosng, dengan tangan mengelus perutnya yang datar. Meratapi nasib, karena faktanya tidak ada lagi harapan baginya. Hari-harinya kini diwarnai air mata.
Gaunnya robek, air mata mengalir membasahi pipi. Pertanyaan yang sering ditanyakan pada diri sendiri adalah, 'Bagaimana bayiku nanti? Siapa yang akan menjaganya? Adakah cara keluar dari sini?'
Mengerikan memang mengandung bayi iblis, tapi Lumina tidak memikirkannya. Seburuk apapun Lucius, dia tidak akan membiarkan anaknya mengikuti jejak pria itu. Harus ada mentari di matanya, cahaya kebaikan yang menuntun, bukan bayangan pada kegelapan.
Untuk yang kesekian kalinya, Lumina tidak menghiraukan seseorang yang baru saja masuk. Mencoba untuk tidak mendengarkan dan membuat janinnya dalam bahaya.
"Ganti pakaianmu dengan ini, Tuan Lucius akan kemari malam nanti."
Sekan bisu dan tuli, Lumina hanya diam memandang tembok yang terbuat dari batu.
"Kau dengar aku? Ganti pakaianmu dengan yang lebih pantas," ucap Dorothy menaikan nada bicaranya.
Lumina tetap pada monolognya, dalam pikirannya dia berkutat dengan banyak pertanyaan mengenai masa depan bayinya.
"Apa perlu aku ganti wujud agar kau ketakutan."
"Lakukan saja," ucap Lumina dengan suara lelahnya.
Hal itu memancing emosi Dorothy, wanita tua itu mengeluarkan poto dari balik sakunya. "Lihat ini, banyak anak panti mendapatkan rumah yang layak, makanan banyak dan pendidikan terjamin. Setidaknya kau membalasnya dengan jantungmu."
Lumina melempar foto itu tanpa melihatnya.
"Kau tidak tahu caranya berterima kasih?"
"Cukup." Harsha menahan Dorothy yang hendak menampar Lumina, dia mendorongnya kuat hingga Dorothy jatuh. "Bukankah tugasmu hanya memberikan pakaian? Sekarang keluarlah."
Wanita tua itu berkomat-kamit, bicara tentang betapa kesal dirinya. Meninggalkan penjara bawah tanah setelah meludahi pintu besi, dia membayangkan itu adalah wajah Lumina.
"Lumina, dengarkan aku." Harsha duduk bersimpuh di depan Lumina yang menatap kosong. "Hiduplah untuk bayimu, kasihan dia."
"Aku lebih kasihan meninggalkannya bersama para iblis, apa yang bisa aku perbuat?"
"Kita membahas bayimu, bukan kematianmu."
"Dan setelah bayiku lahir kita berunding tentang caraku mati?" Lumina tertawa hambar. "Ironis sekali."
"Lalu apa? Kau akan membunuh janin itu? Sebelum dia terbentuk dan menatap dunia?"
Harsha terdiam, dia berdiri dengan raut wajah yang sulit memberikan jawaban, banyak keraguan untuk mengatakan satu kata pun, hingga akhirnya dia memilih untuk berucap, "Aku akan keluar, kau harus menjernihkan pikiran demi bayimu itu."
Sebelum tangan Harsha menggapai pintu, Lumina menarik rambut belakangnya dengan kuat hingga wanita itu jatuh terjungkal. Setelahnya Lumina menyerang, dia memukul-mukuli wajah Harsha sambil berteriak, "Dasar iblis! Aku akan hidup dengan anakku!"
Memukul keras wajah Harsha sebelum berlari keluar dari bawah tanah. Tidak peduli kakinya yang terasa sakit, mengeluarkan darah, Lumina tetap berlari. Dia mendorong seseorang yang berjalan menuruni tangga bawah tanah, dia harus keluar dari sana.
Saat sinar matahari menerpa wajahnaya, Lumina memejamkan mata sesaat, dia keluar tepat di dapur belakang istana, membuatnya bisa melihat langsung jalan keluar dari istana ini.
Menyadari ada beberapa pasang mata iblis yang mendekatinya, Lumina menggapai Teflon dan tanpa rasa kasihan memukul mereka dengan itu. Makhluk itu adalah iblis, fakta yang membuat Lumina berlari kencang sekuat tenaga agar tidak bisa dikejar.
Tatapannya focus pada arah belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dan saat mata Lumina menatap ke arah depan, dia terkejut melihat seorang pria yang dikenalkan Lucius sebagai temannya. Sebagai bela diri, Lumina mengarahkan Teflon itu padanya. "Jangan macam-macam denganku."
Sarcnal menggeleng, dia memasukan tangan ke dalam saku celananya. "Aku kasihan pada bayimu," ucapnya menunjuk paha Lumina dengan tatapan.
Begitu pemilik mata biru itu tertuntun oleh arah mata Sarcnal, matanya membulat, benda yang dipegangnya jatuh seketika mendapati darah keluar dari pangkal pahanya. "Bayiku...."
***
Seorang pria yang sedang menatap lembaran kontrak yang ada tangan, matanya menatap pada kertas, tapi pikirannya pada hal lain.
Hingga akhirnya memutuskan menelpon sekretarisnya. "Batalkan semua jadwalku hari ini."
'Ya, Signore.'
Lucius mengambil jaketnya, dia keluar dari gallery menuju basement tempat mobilnya terparkir. Langkahnya perlahan melambat, dengan kening berkerut menatap seorang pria sedang duduk di atas kap mobilnya, sambil merokok.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Pria itu tersenyum, dia merentangkan tangannya sebelum menginjak sisa rokok dengan sepatunya. "Puteraku."
"Pergi, kita sepakat untuk tidak saling mengenal di sini."
Lucifer tidak berkutik, dia melepaskan kacamata hitamnya, memberikan tatapan penuh pertanyaan. "Why?"
"Apa?"
"Kenapa kau melakukan itu? Kristalnya ada dalam genggamanmu, aku tidak punya waktu sampai saudaraku tahu dan menyerang lebih dulu."
Lucius terkekeh. "Thorax akan tetap jadi singgasanamu."
"Aku ingin lebih cepat." Dia berdiri tepat di hadapan Lucius, dua pria kuat itu saling berhadapan. "Bunuh dia sekarang, bawa kristalnya padaku malam ini. Akan aku hancurkan pelindung langit, akan kubawa semua iblis ke sana, dengan kau di sampingku."
"Aku tidak terarik dengan itu," ucap Lucius dengan wajah datarnya. "Aku tidak akan memberikannya padamu sampai dia melahirkan."
"Bayi itu tidak penting."
"Dia anakku." Lucius berucap tajam. Lucifer mencekal tangannya saat dia hendak pergi, memaksanya untuk kembali beradu pandang. "Dia milikku."
Lucifer menggeleng. "Aku ingin Kristal itu, Lucius, aku tidak peduli dengan bayinya. Kau membunuh semua darah duyung, dan kau akan mengembang biakannya?"
Rahang Lucius mengetat.
"Kau ingin kematian Nara?"
"Jangan pernah sakiti kekasihku!"
"Maka bunuh duyung itu!"
Lucius terdiam sesaat, dengan penuh penekanan dia berkata, "Jangan pernah menyentuh Nara. Jika saja ada satu jemarinya yang terluka, aku akan melawanmu, membakarmu dalam api yang kau ciptakan."
Lucius mengibaskan tangannya. Dan tanpa sepatah katapun, meninggalkan Lucifer yang memakai kembali kacamatanya, menutup mata iblisnya yang menahan marah.
Sepeninggalan Lucius, Lucifer mengeluarkan kunci mobilnya, dia masuk ke dalam ferarri biru yang berjarak tiga mobil di bagian kiri dari tempat parker Lucius. Ketika masuk ke dalam, Lucifer menatap seseorang yang ada di jok belakang. "Kau lihat dia?"
"Yes, Your Highness." Nara menunduk.
"Tugasmu adalah membuat Lucius membunuh mereka berdua dan membawa Kristal itu padakku."
"Yes," ucapnya masih enggan menatap mata hitam iblis yang seringkali menyakiti.
"Waktumu lima bulan. Jika kau tidak berhasil dalam itu, maka aku akan membunuh kekasihmu."
"Tidak!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jangan menyentuh Peter, kau berjanji akan mengembalikan kekuatannya jika aku berhasil dengan Lucius."
"Jika kau berhasil, Nara." Tangan kekarnya mengusap rambut wanita itu. "Ada kata gagal dalam hal ini."
"Berpuluh-puluh tahun aku mengikuti perkataanmu, perasaanku pada Lucius itu dusta, kau yang memintanya. Setidaknya, jika aku gagal biarkan Peter hidup dan kembali ke duniamu."
Lucifer menyeringai. "Bagaimana jika ada cara lain agar kau bersama kekasihmu?"
Raut wajah Nara yang penuh pertanyaan membuat Lucifer melanjutkan, "Bagaimana kalau kau bunuh Lucius, lalu wanita duyung itu?"
"Bolehkan aku membunuh puteramu?"
Keterdiaman Lucifer memberikan secercah senyuman di wajah Nara. "Akan aku lakukan apapun, demi cintaku."
___
Love me,
Alianna Zeenata