Vote sebelum membaca,馃グ馃槝
.
"Apa terbayang di benakmu jika kita menghancurkan pelindung langit dan mencapai Thorax."
Harsha menggeleng menanggapi pertanyaan Sarcnal. "Kau akan terluka parah jika menyentuhnya sedikit saja, itu diciptakan untuk melindungi dewa dari para iblis."
"Mengecewakan," ucap Sarcnal yang sedang terbaring memainkan game dalam gadget, pria itu menerima martini yang dibuatkan Harsha. "Thanks."
"Aku akan keluar," ucapnya meninggalkan Sarcnal yang asyik dengan dunianya sendiri. Harsha melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat dirinya pergi ke salah satu kamar milik pelayan.
Ketika membuka pintu, pandangan pertamanya pada wanita yang sedang menatap api lilin di depannya, dia duduk di lantai. Bagi yang pertama melihatnya, dia Nampak seperti wanita gila. Apalagi rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang cukup menyeramkan. "Bagaimana ramuannya?"
Nasula tidak mengalihkan pandang dari api lilin yang terlihat tenang, dia tersenyum. "Bagaimana bisa kalian terbuat dari api?"
Harsha memilih memastikannya sendiri, dia mendekat pada kendi besar berisi cairan hitam, mengidentifikasi baunya dengan mencium asap yang ada di sekitarnya. "Ini belum sempurna, buatkan lagi."
"Kenapa kau sangat berambisi membuatkan ramuannya begitu banyak? Itu cukup untuk hampir satu tahun lamanya," ucap Nasula menunjuk kendi-kendi berisi cairan hitam yang berfungsikan untuk menyamarkan aroma tubuh Lumina. "Sang Putri tengah terlelap, kau tinggal meminumkannya. Tidak usah membuatkan ramuan sebanyak ini untuk berjaga-jaga jika dia membuangnya."
Tujuan Harsha bukanlah untuk itu, dia hanya melihat bagaimana banyaknya ramuan di hampir setiap sudut ruangan. "Bisakah kau menyihirnya dengan apapun supaya mereka menjadi benda kecil? Dan sebagainya?"
Nasula tersenyum, dia menatap Harsha penuh tanya. "Kau akan kabur 'kan?"
"Tutup mulutmu, dia kaummu, aku mencoba menolongmu."
Penyihir itu melangkah mundur, menatap banyaknya ramuan di sekitarnya. "Kau ingin mereka menjadi mudah dibawa bukan?"
"Lakukan itu." Saat Nasula terdiam, Harhsa kembali melanjutkan, "Kau bisa 'kan?"
"Tidak semua penyihir melakukan hal ajaib, Nona. Aku mungkin bisa ikut bersama Lumina dan membuatkannya banyak ramuan supaya Kritstal itu tidak terendus."
"Kau benar-benar tidak bisa melakukannya?"
"Aku akan menjaganya, aku akan bersama Tuan Putri di tempat yang aman."
Lama Harsha terdiam sampai akhirnya dia membulatkan tekad. "Persiapkan dirimu malam ini, aku mungkin akan membawanya pergi."
"Tunggu." Suaranya menghentikan Harsha yang hendak keluar, dia menatap penyihir itu penuh tanya. "Kau tahu bukan aku tidak bisa keluar dari sini, iblis itu menanamkan api tak kasat mata yang membuat darah duyungku terbakar jika melewatinya."
Harsha terkekeh. "Tenanglah, aku akan menghilangkannya begitu rencana berjalan sesuai keinginanku."
Pencinta warna ungu itu melangkah menjauh dari ruangan itu, dia memilih naik ke lantai atas untuk melihat keadaan Lumina. Perempuan itu terlelap selama satu bulan, beruntung Kristal yang ada di jantungnya membuat Lumina bertahan. Ketika hendak masuk ke kamar tempat Lumina berada, Harsha masih merasakan adanya api yang mungkin akan menahan Lumina keluar nanti. Maka dari itu, dia mengeluarkan serbuk merah dari kantungnya yang mampu memadamkan api Lucius yang bisa membakar Lumina.
Ketika penghalang itu perlahan hilang dan berubah menjadi asap, Harsha tersenyum. Namun tidak bertahan lama saat mendengar seseorang mendekat, dengan aroma khas yang dikenalnya.
"Apa yang kau rencanakan, Harsha?"
"Well, dia tertidur dan juga dirantai, dia tidak akan bisa keluar, Nara." Menatap iblis licik yang datang dengan tangan tersilang. "Kenapa Lucifer tidak mengurungmu kembali?"
"Karena Lucius akan segera menyelesaikan tugasnya, dia akan merobek jantung duyung itu."
"Lucius akan berubah pikiran, wanita itu mengandung anaknya."
"Tidak akan ada yang berubah." Matanya menatap tajam Harsha, giginya saling beradu seakan menahan amarah. "Lucius akan membunuhnya."
"Itu sebabnya kau meracuninya?"
Nara tertawa. "Aku tidak meracuninya, dia melakukannya sendirian, mungkin dia bosan hidup."
"Lumina bertahan demi bayinya, dia takkan melakukan itu."
"Lantas mengapa kita menemukan racun di kamar mandinya? Dia mungkin menciptakannya mengingat Lumina pernah bergaul dengan penyihir duyung itu."
Harsha terdiam, dia mencari kesalahan dalam tatapan Nara. Wanita yang sangat dibenci Harsha, dia tahu betapa liciknya iblis ini. "Racun itu hanya dibuat oleh iblis, kau pikir siapa? Apa mantan kekasihmu masih ahli dalam bereksperimen."
"Jaga ucapanmu sebelum Lucius memotong lidahmu."
Seulas senyuman tercipta di wajah Harsha. "Kau ketakutan Lucius tahu masa lalumu."
Seakan tertantang, Nara mendekat dan berhenti tepat di depan Harsha. "Coba saja katakana apa yang ingin kau katakan. Lucius takkan mendengarmu, dia hanya mempercayaiku, kekasihnya, Nara."
Kepergian Nara membuat Harsha lebih semangat untuk membantu Lumina bebas, dia tidak bisa membiarkan anak Lumina dirawat oleh iblis semacam itu. Setidaknya, Harsha melakukan satu kebaikan.
Matanya menatap Lumina yang terpejam, dia terlihat begitu damai. Meskipun begitu, tetap ada rantai yang mengikat kakinya. Hal itu membuat Harsha semangat melepaskannya dan memasukannya ke dalam laci. Harsha menggenggam tangan Lumina kuat. Seolah ada aliran kekuatan yang merambat dari Harsha menuju Lumina.
'Tenanglah, Lumina, akan aku bantu kau melawan racun itu. Kau harus hidup, demi anakmu.'
Sedetik setelah tangan mereka terlepas, mulut Harsha mengeluarkan darah, bersamaan dengan manik Lumina yang terbuka.
***
"Itu gila, Harsha." Arcsull merangkup wajah wanita di depannya mencoba meyakinkan. "Kau ingin membebaskannya? Setelah semua yang kita lakukan."
"Ya, ini caranya kita akan mendapat pengampunan."
"Harsha." Arscull berdiri dari atas ranjang, dia mengguyar rambut kasar sebelum dia menatap wanita yang duduk di kasur dengan selimut yang membalut tubuhnya. "Karena itu kau bersedia bersama denganku?"
"Well, aku tahu kau menyukaiku, Arcsull." Harsha ikut berdiri tepat di depan pria itu, dia membuka selimut yang menutupi tubuh, hanya menampilkan wanita yang tertutupi pakaian dalam saja. "Aku tahu kau menyukaiku bukan karena sekedar tubuhku."
Berbeda dengan dugaannya, Arcsull malah memeluk Harsha, pikirnya pria itu akan memarahinya. Nyatanya, Arcsull berulang kali mengecup puncak kepalanya. "Ingat lagi pengorbanan kita untuk sampai di titik ini, kita menebas semua leher manusia duyung itu."
"Ingat kembali bagaimana kita membunuh bayi-bayi tidak berdosa, bagaimana kita membantai mereka. Kita mungkin iblis, tapi tidak selamanya kita harus jahat. Aku tidak menginginkan hidup di Thorax dan menjadi dewa, aku memilih untuk menyelamatkan Lumina dan bayinya."
"Mereka akan tetap mengejar, Kristal itu pasti akan ditemukan."
Kini giliran Harsha yang merangkup wajah Arcsull. "Setidaknya kita berusaha membuat Lumina hidup bersama anaknya, kau mengerti 'kan?"
Lama pria itu terdiam hingga akhirnya mengangguk pelan, dia mencium telapak tangan Harsha. "Aku akan membantumu."
"Bagus, waktu kita tidak banyak. Lucius akan pulang dari pameran seninya besok pagi. Malam ini, kita selesaikan semuanya," ucap Harsha melemparkan pakaian Arcsull tepat ke wajah pria itu. Mendapatkan Arcsull yang masih terdiam sementara dirinya tengah buru-buru berpakaian membuat Harsha kesal. "Cepat!"
"Oke, oke."
"Aku akan menemui Lumina, sementara kau temui Nasula. Kita bertemu di danau dekat lembah, di belakang bukit."
"Oke." Belum sempat Arcsull menyelesaikan kalimatnya, Harsha sudah berlari keluar kamar. Wanita itu melihat kamar yang ditempati Nara, terdengar sepi layaknya mala mini. Ketika Harsha membuka pintu kamar Lumina, dia mendapati perempuan bermanik biru itu tengah menatap keluar jendela. "Lumina?"
"Harsha?" kepalanya menoleh, memperlihatkan wajahnya yang terlihat lemah. Bibirnya pucat, matanya terlihat menahan kantuk.
"Lumina apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku terbiasa duduk di sini, menunggu Lucius pulang dan memelukku, memberiku kehangatan."
"Lumina, sadarlah." Harsha duduk bersimpuh di depan Lumina, "Pria itu akan membunuhmu."
"Lantas apa yang harus aku lakukan? Satu-satunya cara membuatku hidup adalah hidup dalam kenangan itu."
"Lumina." Harsha menggenggam tangan perempuan itu. "Aku akan membawamu keluar, kau akan hidup bersama bayimu."
"Jangan berikan aku harapan palsu, Harsha."
"Lumina, aku serius. Nasula akan ikut denganmu supaya dia bisa mencari cara membuat pelindung lagi di jantungmu."
Melihat wajah Harsha yang terlihat serius menarik focus Lumina. "Apa kau benar-benar akan menolongku?"
Harsha mengangguk yakin, dia membantu Lumina berdiri dan keluar dari ruangan itu.
"Kamar ini dimantrai."
"Tidak, aku sudah menghilangkannya."
Itulah kalimat terakhir yang mereka ucapkan sebelum keluar dari kamar dengan perlahan. Harsha tidak berhenti menggenggam tangan Lumina, matanya menatap sekeliling memastikan tidak ada yang melihat. Apalagi saat membuka pintu, Harsha melakukannya dengan begitu pelan agar tidak terdengar Dorothy.
Selebihnya mereka gunakan untuk berlari, angina malam berhembus menerbangkan rambut Lumina yang sudah lama tidak merasakannya. "Apa kau lelah?" ketika Lumina tiba-tiba berhenti.
Perempuan itu menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja." Kembali melangkah hingga akhirnya mereka sampai di tepi danau, di mana di sana ada Arcsull dan Nasula.
"Kau membawa ramuannya?"
"Tidak semua, tapi aku bisa membuatnya lagi," ucap Nasula menjelaskan.
"Jadi, apa rencananya sekarang?" Tanya Arcsull.
"Ada aliran kecil di dasar danau yang menuju ke sungai, lalu membawa mereka ke laut lepas," jelas Harsha. Dia menatap Lumina. "Kau ingat mantra untuk mengubah dirimu menjadi duyung 'kan?"
Lumina mengangguk, dia menatap Nasula yang duduk di tepi danau.
"The贸, kathodig铆ste tin archik铆 morf铆 mias gorg贸nas," Nasula mengucapkannya lebih dulu, kakinya seketika berubah menjadi ekor, wanita itu turun ke dalam air sambil membawa kotak berisi ramuan untuk Lumina.
"Kini giliranmu, Lumina," ucap Harsha.
"Terima kasih untuk semuanya."
Mereka berpelukan sesaat. "Terima kasih, Arcsull."
Pria itu mengangguk. "Jaga dirimu, jangan sampai tertangkap."
Lumina mengangguk. Dia menarik napas dalam. "The贸, kathodig铆ste tin archik铆 morf铆 mias gorg贸nas," ucapnya hingga kakinya kini berubah menjadi ekor yang sebiru matanya.
Dia turun ke dalam air, senyuman tidak luntur dari wajahnya. Sedetik setelah Lumina menyelam, tiba-tiba sesuatu menariknya ke udara dan membuatnya sesak dengan cekikan. Lucius menatap murka Lumina yang meronta kesakitan. "Kau tidak akan pergi ke manapun, Lumina."
______