Vote sebelum membaca🥰
.
.
"Aku tidak ingin kau pergi ke mana pun."
Wanita berambut pendek yang sudah rapi dengan pakaian musim dinginnya itu menoleh, mendapati pria yang duduk di atas ranjang dengan raut wajah masam. Nara mendekat, diia mengangkat dagu Lucius agar tatapan mereka saling bertemu. "Kau menahanku lebih dari seminggu, aku bosan di istana ini terus, tidak ada bedanya saat aku dikurung oleh Lucifer."
Rahang pria itu mengetat. "Jangan pernah menyebutkan nama pria itu di depanku."
"Maaf," ucap Nara menunduk, membuat Lucius berdiri dan memeluknya. Tinggi wanita itu hanya sebatas dada, sedikit lebih besar dari Lumina. Mengingat pemilik mata biru itu, Lucius segera melepaskan pelukannya. "Kau boleh pergi, tapi ditemani Dorothy."
"Lucius, come on, aku tidak perlu. Aku ingin berjalan-jalan. Ayolah, cukup berikan aku mobil."
"Kau bisa mengendarainya?" Tanya Lucius sembari membenarkan letak dasi, dia menatap Nara lewat cermin. "Kau ingin naik mobil seorang diri."
"Aku tahu caranya, aku melihat mereka melakukannya setiap saat, kini giliranku untuk melakukannya," ucapnya dengan mata berbinar, meminta permintaannya terpenuhi.
Suara helaan napas Lucius menjadi pertanda pria itu menyerah, membuat Nara girang apalagi saat dia mengambil kunci dari laci. "Pakai dengan hati-hati, dan kembali sebelum aku pulang."
"Yes!" ucapnya riang. Nara memberikan ciuman pada pipi Lucius sebelum keluar dari kamar mereka.
Sepeninggalan Nara, senyuman Lucius menghilang. Dia menyempatkan dirinya masuk ke kamar lain, tempat di mana Lumina dikurung. Bukan hanya kunci berwujud, Lucius memerintahkan penyihir darah campuran untuk menerapkan mantra agar Lumina tidak bisa menyentuh pintu, darah duyungnya yang menyebabkan itu.
Sarapan masih utuh, perempuan itu tetap pada posisi seperti saat Lucius datang terakhir kali. Dia duduk di dekat jendela, membiarkan angina membelai surai indahnya. Tidak ada lagi rantai yang menahannya, mantra yang mengelilingi ruangan ini cukup untuk menahan Lumina tetap di dalam sana.
Pemilik mata laut itu memejamkan mata, begitu menikmati tiupan angin di pagi hari. Ketika Lucius berdiri di sampingnya, senyuman Lumina memudar, perlahan dia membuka matanya.
"Minum ramuanmu, atau iblis akan berdatangan untuk merobek jantungmu."
"Ya," ucap Lumina singkat tanpa menoleh. Terbiasa dengan rasa sakit membuatnya kuat. Satu-satunya yang bisa menengkan hatinya hanya dengan menyentuh perutnya. Di sana anaknya berada.
"Minum itu sekarang, a⸻"
"Atau apa? Kau akan membunuhku seperti kau membunuh ibuku?"
Wajah pria itu datar, seakan tidak memiliki emosi. "Aku akan melakukannya, begitu bayi itu dilahirkan," ucapnya melangkah pergi dari sana.
Bersamaan dengan suara pintu tertutup, air mata Lumina menetes. Dia mengusap perut datarnya dan bergumam, "Tenanglah, sayang, semuanya akan baik-baik saja."
***
"Aku sangat merindukanmu, Sayang."
Sang wanita tersenyum, dia menaikan selimut menutup erat tubuh keduanya. Berada dalam pelukan pria yang dicintainya adalah keinginan terbesar dalam hidupnya. Semua hal-hal gila yang dilakukannya hanya untuk ini. Untuk bisa bersama dengan Peter, kekasihnya yang sudah lama hilang.
Berpuluh-puluh tahun Nara mengorbankan dirinya sendiri untuk menggapai kebahagiaan ini, pertemuan seperti ini. Terhitung jari dirinya dapat bertemu Peter saat menjadi kekasih Lucius. Pria itu selalu menahannya saat dirinya memiliki kesempatan bebas dari kurungan Lucifer.
"Apa Lucius sering mengatakannya hingga kau tidak menjawabku?"
Nara menaikan pandang pada pria tampan yang dia cintai, memberikan kecupan kecil sebelum menjawab, "Aku terbiasa tidak menjawabnya, dia selalu berisik mengungkapkan kata-kata itu."
"Tidurlah kembali." Peter mengusap kepala Nara, matanya memandang langit-langit. Merasa lelah setelah apa yang mereka lakukan. "Aku berhasil membuatnya."
"Benarkah?" Mata Nara berbinar, apalagi saat pria itu mengangguk, kebahagiaan seakan membuncah dari dada. "Di mana?"
Peter menggapai celananya, dia memakainya dan turun dari atas ranjang. Pria itu membuka salah satu laci, mengambil sebuah pisau yang dibalut oleh kain putih. "Ini milik bangsa duyung."
Dengan senyum mewarnai wajah, Nara mengambil pisau putih yang seharusnya dimiliki dan disimpan oleh bangsa duyung. Ketiaknya mengapit selimut agar tidak jatuh. Masih dengan tatapan tidak percaya, dia meremas tangan Peter. "Dari mana kau mendapatkannya?"
"Kau tidak perlu tahu, kau hanya perlu menusuk jantungnya dengan itu,"
"Akan aku lakukan," ucapnya mengusap pisau seakan itu adalah hal paling berharga dalam hidupnya. Saat teringat sesuatu, dia menahan Peter yang hendak berdiri.
"Ada apa?" pria itu menaikan alisnya.
"Aku butuh racun."
"Racun?"
Nara mengangguk. "Racun yang mampu membunuh janin."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Duduklah lebih dekat," perintahnya menggeser pada Peter, Nara terdiam sesaat sebelum berucap, "Aku lupa mengatakan ini padamu. Lucius menghamili manusia duyung itu, dan dia tidak membunuhnya karena sedang mengandung."
"Ah." Peter memainkan jemarinya di ujung hidung Nara. "Aku mengerti."
Dia membuka kembali laci sebelumnya, mengeluarkan botol kecil berisi cairan kuning. "Aku mempelajari jenis racun, ini mampu membunuh janin sekaligus ibunya. Racun tanpa bau, tidak aka nada bisa yang mendeteksinya."
"Than⸻ oh shit!" Nara buru-buru turun dari ranjang tidak mempedulikan tubuh telanjangnya, dia memakai baju dengan tergesa-gesa hingga membuat Peter keheranan.
"Ada apa, Sayang?"
"Lucius akan segera pulang, aku harus pergi."
Setelah memberikan ciuman singkat, Nara lari sepanajang lorong apartemen, dia bahkan beberapa kali mengumpat pada pintu lift yang tidak kunjung terbuka. Nara membereskan dirinya sendiri di kaca lift sembari turun. Menyadari ada seorang perempuan tua yang menatapnya, dia membentak. "Apa yang kau lihat?! Apa kau ingin aku makan?!"
'Dasar manusia menyebalkan, sial kakiku sulit lari. Shit!' umpatnya sepanjang kakinya berlari.
Butuh waktu cukup lama menuju istana Lucius, dalam perjalanan Nara tidak berhenti melontarkan kata-kata kasar. Dia memarkirkan mobil di garasi, kemudian lari terbirit-birit menuju istana. Beruntung baginya, teman-teman Lucius tidak di sini, dirinya bisa tampil sempurna seperti biasanya. Dalam pikiran Lucius, dirinya adalah wanita lemah dan tidak berdaya, berhati baik dan begitu penurut. Dan pandangan itu harus Nara pertahankan sampai setidaknya Lumina mati.
"Nona Nara."
"Apa itu Dorothy?" menatap baki berisi makanan yang ada di tangan wanita tua itu. "Apa itu untuk Lumina?"
"Ya, Nona, ini makan malamnya."
"Berikan padaku."
Dorothy menatap Nara meminta pengulangan. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan, memberinya makan dan ramuan untuk menghilangkan aromanya 'kan?"
"Ya, Nona."
Tanpa berkata lagi, Nara merebutnya. Dia menaiki tangga menuju kamar Lumina. Sebelum sampai di sana, Nara berhenti, dia menyimpan baki di meja dan menuangkan racun yang diberikan Peter. Nara menyeringai, hatinya bicara, 'Kau dan bayimu akan segera mati.'
Berbeda dengan niatnya yang jahat, Nara memasang wajah manis ketika membuka pintu kamar Lumina. Dia melihat pemilik mata biru itu baru saja keluar dari kamar mandi. "Holla, apa kau baru saja berubah jadi duyung? Tubuhmu basah kuyup."
"Urusi sendiri urusanmu," ucap Lumina merebut nampan yang ada di tangan Nara. "pergilah."
"Wow, sepetinya ada yang memiliki nafsu makan tinggi," berucap dengan raut wajahnya yang imut. "Kau ingin tambah daging?"
"Bayiku akan lahir, dia diciptakan untuk menggilingmu."
"Oh, ya ampun, apa Lucius termasuk di dalamnya?"
Gerakan Lumina yang sedang melahap makanan terhenti, dia menatap tumbuk kentang itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kau mencintainya 'kan?" Nara duduk di punggung kursi, menatap Lumina dengan tangan tersilang. "Sampai detik ini pun,���
"Ya, aku mencintainya, dan masih berharap dia akan berubah."
"Oh sayang, kau akan mati."
Setelah Nara mengucapkan kalimat itu, Lumina merasa seseorang mencekiknya, meremas perutnya kuat hingga dia terjatuh ke bawah. Beserta dengan makanannya yang tumpah di atas kasur.
Lumina kesakitan, air matanya menetes. Perempuan itu tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Hatinya menjerit meminta pertolongan, rasa sakitnya luar biasa, tubuhnya bergetar saat darah mengalir dari pangkal pahanya.
Nara tertawa puas, dia berdiri tepat di samping Lumina yang mencoba menggapai pintu. "Kau akan mati, tenanglah, ini takkan lama," ucapnya melangkah pergi. Meninggalkan perempuan yang diambang kematian.
Sesak, sakit, pedih, hingga semua bagian tubuhnya tidak dapat Lumina rasakan. Dia meneteskan air mata. Kamar itu menjadi saksi bisu bagaimana kesakitannya, tersiksa.
_____
Love,
Ig : alzena2108