Vote sebelum membacaš„°
.
.
"Sampai kapan kita akan berada di sini?" Arcsull memeguk anggur untuk yang kesekian kalinya, dia merebahkan diri di atas sofa. Sambil memandang langit-langit, dia menggangkat botol anggur. "Aku harus mandi anggur."
"Aku harus menemui para budakku," gumam Sarcnal yang sedang memainkan kelereng di atas meja, dengan dirinya yang duduk bersimpuh di atas karpet. "Aku mulai bosan."
"Apa kau yang menculik semua budak Lucius?" Tanya Arcsull menatap pria berambut sebahu.
Dengan mata malasnya dia membalas tatapan, menaikan alis lalu tersenyum pelan. "Tentu saja itu aku."
"Kemana mereka semua?"
Sarcnal menegakan tubuh, dia mengikat rambutnya dengan pita dari saku pakaian. "Aku jadikan mereka istri jika ada yang cantik, sisanya aku kembalikan ke dunia ini dan membuat kekacauan."
Tertarik dengan pembicaraan itu, Arcsull menegakan tubuh, menyimpan botol anggur di meja. "Berapa banyak istrimu?"
Bola mata sarcnal menghadap ke atas, seakan menghitung bintang di angkasa. "Bersama yang terakhir yang bernama Serena, jumlahnya ada 249."
"Holly shit!"
Sarcnal tertawa, dengan bangganya dia menepuk dada. "Mereka semua menyukai raga ini."
"Berencana memiliki anak?"
"Seperti Lucius?" Kali ini tawanya menggema, meremehkan sambil mengibaskan tangannya berulang kali. "Aku tidak tertarik."
Belum juga Arcsull bicara, seseorang lebih dulu memotong. "Dia membuat ramuannya cukup banyak." Menyimpan kotak besar berisi botol-botol kecil. Harsha memegang pinggangnya yang terasa sakit. "Ini cukup untuk satu minggu."
Seketika Sarcnal berdiri dengan wajah sumringanya, dia mengusap dagu Harsha yang langsung dibalas tatapan tajam oleh wanita itu. "Kalau begitu aku akan menemui istriku." Meloncat-loncat girang keluar dari istana Lucius.
"Kau tidak boleh kemana-mana," ucap Harsha membuat Arcsull kembali menjatuhkan bokongnya di sofa, alisnya terangkat meminta alasan. "Kau harus menjaga Lumina di sini, aku takut sesuatu terjadi pada bayinya."
Arcsull tersenyum hambar, dia melangkah menuju mini bar dan mengambil anggur lain yang usianya lebih tua darinya. "Kenapa kau memikirkan dia terus-menerus? Apa bayinya penting? Come on, Harsha, bersenang-senanglah di istana iblis ini."
Wanita itu menyilangkan tangan tatkala Arcsull menuangkan minuman pada dua gelas, Harsha menyandarkan tubuhnya pada dinding, memperhatikan pria yang terlihat mencoba menggodanya. Dia memegang dua gelas anggur, melangkah ke arahnya dengan pelan, tentu saja dengan tatapan dipenuhi hasrat itu. Arcsull memberikan salah satunya pada Harsha. "Sudah lama kita saling mengenal, kau ingin jalan-jalan?"
Tubuhnya mengapit wanita berkaos ungu, dada mereka hampir bersentuhan. "Kau ingin pergi ke Malibu? Hawai? Mesir? Aku bisa membawamu ke manapu."
Harsha menggeleng, menolak ajakan dan juga anggur. Ketika mulutnya terbuka hendak bicara, seseorang lebih dulu meneriaki nama mereka dengan nada kegembiraan.
"Arcsull! Harsha!"
"Nara?" kening Harsha mengkerut, dia mendorong dada Arcsull agar dia bisa melihat dengan jelas. Dan benar saja, seseorang yang dikenalnya sedang berdiri di ruang penghubung antara mini bar dan ruang makan. "Nara?"
"Ini aku," ucapnya merentangkan tangan lalu memeluk Harsha.
Jelas Harsha dan Arcsull memperlihatkan wajah bingung. "Bagaimana kau bisa ke sini? Kau bukan iblis kuat, um, kau mengerti maksudku," gumam Arsull menggaruk kepalanya.
Nara dengan senyumannya menjawab, "Ya, dia menepati janjinya akan membiarkanku hidup bersama Lucius jika kekasihku berhasil."
"Well, dia butuh satu langkah lagi." Arcsull menyilangkan tangan. "Kau pasti mendengar tentang kehamilannya 'kan?"
"Ya, dan aku yang akan menjadi ibu dari anaknya."
"Nara?" sebuah suara berat membuat senyuman Nara mengembang, dia membalikan badan, tertawa sebelum berlari memeluk pria bertubuh kekar itu.
Sontak saja Harsha dan Arcsull memalingkan wajah mereka saat menciumi ujung kepala Nara, menyalurkan kerinduan yang sudah dia bendung. Memeluk satu sama lain dengan erat, dengan jelas terlihat emosi pada mata Lucius. Bukan tentang amarah, tapi haru yang mendalam.
Bahkan, ketika pasangan itu berciuman, Harsha segera menarik kaos Arcsull untuk pergi dari sana. Ketika sampai di taman belakang, Acsull menggeleng tidak percaya. "Tidak kusangka cinta mereka begitu besar sampai mengorbankan satu sama lain."
"Ya, aku merasa kasihan pada bayi itu kelak, dia akan punya ibu seperti Nara."
Tangannya mengusap dagu Harsha menggoda. "Bukankah kalian teman dekat?"
Kali ini tatapan Harsha terlihat serius, dia menggeleng pelan. "Aku dan Nara lebih tua dari kalian. Dia bukan sekedar iblis lemah."
***
Mata hari baru saja memejamkan sinarnya, kini giliran pemilik mata biru laut membuka kelopak matanya. Lumina merasakan sakit pada kepalanya, dia mengerang dan mencoba untuk duduk. Ketika dirinya bergerak, Lumina menyadari kaki kanannya terikat oleh rantai besi.
Menyimpangkan pertanyaan itu, Lumina memilih memeluk perutnya dengan wajah panic. "Bayiku.."
"Dia baik-baik saja." Sebuah suara menjawab.
Lumina melihat ke arah pojok, dalam kegelapan seseorang mengawasinya. Pria itu duduk di kursi, remang-remang wajahnya tersinari rembulan yang baru saja muncul. Melihatnya saja mampu membuat gejolak amarah dalam hati Lumina membara, air matanya kembali mengenang. Dia kembali rapuh saat dihadapkan dengan Lucius.
"Apa kau sedang mencoba membunuh janin itu?"
"Aku mencoba menyelamatkannya dari iblis sepertimu," ucap Lumina yang dipenuhi amarah, giginya saling beradu menahan keinginan untuk menangis. Apalagi kamar itu adalah saksi bisu bagaimana dirinya dan Lucius sering memadu kasih. Fakta bahwa hanya dirinya yang menikmati, kembali membuat Lumina tersakiti.
Lucius berdiri, dia berhenti di dekat ranjang, menatap Lumina dengan mata hitamnya. "Jika kau bersikap baik, aku mungkin akan membiarkanmu bernafas sehari setelah melahirkan."
Tidak dapat dibendung, Lumina meneteskan air matanya. "Kenapa kau melakukan itu padakku?"
"Aku rasa kau tahu jawabannya, Lumina."
"Teganya kau melakukan itu padakku, kau membohongiku, perasaanmu, semuanya palsu. Bagaimana kau tega melakukan hal ini pada wanita yang mengandung anakmu? Pada wanita yang mencintaimu?"
Lucius terdiam.
"Aku mencintaimu, Lucius."
Suara pintu terbuka. "Sayangnya dia hanya mencintaiku seorang," ucap Nara berjalan ke arah Lucius.
Pria itu menyambutnya dengan pelukan hangat, dengan ciuman lembut pada kening wanita berambut pendek itu. Lumina menatap tidak percaya, dia wanita yang disebutkan dalam percakapan Lucius.
"Ya, aku Nara, kau pasti pernah mendengar betapa Lucius dan aku saling mencintai."
"Naraā¦"
"Beri aku waktu bersamanya." Menatap Lucius dengan wajah memohon.
Tanpa ada kata menentang, Lucius malah mencium lagi kening Nara dan keluar dari kamar itu. Meninggalkan Lumina yang menatap tidak percaya dengan air matanya yang terus menetes.
"Kau lihat itu? Itu yang dinamakan cinta."
"Kauā¦" Lumina mencoba bergerak menggapai Nara, tapi kakinya dirantai hingga membatasi ruang yang bisa dijangkaunya. "Kau iblis."
"Aku iblis yang dicintai, dipuja oleh Lucius, tidakkah kau tahu itu?"
"Kau akan menyesal melakukan ini padakku."
"Permisi? Tidak aku tidak menyesal." Nara mendekat, wajahnya dan Lumina saling berhadapan. "Aku tidak akan pernah menyesal, apalagi menjadikan anakmu sebagai pembantu anakku kelak. Dan dia akan tetap memanggilku mama," ucapnya meledek lalu tertawa keras.
Nara memundurkan langkah mengetahui Lumina hendak menyerangnya. "Akan aku pastikan padamu kau mati sebelum melihat bayimu. Tenang saja, Lucius selalu mengabulkan permintaanku."
____
love,
Ig : Alzena2108