Chereads / Pangeran Kegelapan (Romance) / Chapter 25 - Bab 25

Chapter 25 - Bab 25

Vote sebelum membaca :))

.

.

Dengan lihai, tangannya membuat guratan warna di atas kanvas, menunjukan apa yang ada dalam otaknya. Abstrak, kuas itu berjalan-jalan tanpa focus pikiran dari sang pelukis. Itulah yang sebenarnya terjadi, coretan-coretan di atas kanvas membantunya menahan gejolak untuk marah, mengeluarkan semua rasa kesal yang ada dalam pikirannya.

Begitu berganti warna dengan cat biru, satu objek yang terbayang dalam pikirannya, yaitu mata indah Lumina. Maniknya yang mempesona, cerah melambangkan kedamaian laut. Apa yang dipikirkannya, itulah yang digambarnya. Di atas semua coretan itu, Lucius melukis sebuah mata biru yang begitu cantik, tidak lupa dia sisipkan air mata, seakan tahu apa yang akan terjadi jika dirinya bertemu Lumina dengan keadaan perempuan itu masih hidup.

'Kau tidak tahu, Pangeran, bukan hanya wanita itu yang akan terbunuh jika tertangkap iblis, tapi juga keturunan kegelapan.'

Kalimat yang membayang-bayangi dirinya selama beberapa hari terakhir ini. Rasanya tidak mungkin jika Lumina hamil, Lucius tidak merasakan apapun dari dalam tubuhnya selai kekuatan dan aroma Kristal yang akan menghancurkan Thorax.

Memikirkan jika Lumina benar hamil, membuat Lucius tanpa sadar mematahkan kuas. Dia membuangnya asal, menatap cat biru muda yang berceceran di lantai. Jalan buntu jika benar seperti itu.

Suara dering telpon mengalihkan perhatian. Tahu sekretarisnya yang menelpon, Lucius menangkatnya. "Ada apa?"

'Tuan Peter Anderosse ingin bicara dengan anda, Signore.'

"Sambungkan."

Lucius duduk di kursi putarnya, dengan seksama memfokuskan pendengaran pada manusia yang membuatnya curiga ini. "Mr.Anderosse?"

'Just Peter, please, Signore.'

"Kalau begitu kau boleh memanggilku Lucius."

'Tentu, apa kau sedang sibuk?'

Dengan wajah yang datar, Lucius bertanya, "Ada yang ingin kau lakukan?"

'Ya, aku ingin berkunjung sekali lagi ke galerimu, dan membicarakan tentang Paradise White.'

"Ah itu..." Lucius memutar kursi hingga dia bisa melihat pemandangan kota Vatikan dari balik kaca. "Pameran seni paling berkelas di Paris."

'Terima kasih untuk mengetahuinya, kuharap kau bisa memajangkan karyamu di sana.'

"Mari bicara sambil makan siang."

'Tentu, aku tidak jauh dari caffe La Ternosio, aku dengar makanan Italia di sana sungguh enak.'

"Tentu." Lucius menutup sambungan, dia berdiri dan mengambil jas bulunya untuk menghalau hawa dingin musim gugur. Menatap jam di tangannya untuk beberapa saat. 'Lima jam hilangnya ramuan,' gumamnya sebelum keluar dari gedung galeri.

Menaiki Porsche hitam, Lucius membelah jalanan sepi kota Vatikan. Angina yang cukup kencang disertai rintik hujan menghalau beberapa pejalan kaki untuk keluar, hanya ada beberapa kendaran yang memenuhi ruang di jalanan.

Ketika lampu merah, focus Lucius teralihkan pada rintikan hujan tipis di balik kaca. Sekilas kenangan Lumina yang memaksanyaa untuk tetap memeluk saat hujan turun, dan kenangan Nara yang bermain hujan dengan senyuman cantiknya. Dirinya mungkin sedang dilanda rasa bimbang, tapi mengingat keberadaan Nara, itu menguatkan dirinya untuk bisa membunuh Lumina.

Hanya perlu waktu 10 menit, Lucius sampai di tempat itu. Seorang penjaga dengan sigap memayunginya. Lucius melemparkan kuncinya, "Parkirkan dengan benar."

"Ya, Signore."

Di dekat jendela, seorang pria yang sedang menelpon memutuskan sambungan, focus pada kedatangannya. "Signore Lucius."

"Peter."

"Aku membaca di google ini adalah caffe, bukan restaurant terkenal."

"Sepertinya kau harus menghabiskan lebih banyak waktu di sini," ucap Lucius menerima daftar menu yang diberikan pelayan.

"Apa yang kau suka, Lucius? Mungkin saja itu akan menjadi favoritku."

Masih dengan wajah datarnya, Lucius berpikir sebelum menunjuk salah satu menu,

"Aku juga," ucap peter menyerahkan buku menu. "Jadi, bagaimana tentang penawaranku?"

"Lukisan apa yang ingin kau pamerkan?"

"Ya, aku hampir lupa, kau menguasai semua aliran."

Pernincangan itu cukup singkat, layaknya cuaca yang cepat berubah menjadi terik matahari. Dua pria itu keluar dari restaurant, menunggu mobil mereka diambilkan. Peter terlihat bahagia, dengan keramahannya dia tidak berhenti memeberikan senyuman. Berbeda dengan Lucius, dia memberikan senyuman, tapi bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman meremehkan saat Peter membanggakan dirinya.

Sebenarnya, Lucius tidak tertarik dengan kehidupan Peter, dia hanya tertarik dengan pertanyaan, 'Mengapa dia memiliki aroma yang sama dengan Nara?'

Hingga Lucius menyadari sesuatu.

"Oh, sial, banku kempes," ucap Peter menunduk menatap ban mobilnya.

Dengan niat jahat terselubung, Lucius menawarkan, "Butuh tumpangan? Aku melewati hotelmu?"

"Apa tidak apa?"

"Ya, masuklah, biarkan mereka menderek mobilmu."

"Tentu."

Awalnya semua baik-baik saja dengan Lucius yang menyetir, hingga tiba-tiba pemilik mata hitam itu banting setir, melajukan mobil menuju gang dan berhenti di tempat sepi. Sepersekian detik, Lucius mengarahkan pisau pada leher Peter.

"Hallo, Panglima."

"Apa yang kau lakukan?"

"Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu?" Lucius yang marah mengeluarkan api, merambat hingga sampai ke ujung pisau. "Kau Panglima perang yang diusir dari dunia iblis, Galwa, itulah namamu."

"Itu tidak berarti apapun sekarang." Mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia. Lucius mencekiknya hingga Peter dengan cepat berkata, "Aku tidak memiliki kekuatan apapun sekarang, Lucifer mengambilnya begitu dia membuangku."

"Bagaimana dengan Nara?"

"Siapa?" Peter menahan sesak.

"Nara, kekasihku, kenapa aromanya ada padamu?"

"Aku.... Aku tidak tahu."

"Katakan padakku."

Peter menggeliat, merasakan pusing kehabisan oksigen. "Aku... aku tidak tahu apapun, aku hanya iblis yang kehilangan kekuatannya. Mungkin saja Lucifer menyimpannya, menjadikanku inangnya, dia pasti menahannya jika dia ke... kekasihmu."

***

Pria berambut panjang itu berlari seketika saat dia mencium aroma yang dicarinya. Disusul oleh Harhsa dari belakang, Sarcnal tertawa keras seakan kesenangannya ada di puncaknya. "Aku menemukannya," teriaknya melompat girang saat melihat tubuh Lumina di tengah hutan kabut.

Harsha segera mengarahkan tangannya pada beberapa pasang mata yang bersembunyi dalam gelap, mengeluarkan kekuatan hingga mereka lari terbirit-birit. Dia menatap Sarcnal yang sudah berdiri di depan tubuh Lumina.

"Kita harus cepat," ucap Harsha mendekat.

Begitu Sarcnal mengangkat belatinya untuk ditusukan pada dada Lumina, Harsha menyadari sesuatu yang berbeda hingga dia mendorong dada pria itu. Sarcnal terpental jauh.

"Fuck!" umpatnya kesal, dia mengangkat bahu menanyakan alasan.

"Dia sedang hamil."

"What?" Sarcnal terlihat geli, tangannya menunjuk Lumina yang terbaring dengan banyak luka di tubuhnya. Gaunnya robek, darah mengalir dari kepala dengan bibir yang putih. "Wanita ini hamil? Anak siapa? Lucius?"

"Rasakan ini," ucap Harsha menempelkan telapak tangan Sarcnal di perut Lumina. "Dia memiliki seorang keturunan 'kan?"

Sesaat Sarcnal mencari apa yang dimaksud Harsha, hingga dia menemukannya. "Shit!" umpatnya berdiri dan memandang terkejut pada Lumina dan Harsha bergantian. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita bawa dia pada Lucius."

Sebelum mereka melakukannya, seseorang dengan sayap besarnya menginjakan kaki di permukaan tanah. Pria yang memakai kaos hitam itu melangkah mendekat, sayapnya yang menyatu dengan kabut. "Dimana Kristal itu?"

"Lucius, dia hamil," ucap Harsha.

Tidak ada raut wajah terkejut, Lucius hanya memendang datar perempuan yang terbaring. Napasnya lemah, wajahnya pucat.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Sarcnal.

"Dia tidak mungkin hamil."

"Oh, begitu? Apa kau memakai pengaman sebelumnya atau dia me⸻" Sarcnal menghentikan ucapannya begitu dia menerima tatapan tajam dari Lucius.

Pemilik mata hitam itu menggeleng, sambil terkekeh. "Bunuh dia, bawakan aku Kristalnya."

____

LOVE,