Vote sebelum membaca :)))
.
.
"Apa kau gila?!" Harsha mencoba menjauhkan Sarcnal dari Lumina, dia menatap Lucius yang masih memandang datar. Dengan kesal Harhsa menunjuk Lumina. "Kau ingin aku membunuhnya, Lucius?"
"Iblis lain mulai mencium Kristal itu."
"Aku tanya, apa kau ingin aku membunuh Lumina bersama janinnya?" Tangan Harhsa mengeluarkan cahaya putih, yang lebih mirip seperti aliran listrik. "Kau ingin aku menghanguskan tubuhnya dan janinnya hingga hanya tersisa Kristal?"
Lucius terdiam, rahangnya mengetat seiring lamanya dia menatap wajah Lumina. Terlihat jelas amarah yang dia tahan, entah marah karena apa. Harsha masih mempertahankan itu, hanya perlu sekali gerakan untuk dirinya bisa membunuh Lumina. "Mana yang kau pilih, Lucius?"
Pria itu akhirnya menatap Harsha dengan keputusannya. "Bawa dia ke penjara bawah tanahku," ucapnya membentangkan sayap lalu pergi dari sana.
Arcsul berdecak. "Apa dia bercanda? Kita yang membawanya?"
Cahaya pada tangan Harsha hilang, dia berjongkok di dekat Lumina, mengusapkan tangan di udara, tepat di atas tubuh Lumina dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Aku mampu menyamarkan aromanya untuk beberapa menit, kita harus segera pergi sebelum iblis lain mencium ini."
"Aku yakin akan banyak iblis keluar untuk mengambil Kristal itu, dia tidak lagi memiliki pelindung."
Harsha mengadahkan kepala. "Ingat penyihir berdarah campuran itu? Dia bisa membuatkan penyamaran untuknya."
"Bisa...." Sarcnal ikut berjongkok, dia menggendong Lumina. "Jika dia tidak mati."
"Aku akan ke tempatnya," ucap Harsha meninggalkan tempat itu lebih dulu. Baginya saat ini, keamanan Lumina lebih penting.
Janin itu akan menjadi bayi dan melihat dunia, Harsha ingin memberi kesempatan pada janin itu untuk menghirup udara bebas, untuk membalas rasa bersalahnya telah membunuh anaknya sendiri. Bayi tidak berdosa, untuk apa yang akan dilakukan Lucius nanti, dia tidak peduli.
Itu sebabnya kini dia berlari kencang menuju gubuk Nasula yang hancur oleh api Lucius. Harsha dengan tangannya sendiri mengangkat kayu dan batu yang mungkin menindih tubuh penyihir itu, dia tersenyum senang mendapati tubuhnya yang setengah hangus. Menyeretnya dan menyandarkan tubuhnya di pohon. Harsha menepuk-nepuk pipinya berulang kali hingga wanita itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan asap hitam dari mulutnya.
"Kau kembali?" Terlihat tidak terkejut. "Biar kutebak, dia memilih janinnya?"
"Aku ingin kau membuat ramuan yang bisa menyamarkan kekuatan Kristal itu, jika kau bisa, aku akan membiarkanmu hidup."
Nasula tertawa, memperlihatkan giginya yang sebagian berwarna hitam. "Kau tidak bisa membunuhku, ramuanku hanya dapat bertahan beberapa jam, dia harus meminumnya selama 9 bulan, dan aku harus hidup untuk itu."
"Maka aku akan membunuhmu untuk mencari yang lain."
"Siapa? Tidak ada penyihir yang mengetahui semua tentang dunia iblis sepertiku. Aku setengah duyung, aku mampu melakukannya karena aku tahu apa yang harus aku campurkan."
"Sial." Harsha memalingkan wajahnya.
"Ya, benar, sial 'kan?"
Lalu tatapannya kembali pada Nasula. "Kalau begitu ikut aku, berdiri!" Perintahnya saat dirinya sudah berdiri, dia mengisyaratkan Nasula melakukannya.
Wanita itu menggeleng, menatap kaki Harsha yang memberi perintah. "Obati aku dulu, aku tidak bisa bergerak."
"Sial!"
"Ya, ini hari kesialanmu."
****
Dalam gua yang lembab, tersiari cahaya obor kecil, di bawah tanah, begitu mengerikan penjara bawah tanah itu. Namun, tempat ini pernah Lumina tempati sebelumnya.
Perlahan pemilik mata biru itu mengerjapkan mata, merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Keningnya berkerut mendapati dirinya dipeluk dalam hangatnya selimut, dan juga kerasnya batu yang dia tiduri.
Saat terdengar suara seseorang membuka pintu, Lumina segera mendudukan dirinya, dengan penuh keterpaksaan.
"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu."
"Kau...." Ucapannya menggantung, mata Lumina melotot melihat kedatangan Harsha dengan sebuah nampan di tangannya. Dia ingat betul bagaimana Nasula menceritakan mereka semua, membuat Lumina ketakutan. Dia memeluk lututnya dengan tertutup selimut. Dalam benak dia bertanya-tanya, kenapa dirinya belum juga mati?
"Aku membawakan makanan untukmu, tenanglah."
"Bukankah kalian ingin membunuhku?"
Harsha terdiam, dia meletakan nampan itu agar dirinya bisa duduk di dekat Lumina. Saat dirinya menyentuh tangan putih Lumina, sang pemilik segera menyembunyikannya di balik selimut. "Bukankah kalian iblis yang ingin merenggut jantungku?"
"Ya, kami akan melakukannya," ucap Harsha yang memakai jumpsuit ungu.
Mata biru Lumina menatapnya dengan penuh kebencian.
"Lumina, ada hal yang lebih penting."
"Seperti cara kalian membunuhku?!"
"Lumina tenangkan dirimu. Kau sedang hamil."
Tentu saja kalimat itu dianggap lelucon bagi Lumina, perempuan itu tertawa hambar dengan matanya yang berkaca-kaca. "Itu cara kalian membunuhku? Supaya aku merobek perutku sendiri?"
Dengan penuh keterpaksaan, Harsha memegang tangan Lumina dan meletakannya di perutnya sendiri. Dan tiba-tiba saja Lumina melihat, merasakan, adanya bayi di dalam tubuhnya. Semuanya seakan berjalan cepat, hingga bayi itu menatapnya dengan kedua mata hitamnya.
"Apa yang kau lakukan?!" Lumina mdnorong Harsha hingga terjatuh
Tidak ada rasa marah pada wanita itu, yang ingin dia lakukan hanyalah meyakinkan Lumina. "Kau sedang mengandung, kau merasakannya bukan?"
"Tidak mungkin," ucapnya memeluk perutnya sendiri dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada yang ingin memiliki bayi dari pria yang paling dibencinya. "Aku tidak hamil."
"Kau merasakan keberadaannya, Lumina."
"Tidak!"
Suara denting pintu penjara dengan kuku mengalihkan perhatian Harsha, dia memejamkan mata seakan menahan kesal. "Dengar, aku akan memohon pada Lucius agar kau bisa kembali ke kamar di atas sana. Cukup berbuat baik padanya, jangan buat dia marah."
Lumina tetap bungkam ketika Harsha pergi. "Jangan lupa makan makananmu."
Dan setelahnya, seseorang berbeda melangkah mendekat, Lumina mengenal aroma ini, langkah ini, membuat air matanya berlinang hingga akhirnya jatuh membasahi pipi. Pemilik manik biru itu mengusapnya kasar, menahan napas sesaat agar tidak ada lagi air mata untuk pria itu.
"Makan makananmu."
"Kenapa kau tidak membunuhku?" Tanya Lumina tanpa menatap, pria itu berdiri menjulang di hadapannya. "Bukankah kau ingin merobek jantungku?"
"Akan aku lakukan secepatnya, begitu kau melahirkan."
Seketika Lumina menatapnya dengan bola mata penuh air mata, merah menahan amarah. "Kau iblis, bagaimana bisa kau melakukan itu?! Bukankah kau bilang akan melindungiku, akan menjadi malaikatku, akan menjadi..." Lumina tidak mampu bicara lagi, di menangis terisak sambil memukul-mukul dadanya kuat.
"Teganya kau melakukan itu padakku?" lirihnya memeluk perutnya sendiri. Malang nasib anaknya, dia harus memiliki ayah sekejam Lucius. "Kau iblis."
"Ya, aku iblis, Lumina," ucapnya menatap datar perempuan yang menangis pedih. "Jika kau menganggapku malaikat, maka aku akan menjadi malaikat kematian untukmu."
____
LOVE,
ig : Alzena2108