Vote sebelum membaca :)))
.
.
Dia berhenti, jarak Arcsull hanya satu langkah menuju air. Ketika dia mengangkat kakinya, selang sepersekian detik, mangsanya tiba-tiba ditarik oleh sesuatu ke dalam air. Membuat para iblis di sana menatap tidak percaya.
"Lucius! Tolong!" Teriaknya melawan sesuatu yang menarik kakinya.
Dengan suara lantang, sang pangeran berteriak, "Bawa kembali Lumina!"
Racunnya di lempar jauh dari air seketika, Arcsull masuk ke dalam air, menuju Lumina yang meronta oleh sesuatu yang mencoba menenggelamkannya. Iblis itu yakin, makhluk yang mencoba menarik Lumina bukan dari sisinya, dia makhluk lain yang mencoba menghalangi.
Di saat hendak menggapai tubuh Lumina, Arcsull kehilangannya. Mahluk itu dengan lihai menarik Lumina ke dasar lalu menghilang begitu saja, meninggalkan udara yang bermunculan dari dasar danau, membuatnya bingung yang mana napas Lumina.
"Arcsull!" Sang pangeran murka, dia ikut masuk ke dalam air dan mencari dengan mata hitamnya. Sayang, tidak ada tanda-tanda apapun. Sang pangeran kelelahan, dia membentangkan sayapnya naik dari air. Dari udara dia menatap. "Cari dia," perintahnya sebelum terbang untuk mencari di daratan.
Aroma dalam air yang membuatnya tidak asing. Darah penyihir dan duyung menyatu, membuatnya yakin jika mahluk itu adalah darah campuran. Penyihir mungkin hebat dalam melarikan diri. Tapi bagi darah campuran, mereka tidak bisa lari lebih dari 1 km.
Kakinya mendarat di tengah hutan, membuat dedaunan kering di sekitarnya berterbangan seketika. Sayapnya perlahan hilang, bersamaan dengan dirinya yang melangkah pelan. Lucius mengaktifkan semua indera dalam tubuhnya, merasakan kalau makluk itu tidak jauh dari sini. Yang terpenting, aroma teratai putih memenuhi penciumannya.
Pria yang memakai sweater turtleneck itu melangkah mendekati pohon besar yang tumbang, telah berlumut dan diselimuti daun kering. Dia terdiam sesaat di sana. Mata elangnya menjelajahi sekitar.
Tanpa disadarinya, makhluk yang dicari Lucius berada di dalam batang pohon, beserta dengan Lumina yang kehilangan kesadarannya. Makhluk berdarah campuran itu menutup mulut Lumina dengan tangannya yang kasar, menahan suara napas yang mampu di dengar sang pangeran kegelapan.
Sihirnya tidak dapat bertahan lama. Jika Lucius masih di sana, diyakini jika sang pangeran pasti akan menemukannya. Penyihir berdarah campuran tidak memiliki kekuatan kuat, mantra menghilangkan diri hanya bertahan selama beberapa menit. Oleh sebabnya, dia merogoh saku, mengeluarkan sebuah serbuk cokelat dan membalur tubuh Lumina dengan itu. Bermaksud untuk menyamarkan aromanya, mengahadang kekuatan dari Kristal untuk menarik perhatian makhluk lain.
Wanita penyihir bernama Nasula itu memejamkan mata, merasa lega ketika mendengar Lucius kembali membentangkan sayapnya. Dia menatap perempuan yang tidak sadarkan diri. "Aku akan menyelamatkanmu, Yang Mulia, bertahanlah."
Tangannya mengibas, menghilangkan batang pohon yang melindunginya. Wanita dengan rupa tidak enak dipandang itu menggendong Lumina di punggungnya, berjalan pelan sambil menaburkan bubuk yang mampu menghilangkan jejaknya.
"Ratu Taleena akan sangat bangga padamu jika kau tidak jatuh cinta pada iblis itu, Putri. Tugasmu adalah membunuhnya, bukan mencintainya," ucapnya menghakimi Lumina sepanjang melangkah menuju hutan yang lebih gelap. Punggungnya bungkuk, tangannya keriput dan rambutnya yang tidak tertata, hanya mata biru Nasula yang membuatnya terlihat lebih baik.
Ketika dirinya sampai di sebuah pohon yang membentuk gerbang, Nasula menurunkan Lumina. Dia membuat lingkaran dengan tangan, di sekitar perempuan yang memejamkan matanya itu.
"Kau aman, dia tidak dapat menemukanmu, Yang Mulia, akan aku pastikan kau kembali dengan membawa amarah, bukan cinta," ucapnya membuat pola abstrak dengan jemarinya. Lalu merapalkan mantra, "Anarasu acrantres si la afe sacrala." Hingga akhirnya dedaunan menyelimuti mereka dan membawa mereka pergi.
***
Pemilik mata biru itu perlahan terbuka, merasakan bau yang menyengat merasuki batang hidungnya. Keningnya berkerut, Lumina membuka mata dan mengedarkan pandangan menatap sekeliling yang terasa sangat asing baginya.
Tempat itu berantakan, terdapata benda-benda aneh brgelantungan di langit-langit. Temboknya terlihat seperti batu yang dibakar, hitam disertai lumut. Hingga sepasang mata Lumina melihat mata air yang keluar dari dinding, ditampung oleh batu besar cekung. Airnya sangat jernnih, membuat Lumina ingin berlari ke sana, hingga dirinya sadar kalau tangan dan kakinya diikat pada kursi.
Seketika dia panic. "Tolong!" teriaknya. Rontaannya semakin kuat saat pintu kayu terbuka, menampilkan seorang wanita bongkok dengan wajah mengerikan.
Hal aneh terjadi, ketika wanita itu melangkah ke arah cahaya, wujudnya berubah menjadi seseorang yang tidak asing bagi Lumina. Wanita itu pertama kali dia temui saat pesta di istana Lucius, dan wanita itu juga yang memberikan belati putih untuk meusuk jantung Lucius. "Kau?"
Nasula tampak kesal, dia mendekatkan wajahnya pada Lumina, dengan gigi yang saling beradu, dia berkata, "Kau wanita bodoh yang tidak menuruti perkataanku, lihat dirimu sekarang, mantra itu sudah hilang."
"Lepaskan aku, lepaskan. Apa maumu?"
"Yang aku inginkan hanya kematian sang pangeran, kenapa kau jatuh cinta padanya? Dasar wanita bodoh, Ratu Taleena yang malang, dia memiliki anak sebodoh dirimu," ucapnya meludah di samping Lumina. "Kau seharusnya lari dari iblis itu, bukan bersamanya."
"Lepaskan aku, atau dia akan datang kemari," ancam Lumina yang dibalas tawa mengerikan wanita itu.
Nasula mendekat pada mata air, dia menurunkan kakinya di sana. "Aku siap mati saat menyelamatkanmu, bodoh."
"Tunggu, ritualnya," gumam Lumina mengingat kejadian sebelumnya. "Lepaskan aku!"
"Sadarlah! Kau telah ditipu!" teriak Nasula memejamkan mata. "Kau begitu bodoh."
Mata Lumina membulat ketika dia melihat dengan jelas bagaimana kaki Nasula perlahan berubah dipenuhi sisik, menyatu hingga akhirnya menjadi ekor. "Kau... kau seorang duyung?" Lumina semakin panic. "Lepaskan aku!"
Nasula tertawa semakin keras. "Sepertinya dia membuatmu takut dengan kaummu sendiri, Putri."
Lumina tidak menghiraukan, dia mencoba meronta dengan kuat hingga hampir jatuh. Nasula terlihat lebih marah, dia mengubah kembali siripnya menjadi kaki, mengambil air dalam genggaman tangan lalu membalurkannya pada kaki Lumina, wanita itu berucap, "
Seketika cahaya putih menyelimuti Lumina, dan apa yang terjadi pada Nasula, terjadi juga pada Lumina. Kakinya perlahan bersisik, menyatu lalu berubah menjadi ekor. Lumina hampir lupa caranya bernapas, matanya membulat sempurna, "Apa yang kau lakukan padakku?!"
"Itu wujudmu yang sebenarnya."
"Kembalikan tubuhku!"
Lumina dalam wujud duyung, siripnya berwarna biru, sebiru lautan di matanya. Perempuan itu menatap aneh pada tubuhnya sendiri, terdapat tattoo abstrak berwarna biru di perutnya.
"Kau adalah sang putri, anak Ratu Taleena."
"Apa?"
Nasula melepaskan ikatan yang mengekang Lumina, membiarkan perempuan itu menatap wujudnya dalam bentuk duyung, dia menyentuh tiara yang ada di atas kepalanya. "Aku..... apa?"
"Kau adalah duyung, Lumina. Ibumu, sang penguasa lautan, Ratu Taleena mati dikuliti oleh para iblis. Tidakkah kau memimpikannya?"
Lumina terjatuh dari kursi, dia lebih terfokus pada wujudnya. "Apa katamu? Aku seorang duyung? Puteri?"
"Saatnya melihat memori ibumu," ucap Nasula memegang kepala Lumina. Seketika pupil perempuan itu membesar, matanya membulat melihat kilasan kejadian di dalam matanya.
Bagaimana dia melihat seorang wanita yang membuang bayinya dengan tangisan, menanamkan sebuah krsital pada jantung anaknya. Bagaimana seorang wanita lari dari kejaran sang iblis, hingga akhirnya dia tertangkap. Dia disiksa, darah menutupi tubuhnya, tangisan menjadi makanannya. Rasa sakit itu membuat Lumina meneteskan air mata. Mulut Lumina terbuka melihat siksaan yang begitu keji hingga matanya tidak bisa berhenti menangis.
Dan saat wanita dalam penglihatannya mati didalam lautan darah, pandangan Lumina kabur, hanya kesakitan dan kesedihan yang menyesakkan dada. Dia menyaksikan dirinya sendiri yang dibuang Taleena. Bukan dengan sengaja, melainkan dengan air mata perpisahan.
Wanita itu tersiksa, dia tenggelam dalam darahnya sendiri.
"Dia... dia ibuku?" mengadah menatap Nasula yang menghembuskan napas.
Wanita itu mengangguk. "Ya, dia ibumu, dan yang membunuhnya adalah pangeran iblis."
____