Lumina baru kembali dari pasar ditemani Michelle, wajahnya tampak sumringah, bahagia telah menghirup udara diluar istana. Setidaknya Lumina bertemu manusia, bukan mata-mata iblis yang selalu mengawasinya. Sebesar apapun ketakutan itu, pada akhirnya dia akan kembali. Ketakutannya terkalahkan oleh perasaan yang dia miliki untuk Lucius, bagaimana pria itu memberikannya kebahagiaan sesungguhnya.
Malaikatnya, penjaganya, Lumina berharap itu untuk selamanya, sampai dirinya menutup mata.
"Astaga, ini sangat menyenangkan," gumam Lumina mendudukan dirinya di sofa dekat dapur, menatap Michelle yang membereskan barang. Waktu memang merubah seseorang. Faktanya, Lumina dan Michelle kini berteman baik. Terlepas itu karena dirinya bersama Lucius atau tidak, Lumina mendapat perlakuan baik darinya.
"Dimana kau menyimpan yogurt milikku?"
"Di tas hitam itu," ucap Lumina menunjuk pappper bag di atas meja.
Michelle ikut duduk, meneguk minuman sampai habis. Dia mendesah nikmat. Merasakan kebebasan yang sudah lama tidak dia jumpai. "Aku sangat senang kau menjadi pendamping Signore Lucius, membuat pekerjaanku semakin ringan." Dia mengambil botol lain. "Pelayan lain tidak menggangguku, mereka juga tidak makan banyak. Membuatku mudah dan terasa ringan dalam bekerja. Tidak ada lagi pukulan atau hukuman."
Sepertinya Michelle tidak tahu kalau pelayan baru itu bukanlah manusia biasa. "Kau pernah ke penjara bawah tanah?"
Michelle menggeleng, dia merebahkan diri. "Aku belum pernah melakukan kesalahan fatal seperti dirimu. Sepertinya keberanianmu yang membuat Tuan Lucius tertarik."
Punggung itu menyandar, masih memikirkan sesuatu yang menggangu otaknya. "Dia bilang aku special."
"Ya, tentu." Mengangguk kuat. "Kau pemberani."
Bukan karena itu, Lumina kembali berkata, "Dia bilang jantungku special."
"Kau punya enam jantung?"
Seketika Lumina hamper memuntahkan isi mulutnya, dia menelannya penuh paksa sebelum akhirnya tertawa.
Kening Michelle berkerut. "Benar 'kan?"
Lumina berdehem untuk menetralkan kembali suaranya. "Sebenarnya, Michelle, jantungku selalu berdetak kencang dan terasa sakit ketika sesuatu yang buruk akan terjadi. Sejak kecil, aku selalu memimpikan monster-monster mengerikan. Nenekku yang telah tiada berkata, kalau aku special, karena itu seorang malaikat akan turun untuk melindungiku."
Merasa itu hal yang aneh, Michelle menaikan alis sambil menahan tawa. Dia mencoba bersikap tenang, raut wajah Lumina yang serius membuatnya berhasil menahan ledakan itu. "Special? Seperti apa?"
"Aku bisa mendeteksi hal-hal bahaya, sejauh ini itu yang kau tahu."
"Dan kau pikir Tuan Lucius adalah malaikatmu?" Tanya Michelle duduk kembali, percakapan ini terasa menarik. "Begitu?" Kembali mendesak saat Lumina tidak kunjung memberikan jawaban.
Bertepatan ketika pemilik mata biru itu hendak membuka mulut, seseorang membuka pintu utama, sambil memanggil, "Lumina!"
Mengenal suara itu, Lumina tersenyum sumringah. Dia berlari menuju sumber, meningglkan Michelle yang memanggilnya. Lumina mendapati Lucius yang sudah pulang dengan segenggam bunga mawar di tangannya. Tidak dapat menahan kegembiraan, Lumina memeluknya. "Kau pulang lebih cepat," ucapnya menatap pria berparas tampan itu.
Lucius memberikan buket yang disertai tulisan, 'I Love You.' yang berhasil membuat mata Lumina semakin bersinar memancarkan kebahagiaan.
"Apa sesuatu terjadi?" Tangannya menggandeng Lucius, berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu," ucapnya memberikan ciuman di ujung kepala Lumina.
Duduk di atas ranjang, menatap pria yang sedang membuka pakaian. Sesekali tangannya memainkan buket, dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Merasakan ini adalah dunia khayalannya, kejadian yang tidak pernah dia duga selama ini. Hidup tanpa orangtua, dibesarkan oleh nenek yang menemukannya di bak sampah, dapat Lumina simpulkan jika orangtuanya membuang dirinya. Kasih sayang ini belum pernah Lumina dapatkan, membuat hatinya menghangat.
Perempuan itu merebahkan tubuhnya, dengan tangan masih memainkan kelopak bunga. Sesekali dia mencium aroma bunga pertamanya dari seorang pria, wangi yang kuat tidak sebanding dengan besarnya kebahagiaan yang sedang melanda.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Lumina begitu Lucius bergabung di atas ranjang, membuat perempuan itu bergeser dan menggunakan kaki Lucius sebagai bantal. Menatap langsung pada mmatahari yang hampeir terbenam. Berwarna orange, langit yang indah tetap kalah dengan manik hitam.
Ketika pria itu mulai menyisirnya dengan jemari, Lumina merasakan kenyamanan berkali-kali lipat. Dia memejamkan mata, sambil mendekap bunga dan bermandikan cahaya matahari sore. Perpaduan sempurna bagi perempuan muda yang sedang jatuh cinta.
"Kau ingat bahwa aku bilang kau special?"
"Kau mengatakannya setiap saat," ucap Lumina disertai senyuman. Mata indahnya masih terpejam, dan tatapan Lucius berbeda dari sebelumnya. Seakan tidak membuang kesempatan, tatapan memujanya berubah menjadi rasa marah, rasa haus akan menyalirkan hasrat membunuhnya.
"Aku akan becerita, kau ingin mendengarnya?"
"Tentu."
"Terdapat tiga dewa berkuasa, mereka bernama Asmomeres, Leviamoth dan Lucifer. Masing-masing dari mereka memiliki kekuatan luar biasa, tapi itu tidak sebanding dengan kekuatan Ares, ayah mereka."
Mata Lumina terbuka, tertarik dengan cerita. Menatap Lucius yang terfokus pada helaian rambutnya. Dia melanjutkan, "Suatu ketika, Ares jatuh cinta pada makhluk ciptaannya, yaitu duyung. Dia bahkan rela meninggalkan tempatnya hanya untuk melihat mereka."
"Mereka? Dia mencintai semuanya?"
Tatapan mereka bertemu. "Kau bisa menyimpulkannya ketika cerita ini telah selesai."
"Maaf."
Lucius kembali focus pada helaian rambut halus Lumina, mereka mengeluarkan aroma yang hampir membuatnya kehilangan focus. Teratai putih membuatnya gila sesaat. "Ketiga puteranya tahu, mereka menganggap itu hina. Jatuh cinta pada ciptaannya sendiri, salah satu tindakan memalukan. Karenanya, ketiga putra Ares mengurungnya."
Jemari kekar itu beralih pada pipi Lumina, mengikuti garis rahang dan mengusapnya pelan. "Kekuatan mereka tidak sebanding, Ares keluar dari Thorax, dia turun dari langit untuk mereka yang dia cintai. Karena sakit hati oleh ketiga puteranya, Ares mengubah dirinya sendiri menjadi Kristal biru."
Ketika tatapan Lucius beralih pada lukisan di atas ranjang, Lumina mengikuti.
"Kristal itu dia persembahkan untuk para duyung, untuk membuat mereka kuat dan mampu membunuh para dewa. Ares membuat mereka berjanji akan membalaskan rasa sakitnya, meskpun pada anaknya sendiri. Kristal itu membuat mereka kuat, ganas, dan mematikan. Sebelum mereka melakukannya, para dewa lebih dulu memburu mereka, para duyung itu harus mati sebelum menghancurkan keseimbangan."
Lumina mendudukan dirinya, matanya memperlihatkan jelas keterkejutannya. "Dalam mimpiku, aku melihatmu membunuh mereka."
"Mimpimu hanya memperlihatkan sebagian, Lumina."
"jadi... itu benar terjadi? Apa hubungannya denganku?"
Lucius menyisipkan anak rambut Lumina. "Ratu duyung itu kabur, dengan membawa Kristal untuk dia sembunyikan. Dan ketika itu, dia menemukan seorang bayi dalam tempat sampah. Sang Ratu menanamkan Kristal itu di jantung sang bayi, melindunginya dengan mantra kuat. Hingga suatu saat, bayi itu akan memberikannya pada bangsa duyung, dan mereka akan memenuhi janji Ares."
Lumina menyentuh jantungnya, merasa tidak percaya akan hal itu. Matanya berkaca-kaca. "Ada Kristal di jantungku?"
Dengan wajah datarnya dia menjawab, "Ya, dia diam di sana. Dilindungi mantra kuat yang bahkan sulit aku sentuh."
"Itu sebabnya kau ingin membunuhku awalnya?"
"Ya, sampai aku sadari aku jatuh cinta pada kecantikanmu, dan tidak ingin membunuh makhluk seindah dirimu. Aku ingin memilikimu, dan juga melindungi kita dari benda jahat itu."
Semua perkataan, Lumina cerna dengan baik. Semua hal yang telah terjadi, membuat Lumina percaya itu bukanlah sekadar cerita. "Apakah bangsa duyung tidak punah?"
"Mereka bersembunyi, Lumina. Menunggu dirimu untuk mengambil Kristal itu, dengan cara merenggut jantungmu. Itu sebabnya aku tidak mengizinkanmu keluar, apalagi menuju lautan."
Manik hitam yang menghipnotis, membuatnya ketakutan untuk itu. "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Percaya padakku, Lumina. Serahkan hidupmu padaku, nyawamu. Tanamkan rasa percaya itu dalam hatimu, aku adalah pelindungmu."
"Aku percaya padamu, Lucius."
"Aku tahu. Malam ini, kita akan pergi ke danau, untuk mengeluarkan Kristal itu."
***
Ketika sayap itu berhenti mengepak, kakinya mulai memijak, Lumina membuka mata menatap danau yang diterangi cahaya bulan, sungguh indah. Namun, hal lain yang membuat matanya tertarik adalah keberadaan tiga orang yang berdiri menatapnya, seakan mereka tengah menunggu kedatangannya.
"Siapa mereka?"
Ketiganya mendekat, bersamaan dengan sayap Lucius yang perlahan hilang. "Mereka akan membantumu."
Satu pria yang tidak asing bagi Lumina, pria itu yang bersama Serena malam lalu.
"Hai, aku Harsha, ini Arcsull dan Sarcnal," ucap salah satunya memperkenalkan diri. Wanita ini yang bersama Lucius ketika pesta sebelumnya. Tatapan Lumina beralih pada Lucius, dia mengadah untuk menyeimbangi.
"Mereka temanku, Sayang. Mereka membantu kita, kau percaya bukan?"
Lumina mengangguk kaku, tanpa berucap. Dia menggandeng tangan Lucius, aura mereka bertiga tampak menyeramkan. Apalagi Harsha dengan gaun ungu, dia menatap seakan ingin melahap.
"Berenanglah, Sayang."
"Apa?"
"Berenang, Lumina. Kami akan mengeluarkan Kristal itu darimu," ucap pria yang dikenalkan sebagai Sarcnal.
Lumina menatap Lucius, pria itu mengangguk hingga menanamkan kepercayaan padanya. "Percaya padakku," ucapnya mencium tangan Lumina sebelum membiarkannya melangkah pergi. Masuk ke dalam air dengan gaun putihnya, terangnya bulan membuat peristiwa itu semakin indah, apalagi para iblis tidak sabaran untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
"Kau benar-benar membuatnya jatuh cinta," bisik Sarcnal.
Arcsull menyetujui. "Dia begitu penurut."
"Aku bahkan bisa merasakan kekuatan itu, mantranya hancur oleh cintamu." Sarcnal menepuk bahu Lucius yang dibalas dengan tatapan tajam. "Maaf, aku hanya senang kita sampai di akhir perburuan."
"Ayo, kawan, kita akan merobek jantungnya beberapa menit lagi," ucap Harsha memberikan belati hitam pada Lucius.
Pria itu menerimanya, merasakan aroma teratai putih. Sesekali Lumina menatap ke arahnya, yang dia balas dengan tatapan manis, dengan isyarat agar tetap berada dalam air.
"Aku bisa membuat airnya hitam sekarang," ucap Arcsull meminta persetujuan Lucius.
"Atau aku lilit lehernya?" Tanya Sarcnal.
Tanpa melihat ketiganya, Harsha mengeluarkan hewan peliharaan dalam sakunya. "Bagaimana caranya mati tidak penting. Nyawanya tidak lagi berarti apalagi tubuhnya, kita hanya perlu merobek jantungnya dan mengambil Kristal itu, bukan begitu, Yang Mulia?"
Lucius menyeringai. "Ya, robek jantungnya."
Mendapat perintah itu, Harsha mendekat ke tepian, menatap lintah yang ada di tangannya. "Kau dengar perkataan Pangeran? Robek jantungnya," bisiknya sebelum memasukan mahluk itu ke dalam air.
Lintah hitam itu berenang, semakin lama dia menyelam, jumlahnya semakin berganda, semakin banyak hingga membuat sang pangeran kegelapan tidak sabar menanti hasil akhir. Mata hitamnya tidak lepas dari perempuan yang sedang bermain air, yang sebentar lagi hanya akan menjadi bangkai.
***
Ig : @Alzena2108