Chereads / Pangeran Kegelapan (Romance) / Chapter 20 - Bab 20

Chapter 20 - Bab 20

Vote sebelum membaca....

.

.

"Kau akan pergi ke gallery lagi?"

Lucius mengangguk tanpa menatap sepasang mata yang sedang duduk di atas ranjang, hanya anggukan untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan sedari tadi. Membuat perempuan bermata itu mendesah pelan, merasakan kekecewaan yang amat mendalam. "Aku tidak suka di sini sendiri," ucapnya dengan pelan, membuat pria yang memakai jas hitam itu membalikan badan dengan tatapan penuh tanya.

"Kenapa begitu?"

"Itu..." tatapan Lumina turun, menatap selimut yang menutupi kaki, ada keraguan yang begitu berat saat mengatakan, "Mereka semua, aku rasa mereka tidak menyukaiku."

"Kau takut?"

Tentu saja Lumina takut, berada diantara para iblis menakutkan tanpa Lucius di sisinya membuat bulu kuduknya merinding. Apalagi jika dirinya mengingat wujud asli Dorothy, benar-benar menakutkan. "Apa semua dari mereka memiliki wujud yang menakutkan?"

Tatapan Lucius yang disertai kebingungan membuat Lumina melajutkan, "Dorothy, dia iblis bukan?"

"Lumina, iblis berdampingan dengan bangsa manusia selama ini. Makhluk-makhluk mistis, mereka bersembunyi dan hanya menampakan untuk waktu yang tepat." Tubuhnya condong ke arah Lumina, menahan beban tubuh dengan kedua tangan, mengurung pergerakan Lumina hingga matanya tetap membalas.

"Seperti dirimu yang menampakan saat aku datang?"

Terlihat berpikir sesaat sebelum mengangguk. "Ya, seperti itu, jika kau memikirkannya."

Lumina tersenyum manis, dan anehnya itu membuat senyuman Lucius luntur, seakan terhipnotis dengan tatapan dan wajah cantiknya. Pria itu berdehem, "Mereka tidak akan berani menyentuh atau menyakitimu, tenang saja."

Perempuan itu kembali memajukan bibir ketika Lucius menjauh, memilih dasi yang akan dia kenakan untuk pergi pagi ini.

Tidak ingin percakapan mereka hanya sampai di sana, Lumina melanjutkan, "Bagaimana wujud aslimu?"

Lucius terkekeh. "Ayolah, Lumina, kau tahu itu."

"Kau tidak mengerikan seperti yang aku lihat dalam mimpi dan lamunan-lamunanku."

"Tentu saja tidak." Pria itu kembali membalikan badan, memberikan ciuman pada bibir Lumina. "Aku malaikat."

Sontak saja Lumina tertawa begitu Lucius menggelitik perutnya, dia berdiri begitu pria itu sudah siap. "Apa kau benar-benar harus pergi?" Berdiri di depan pintu dengan harapan itu bisa menahan Lucius.

"Ya, ada pemerintah dari Italia yang akan datang."

"Aku tidak ingin sendirian di sini, ini membosankan," gumamnya memainkan kancing pakaian Lucius, sebelum matanya membalas dengan tatapan permohonan. "Bisakah..... bisakah kau membawa Serena kembali?"

"Manusia itu?"

Lumina mengangguk antusias. "Setidaknya ada yang menemaniku di sini."

"Aka aku pertimbangkan," ucapnya lalu menunduk dan mencium bibir Lumina, dia menarik pinggangnya kemudian menjatuhkan perempuan itu di atas ranjang. "Berhenti menggoda."

Kemudian hanya terdengar suara pintu tertutup disertai suara cekikikan Lumina, pipinya begitu merah. Ini pertama kali dirinya melakukan itu pada seorang pria. Luciusnya, miliknya, malaikat pelindungnya yang berhasil menjungkirbalikan perasaan Lumina.

Membuat perasaannya semakin bahagia, Lumina mengambil beberapa poto dalam laci. Menunjukan keadaan panti asuhan miliknya yang kini berubah menjadi lebih baik, senyuman Jane begitu jelas sampai gigi gingsulnya terlihat. Belum pernah dia melihat anak itu seceria ini, apalagi bangunannya kini semakin baik, dengan taman yang dibuatkan oleh Lucius.

'Aku benar-benar merindukan Milan,' gumam Lumina dalam hati.

Dia ingin keluar dari tempat menakutkan ini, hidup bersama Lucius di rumah sederhana adalah hal terbaik dalam imajinasinya. Tanpa Dorothy, tanpa orang-orang menakutkan yang mampu membuatnya merinding. Berdua saja dengan Lucius cukup untuknya.

Lumina mengingat kembali kejadian kemarin, Lucius memintanya untuk bersamanya. Dan Lumina menyetujui itu. Di saat dirinya menginginkan menginjakan kaki diluar tanah Vatikan, hanya satu yang kalimat yang diucapkan Lucius, "Kita akan keluar dari Vatikan jika kau benar-benar percaya padakku."

Memang masih ada sedikit keraguan di hati Lumina untuk saat ini. Namun, dia berusaha mengabaikan rasa sakit pada jantungnya yang membuatnya merasakan sakit sesekali. Lucius belum memberikannya penjelasan untuk hal ini, dia hanya mengatakan jantungnya begitu special.

Lumina yang tidak memiliki kegiatan apapun kembali memejamkan matanya, hingga mimpi tentang bangsa duyung yang dibantai kembali menghampiri.

***

"Ada apa?" Lucius mengangkat gagang telpon begitu berbunyi.

'Ada tiga orang yang ingin menemui anda, Signore, mere⸻'

"Biarkan masuk."

Dan ketiga orang itu masuk, duduk di sofa menunggu Lucius selesai dengan komputernya. Hingga pemilik mata hitam itu membuka kacamata, menatap mereka yang berwajah tegang. "Kalian membawa apa yang aku minta?"

"Ya..." Harsha mengeluarkan sesuatu dari dalam tas-nya, berbentuk kantung kecil yag diikat tali kayu. "Ini yang akan membiusnya."

"Aku telah mengeluarkan beberapa iblis pemburu jika wanita itu kabur," ucap Sarcnal melipat tangannya di dada. "Apa pelindung itu telah hilang?"

"Tidak, belum." Lucius mendekat dan duduk diantara mereka. "Tapi itu memudar."

"Aku rasa kau harus memberinya cerita sebelum tidur," saran Arcsull menyandarkan pundaknya pada sofa. "Aku yakin mimpi itu pasti menghampirinya akhir-akhir ini."

"Ya, dia merasakannya. Tapi rasa cintanya padakku lebih besar."

Kalimat yang diucapkan Lucius membuat Harsha tertawa, dia mengusap pipinya yang diwarnai dengan serbuk pink. Harhsa begitu cantik dengan setelan ungu dan rambutnya yang dikepang dua. "Kau membuat budakmu tidak berdaya dengan cinta."

"Ah, ya, aku membawa senjata untuk membelah jantungnya."

"Tidak." Lucius menghentikan gerakan Sarcnal yang hendak mengambil sesuatu dari saku jasnya. "Nara memberiku ini, untuk merobek jantungnya."

Harsha merebut belati hitam itu. "Bukankah ini belati Amoren?"

"Apa itu?" Tanya Arcsull menatap keterkejutan Harsha.

"Ini belati Amoren, hanya iblis kuat yang memilikinya," jelas Harsha membuat ketiga temannya menahan tawa, jika itu milik iblis terkuat maka seharusnya mereka berempat memilikinya.

"Jika begitu, maka seharusnya aku memilikinya."

"Hell!" Harsha mengangkat benda itu, menjauhkannya dari Lucius yang hendak merebut. "Aku lahir jauh sebelum kalian ada. Belati ini telah lama hilang, bagaimana Nara menemukannya?"

Arcsull merebutnya paksa. "Berhenti membicarakan itu, kita berdiskusi bagaimana manusia duyung itu segera mati."

Sebelum Lucius membuka mulutnya, telpon lebih dulu bordering. Sekretarisnya kembali menghubungi. "Ada apa?"

'Seseorang datang, Signore. Dia kolektor lukisan. Nama⸻'

"Aku akan ke sana."

"Ada apa?" Sarcnal yang memakai cardigan biru bertanya. "Kau akan menemui pembeli?"

Tanpa berkata, Lucius keluar dari ruangannya, meninggalkan mereka yang masih bertanya-tanya. Galerynya sepi di jam makan siang, hanya ada beberapa pengunjung yang berani untuk datang di saat istirahat.

"Siapa dia?" Mendekati sekretarisnya yang menunduk sebelum menjawab, "Peter Anderosse, di⸻'

Wanita itu kembali mendesah saat Lucius tidak mendengarnya selesai bicara.

Di sana, Lucius melihat seorang pria berkacamata sedang memandangi lukisannya yang dia beri nama "Last in Lost." Membentuk wujud wanita yang berlari dari arah belakang.

"Mr.Anderosse?"

"Signore." Memberi jabatan tangan sebelum focus kembali pada lukisan yang sudah lama dia amati. "Aku mendengar banyak tentang pelukis dari Vatikan yang memiliki nilai jual tinggi."

"Tidak tinggi untuk ukuran kolektor sepertimu."

Pria itu tersenyum datar. "Apa yang ada dalam pikiranmu melihat wanita yang lari dengan kaki yang terbakar?"

"Aku rasa penilaianmu jauh lebih memuaskan disbanding opini dalam pikiranku."

Sembari melayani pria itu, Lucius mencoba merasakan sesuatu yang menggangunya. Pria di sampingnya memiliki aroma yang tidak asing baginya. Sesuatu yang dia rindukan seperti Nara.

Cukup lama mereka berbicara hingga Peter memilih untuk mengambil lukisan itu, dan Lucius memiliki keyakinan jika itu memang aroma Nara. Tapi mengapa ada di pria itu? Sebanyak apapun pria itu memakai parfume, aroma tersembunyi masih dia rasakan.

Seseorang yang diyakini Lucius adalah orang kepercayaan Peter datang dan membawa lukisannya. "Aku harap kau tidak merindukan lukisan itu."

"Ya, aku lebih merindukan seseorang yang aku pikirkan ketika melukisnya."

Peter menyeringai samar. "Hati-hati, terkadang orang yang dirindukan adalah orang yang akan menjatuhkan."

"Aku menyetujuinnya, senang bertemu denganmu, Mr.Anderosse."

"Tentu, Tuan."

Kepergiannya membawa banyak pertanyaan bagi Lucius. Ini tidak bisa dibiarkan, dirinya harus segera memiliki Kristal itu, mengeluarkan Nara dan hidup bersama dengannya. Itu satu-satunya cara menghilangkan banyak kecurigaan.

"Aku akan pastikan pelidung itu terbuka besok malam."

Harsha mengangguk pelan. "Oke.... Jadi apa rencananya?"

"Akan aku bawa dia ke danau dekat lembah. Kita akan membunuhnya di sana."

"Bagaimana cara kerjanya?" Tanya Sarcnal dengan kening berkerut.

"Kalian hanya cukup pastikan dia tidak sadarkan diri, dan melindunginya dari iblis lain yang menginginkan Kristal itu. Dan aku....." Lucius menatap ketiganya yakin. "Aku yang akan merobek jantung dan membakarnya."

Harsha tersenyum puas. "Akhirnya kita selesai dalam perburuan darah duyung."

___

Love, 

ig : Alzena2108