Vote sebelum membaca :)))
"Lucius....."
Pria yang tengah berfokus membaca itu tidak memalingkan wajahnya, membiarkan Lumina melakukan apa yang diinginkannya dalam perpustakaan. Memilih setiap buku menarik hingga akhirnya duduk di karpet, tepat di samping Lucius yang duduk di atas kursi.
Dia kembali memanggil. "Lucius...."
"Hmmmm....?" Pria itu seakan malas untuk berbicara.
Lumina terdiam sesaat, pikirnya semua yang telah terjadi membuat semuanya membaik. Tapi tidak, Lucius masih mengabaikannya. Bahkan pria itu hanya bicara seperlunya saja. Ingin sekali Lumina menanyakan ataupun menjelaskan kejadian kemarin, tapi kenyataan bahwa itu adalah topic yang tidak disukai Lucius membuat pemilik mata laut itu mengurungkannya.
"Apa kau masih marah padakku?"
Akhirnya tatapan itu membalasnya. "Ada yang ingin kau lakukan?"
"Tidak, hanya saja...." Lumina memilih focus pada buku dibandingkan menerima tatapan datar dari Lucius. Membaca semua tulisan tidak mengobatinya, setiap kalimat yang dibacanya dia lupakan dalam hitungan detik. Semakin lama penglihatannya kosong, membayangkan jika Lucius menjauh darinya. Lumina benar-benar tidak bisa melakukannya. Hatinya terlanjur berlabuh.
Tidak peduli iblis ada di sekitarnya. Selama Lucius bersamanya, Lumina rasa itu cukup untuk membuatnya nyaman.
Saat Lucius mengulurkan tangannya, mata Lumina naik menuju sepasang manic hitam yang berdiri di depannya.
"Kau ingin keluar?"
"Ya?" Lumina memastikan, dia berdiri saat Lucius menariknya keluar dari perpustakaan.
Istana terasa sangat sunyi padahal ini masih sore, seakan menjadi rumah yang tidak berpenghuni. Tidak ada suara langkah kaki, entah kemana perginya mereka semua. Hanya suara langkah Lumina yang terdengar menuruni tangga bersama Lucius. Dinginnya angin menerobos masuk ke dalam istana, menyambar tubuh Lumina yang dibalut long dress hijau.
"Kemana perginya semua orang?"
Tidak ada jawaban dari Lucius membuat Lumina menambahkan, "Apa kau tahu kemana mereka semua pergi? Serena dan yang lainnya?"
Lucius menatap sesaat Lumina yang sedang mencari dengan pandangannya. "Aku kirim mereka ke tempat yang lebih baik."
"Dimana?"
Mata mereka hanya bertatapan selama beberapa detik. Lumina menyadarinya, jika Lucius tidak lagi memandang manic birunya lebih lama, penuh tatapan puja seperti sebelumnya.
"Tempat yang tidak harus kau ketahui."
"Kenapa begitu?" Lumina tersentak kaget begitu Lucius membentangkan sayapnya dan membawanya terbang begitu mereka menginjak pada tanah.
Dari ataspun, Lumina tidak mendapatkan siapapun. Benar-benar seperti tanah tidak berpenghuni, bahkan untuk hewan sekalipun. Tidak ada suara selain kepakan sayap Lucius, membuat pemilik manic biru itu khawatir. "Bagaimana jika ada yang melihatmu?"
"Mereka semua dalam kendaliku."
Perlahan mereka turun, tepat di tengah danau di belakang bukit yang sebelumnya mereka datangi. Lumina mendesah nyaman begitu tubuhnya diselimuti air. Tangannya melingkar pada leher Lucius. Ketika sayapnya perlahan hilang, itu digantikan dengan abu merah yang menyatu dengan air.
Bukannya jijik, Lumina nampak menyukainya.
"Ini menyenangkan," ucap Lumina menggerakan kakinya yang berada dalam air. Air yang jernih hingga matanya bisa melihat ke dasar. Terdapat banyak rumput bergoyang, membuatnya tidak bisa menahan rasa untuk menyelam. Tatapannya beralih pada Lucius. "Bolehkah aku menyelam?"
Namun, kuatnya tangan Lucius menahan pinggang Lumina membuat perempuan itu menghapus keinginannya. Heran rasanya mendapatkan pria itu menatapnya tanpa ekspresi, hingga tangannya terangkat dan mengusap bibir Lumina.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Apa kau percaya padakku, Lumina?"
Perempuan itu tersenyum kecil, tangannya turun merasakan debaran jantung Lucius yang tertutup kaos hitam. "Tentu, aku...." Tatapannya berpaling sesaat, ada rasa takut saat melanjutkan, "Aku minta maaf berpikir untuk berbuat mengerikan."
"Aku hanya ingin tahu, Lumina, kau percaya padakku 'kan?"
Lumina mengangguk. "Dengan sepenuh hatiku."
Samar, Lucius menyeringai. Dia mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Menarik pinggang Lumina dengan tangan kiri hingga mereka semakin dekat, dada mereka bersentuhan, bahkan pria itu dapat mencium aroma napas harum milik Lumina.
Mata birunya membulat begitu Lucius memperlihatkan benda apa yang diambilnya, meminta penjelasan lewat tatapan. "Apa ini?"
"Maukah kau bersamaku selamanya?" Bertanya sambil memegang cincin dengan permata berbentuk teratai berwarna merah. Begitu cantik, dalam lingkaran cincin terdapat ukiran abstrak menyerupai tattoo milik Lucius.
Lumina mencoba memastika kembali. "Kau serius?"
"Maukah tetap bersamaku, Lumina?"
Matanya berkaca-kaca, menandakan momen ini begitu menyentuh hatinya. Perempuan itu mengangguk pelan, membiarkan Lucius menyematkan cincin pada jari manisnya, lalu mencium tangannya sebelum pria itu bertanya kembali kalimat yang sama padanya. "Kau percaya padakku, Lumina?"
"Aku mencintaimu, Lucius," ucapnya memeluk pria itu erat.
Tanpa disadari Lumina, dibalik itu Lucius tersenyum licik. Mata hitamnya terpejam merasakan aroma teratai dari tubuh Lumina yang semakin kuat, mantra yang melindungi jantungnya perlahan menipis, menyangka sang pemilik tubuh telah menemukan pelindung tubuh dan jiwanya.
Begitulah cara kerjanya. Jika Lumina tersakiti, ketakutan, maka mantra akan semakin kuat. Sebaliknya, jika Lumina mendapat sesuatu yang membuatnya merasa aman, nyaman, maka mantra pelindung perlahan memudar. Membiarkan sang putri mendapat perlindungan dari seseorang yang dicintainya.
Dan itu adalah pangeran iblis, sosok terjahat yang ingin membunuhnya.
'Kau akan segera mati, Lumina.'
***
"Holly shit!" umpat Sarcnal begitu dia mendapati seorang pria tengah duduk sambil meminum sebotol anggur. "Aku tidak ingat kau datang sesering ini, Prince."
Ikut duduk di kursi lain, dia mencari jawaban dari ekspresi wajah Lucius. "Ada apa? Apa yang sedang kau rasakan?"
Masih dalam diam, Lucius berdiri setelah berpikir cukup lama. Dia rasa inilah saatnya memulai apa yang menjadi tujuannya. "Aku ingin kau datang ke istanaku besok, beserta yang lain."
"Oke." Sarcnal menatap penuh Tanya pria yang membentangkan sayap dan terbang diantara kabut panas.
Lucius telah menetapkan hatinya dengan keputusan itu. Kristal yang memiliki kekuatan Ares akan dia dapatkan, dengan begitu Lucifer mendapatkan apa yang diinginkannya, dan dirinya mendapatkan Nara sebagaimana seharusnya.
Ketika kakinya mendarat di atap istana, perlahan sayapnya hilang begitu dia berjalan menuju tempat ayahnya berada. Keterkejutan tidak bisa Lucius sembunyikan begitu melihat sosok lain yang sedang bicara dengan Lucifer.
"Lucius...," ucapnya terdengar meremehkan. "Kau tumbuh begitu cepat."
"Asmomeres." Lucius menundukan pandangan begitu Lucifer menatapnya tajam. "Aku akan keluar."
"Tidak, aku akan pergi. Waktu kunjungan pada kakakku telah usai," ucap pria berjubah putih itu mendekat ke arahnya. Asmomeres menepuk pundak Lucius, bibirnya berbisik, "Perhatikan langkahmu."
Mata hitam itu mengikuti kepergian saudara ayahnya yang tidak pernah dia anggap siapun. Seperti kata Lucifer, Asmomeres dan Leviamoth memang pantas berada di bawah kakinya. Dan Lucius setuju akan hal itu.
"Apa yang membawamu kemari?"
Lucius memfokuskan pandang pada Lucifer. "Aku ingin menemui Nara."
"Kau akan mendapatkannya begitu Kristal ada dalam genggamanmu."
"Akan begitu," ucapnya membuat Lucifer memasang wajah penuh Tanya. Pria yang identik dengan sebutan raja kegelapan itu duduk di singgasana yang sudah menemaninya sejak lama, cukup untuk membuatnya muak dan memiliki hasrat untuk menghancurkan saudaranya. Bukan hanya menjadi raja iblis, tapi para dewa harus berlutut dibawah kakinya, Thorax* harus berada di bawah kendalinya.
"Aku akan mendapatkannya, jalan menuju Thorax akan mudah kau lewati. Namun, aku tidak bisa melakukannya tanpa dorongan dari Nara."
Lucifer tertawa. "Lebih banyak keinginanmu, lebih cepat wanita itu mati."
Lucius mengepalkan tangannya kuat, menahan emosi yang ingin dia lepaskan. Menunggu Lucifer yang berpikir sebelum akhirnya dia menjawab, "Baiklah, dia akan berada di sana."
Segera Lucius membalikan badannya, membuat suara dengan jubahnya saat pria itu tergesa-gesa. Menuju tempat yang sama seperti sebelumnya. Begitu dia membuka pintu, seorang wanita langsung mendekapnya berat. "Aku dengar kau berhasil."
"Tinggal langkah terakhir, Nara."
Wajah cantiknya menjauh, mengusap pelan pipi Lucius yang halus, dia mengambil sesuatu dari dalam pakaiannya. "Aku membuatkan ini."
Lucius mengerutkan keningnya dan menerima belati hitam dari Nara. "Apa ini?"
"Aku membuatkannya untukmu, gunakan ketika merobek jantungnya."
Lucius tersenyum miring, memandang wajah cantik kekasihnya sebelum memberikan ciuman dalam. 'Sebentar lagi kita akan bersama,' ucapnya dengan tatapan memuja pada wanita itu.
*Thorax : Tempat para dewa agung yang berada di langit ke-18.
***
Love,
ig :